Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #3

Perjalanan Penuh Duka

Perjalanan menuju kampung halaman terasa sangat berbeda bagi Angkasa dan Mentari kali ini. Mereka duduk di dalam ambulans yang dipinjamkan oleh Pak RT yang baik hati.

Ambulans itu membawa jenazah Bapak mereka, yang terbaring dengan tenang di ruang belakang, sementara mereka berdua duduk di kursi depan dengan hati yang terbelenggu kesedihan. Jalanan yang terjal dan berliku-liku tampak tak ada habisnya, setiap tikungan membawa mereka lebih jauh dari kenyataan yang harus diterima, namun tidak bisa mereka hindari. Kampung yang sudah lama tak mereka kunjungi kini tampak berbeda. Mereka meninggalkan kampung ketika orang tua mereka memutuskan untuk tinggal di Jakarta untuk mengadu nasib. Waktu berlalu begitu cepat, dan kini mereka kembali, dengan keadaan yang jauh lebih sunyi dan penuh duka, Bapak menjadi jasad tak bernyawa, ibunya entah ke mana.

Angkasa duduk di samping Mentari, memandang ke luar jendela mobil, meskipun hatinya kosong, pikirannya terjebak dalam kenangan dan pertanyaan yang belum terjawab.

“Bagaimana hidup selanjutnya tanpa Bapak? Bagaimana gue bisa mengubah nasib keluarga? Yang pasti gue enggak boleh miskin, karena orang miskin enggak ada harganya di mata dunia. Duit itu enggak ada saudaranya.”

Mentari, adik Angkasa yang masih belia, duduk di sebelahnya, lebih tenang meskipun wajahnya masih dipenuhi kesedihan. Sesekali, air mata mengalir perlahan di pipinya, tetapi ia tak mengatakan apa-apa. Hanya ada isak kecil yang terkadang terdengar, dan Angkasa tahu betapa berat beban yang ia tanggung. Meski dalam hati ia ingin menguatkan adiknya, ia merasa dirinya sendiri tak siap menghadapi kenyataan ini.

Di antara gue dan Mentari, gue yang harus lebih kuat!

Semakin lama perjalanan itu berlangsung, semakin ia merasa berat. Bahkan meskipun Bapak sudah tiada, bayangannya tetap mengikuti, seperti beban yang tak kunjung hilang.

Setibanya di kampung, udara sejuk menyambut mereka, berbeda dengan hiruk-pikuk Jakarta yang penuh dengan kebisingan. Di sini, pepohonan hijau dan rumah-rumah sederhana berderet rapi, seolah mengingatkan Angkasa pada masa kecil yang penuh dengan kesederhanaan, meskipun tak selalu mudah. Jalanan di kampung ini seakan penuh kenangan. Ingatan tentang tawa, kehangatan keluarga, dan segala kekurangan yang kini terasa jauh lebih berharga.

Keluarga besar dan tetangga-tetangga yang mendengar meninggalnya Bapak Angkasa dan Mentari membantu mengurus jenazahnya. Mereka membawanya ke ruangan tengah, tempat yang sudah disediakan untuk persemayaman sementara sebelum dimandikan dan dikuburkan.

Saat Angkasa dan Mentari memasuki halaman rumah, Angkasa merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Di depan pintu, Kakek dan Nenek mereka sudah menunggu, berdiri di bawah langit pagi yang hangat. Kakek, dengan punggung yang membungkuk karena usia dan rambut yang seputih kapas, memancarkan aura kebijaksanaan yang tenang. Wajah mereka yang keriput tak bisa menyembunyikan kehilangan akan anaknya yang pulang terakhir kali tanpa nyawa. Kerutan-kerutan yang semakin dalam di sekitar mata dan mulut mereka. Namun, meski tubuh mereka tampak renta, mata mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata, terpancar rasa kasih sayang yang tak terhingga, namun juga sebuah kesedihan yang menyelimuti setiap inci wajah mereka.

Kakek, yang rambutnya sudah sepenuhnya memutih, berjalan perlahan dengan langkah yang tak lagi secepat dulu. Tubuhnya yang membungkuk, seperti membawa beban yang jauh lebih berat dari usia tua yang sudah tak terhitung, menghampiri mereka. Tangannya yang berkeriput, yang dulu kuat merawat keluarga, kini gemetar saat menyentuh kepala Mentari. Tangan itu menyentuh dengan penuh kelembutan, seolah mencoba memberikan kekuatan yang sudah semakin memudar. Kakek tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa menatap Mentari dengan mata yang penuh harapan dan kesedihan.

Nenek, yang berdiri di samping Kakek, segera membuka pelukannya begitu Angkasa mendekat. Tubuhnya yang mungil, namun sorot matanya yang hangat menunjukkan kelembutan dan kekuatan seorang ibu sejati. Pelukannya erat, seolah ingin memeluk semua kenangan indah yang pernah ada, semua tawa dan kebahagiaan yang kini tak akan pernah kembali. Angkasa merasakan tubuh nenek yang kurus namun penuh kehangatan, namun di balik pelukan itu, ada sebuah kesedihan mendalam yang lebih dalam daripada apapun yang pernah dirasakannya.

Angkasa merasakan dadanya sesak.

Dalam pelukan nenek yang penuh kasih sayang itu, ada rasa kehilangan yang begitu dalam, seakan neneknya sudah merasakan perasaan yang ia rasakan, namun jauh lebih lama. Mereka adalah orang yang seharusnya dilindungi, bukan yang terluka oleh kehilangan lebih dulu.

Di balik pelukan yang hangat itu, Angkasa merasakan lebih dari sekadar kesedihan. Ada rasa sakit yang mendalam, sebuah kenangan akan masa lalu yang penuh dengan kebersamaan, yang kini harus mereka terima dengan penuh kepedihan. Angkasa tahu bahwa perasaan mereka tak akan pernah bisa pulih sepenuhnya. Namun, di antara kesedihan itu, ia merasa lebih dekat dengan Kakek dan Nenek, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan betapa kuatnya mereka dalam menghadapi kenyataan yang begitu berat.

"Kalian harus kuat ya," kata Kakek dengan suara serak, namun penuh kehangatan. "Ini adalah rumah kita, tempat Bapak kalian tumbuh. Kalian bisa tinggal di sini, jangan kembali lagi ke Jakarta ya.”

Lihat selengkapnya