Angkasa berdiri di luar basecamp yang biasa digunakan siswa-siswi SMA Jayadwipa nongkrong. Motor teman-temannya terparkir tak beraturan, mencerminkan gaya hidup mereka yang serba bebas dan mengabaikan aturan. Tempat itu selalu ramai dengan suara tawa dan obrolan yang sering kali tanpa arah. Namun kali ini, suasana terasa berbeda. Angkasa merasa semakin terasing dari dunia yang dulu ia kenal. Teman-temannya, yang masih terjebak dalam rutinitas yang sama, berkumpul sambil menikmati minuman keras, sebuah kebiasaan yang Angkasa coba hindari. Bukan karena dia merasa lebih baik dari mereka, tetapi lebih karena prinsip yang sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil: minuman keras itu haram. Meski begitu, dia tetap datang, mencari kedamaian yang entah dia akan temukan atau tidak di tempat itu.
Ia baru saja pulang dari kampung halaman, Angkasa merasa seolah ada yang hilang dalam dirinya. Ketika di kampung, ia merenung tentang banyak hal. Pemakaman Bapak, kenangan masa kecil, dan kehadiran kakek-nenek yang semakin renta membuatnya semakin sadar betapa singkatnya waktu. Ketika ia kembali ke Jakarta, dunia yang ia tinggalkan terasa semakin asing. Tidak ada lagi Bapak yang selalu memberinya nasehat, tidak ada lagi Mentari yang menunggunya pulang.
Ia memutuskan untuk masuk ke basecamp, dengan hati yang penuh dengan keraguan. Beberapa teman melihatnya datang, lalu menyapa dengan tawa keras, seakan tidak ada yang berubah. Dika, dengan gaya rambut gondrong dan tindikan kecil di telinganya, yang sedang duduk di pojok dengan botol minuman di tangan, melambaikan tangan ke arah Angkasa. Dia selalu menjadi yang paling vokal, pemimpin alami dalam setiap kekacauan yang mereka ciptakan.
“Eh, Ang! Lo balik juga ternyata! Sini, join! Biar kita santai dulu sebelum lo cerita panjang lebar waktu di kampung.”
Angkasa mengangguk lemah, kemudian duduk di salah satu kursi kosong. Suasana penuh dengan gelak tawa dan suara musik yang keras. Angkasa mencoba ikut tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia merasa semakin terasing.
“Ayo, Bro. Minum aja,” ajak Nova dengan senyum nakal. Dia adalah satu-satunya cewek di basecamp, dengan potongan rambut pixie yang mencolok dan t-shirt band rock yang selalu ia kenakan, memancarkan aura tomboy yang kuat dan tak kenal takut. “Jangan cuma duduk aja, hidup ini harus dinikmati,”
Angkasa hanya tersenyum kecil, menolak dengan cara halus. “Enggak, gue masih enggak mau ikut yang begituan. Lo semua tahu alasannya kenapa, kan?”
Dika hanya tertawa kecil, tanpa benar-benar memperhatikan kata-kata Angkasa. “Ya udah, Bro. Terserah lo deh. Cuma, lo harus tahu hidup itu enggak bakal gampang. Kalau lo terus-terusan begini, lo bakal terjebak di tempat yang sama. Coba pikirin deh, hidup itu nggak cuma soal kerja keras, lo butuh cara lain buat keluar dari kemiskinan.”
Angkasa mendengarkan, tetapi hatinya semakin sesak. Kemiskinan, sebuah kata yang sudah sangat sering dia dengar, dan kini terasa semakin mendalam di dalam dirinya. Ia merasa seolah terjebak, hidup dalam sebuah lingkaran yang tak ada habisnya. Teman-temannya memang benar, hidupnya tidak akan berubah kalau hanya mengandalkan kerja keras yang tak kunjung menghasilkan. Tapi, apakah cara seperti ini yang mereka anggap sebagai solusi?