Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #5

Parkiran Berdarah

 Sore membungkus jalanan dengan selimut asap kendaraan tipis. Cahaya matahari yang nyaris padam berpendar muram di genangan air sisa hujan, memantulkan kilau kusam seolah tanah pun sedang menangis pelan. Di sudut sebuah pertigaan sepi, Angkasa menepi, mematikan mesin motor dua taknya yang berisik, dan menyulut rokok yang menyala redup di antara jemarinya. Matanya tak lepas mengamati seorang Tukang Parkir Tua yang berdiri termangu di bawah bayang-bayang pohon trembesi. Sosoknya kurus, punggungnya sedikit membungkuk, dan rambutnya yang sebagian besar sudah memutih tertutup topi lusuh. Wajahnya dihiasi kerutan-kerutan dalam, seperti peta lelah dari perjalanan hidup yang panjang, memancarkan kesabaran sekaligus keputusasaan. Tubuhnya bagaikan daun kering yang bergantung di ujung musim.

Tukang Parkir yang mungkin berkepala lima itu duduk di depan minimarket, menanti pemilik kendaraan bermotor yang sedang berbelanja. Ia sesekali melirik ke arah jalan seakan menanti sesuatu. Di wajah tuanya tersimpan kelelahan yang tak hanya datang dari tubuh, tapi juga dari hati yang lama terinjak dunia.

Angkasa turun perlahan dari motornya, langkah-langkahnya menyeret suara sepatu bergesekan dengan aspal basah. Niatnya sederhana, berbicara, bertukar pikiran dengan tukang parkir itu, untuk mencari jalan agar wilayah ini bisa ia kelola tanpa harus ada hal-hal yang tidak menyenangkan.

Angkasa urung mendekat Tukang Parkir itu, ketika dua buah motor matic berhenti di parkiran. Dua orang berwajah kasar turun dari motor dan dengan langkah sedikit terhuyung mendekati Tukang Parkir. Aroma alkohol menusuk tajam, seolah setiap pori tubuhnya memuntahkan minuman haram itu. Suaranya meledak di udara sore yang mulai dingin, menghantam seperti petir tanpa hujan.

"Mana setoran gue, Mang? " raung seorang laki-laki bertubuh kekar, suaranya membelah sore yang muram. Ia menepuk pundak si tukang parkir dengan keras, suaranya terdengar jelas, seperti cambuk yang melecut keheningan.

Tukang Parkir itu terlonjak, tubuh tuanya gemetar hebat. Dengan tangan yang nyaris tak mampu menggenggam, ia menyodorkan beberapa lembar uang lusuh, dua puluh ribu rupiah. Namun di mata laki-laki itu, uang receh itu tak lebih dari sebuah penghinaan untuknya.

"Kurang, Bangsat! Mulai hari ini, setoran gocap per hari!" bentaknya lagi, lalu melayangkan tamparan ke wajah tua itu, membuatnya terhuyung, nyaris jatuh.

Tukang Parkir itu menguatkan lututnya, suara seraknya pecah di udara. "Ta-tapi ... kalau setorannya sekarang gocap, saya mau makan apa?" tanyanya, lirih, nyaris tak terdengar. “Kadang kalau lagi sepi dapatnya kurang dari segitu, Bang.”

Angkasa, yang sedari tadi memperhatikan, membanting perlahan rokoknya ke aspal. Ia belum bergerak, tapi matanya menyala, seperti bara dalam sekam. Dari sudut matanya, ia menangkap dua teman mereka di atas motor, mesin tetap menyala, seperti anjing penjaga menunggu aba-aba untuk menggigit.

Laki-laki kekar yang pertama menarik kasar kerah si Tukang Parkir. "Lo pikir lo siapa bisa nawar? Kalau enggak sanggup, minggat aja dari sini! Nanti gue ganti yang jaga sama yang sanggup setor gocap sehari.”

 

Tanpa aba-aba, Angkasa bergerak. Langkahnya cepat, berat, seperti dentuman genderang perang. Dalam sekali gerakan, ia mencengkeram tangan laki-laki kekar itu, melintirnya ke belakang dengan kekuatan yang membuat lawannya menjerit pendek. Sebelum laki-laki lain sempat bereaksi, Angkasa mengayunkan lututnya ke perut si laki-laki, melipat tubuh besar itu seperti kertas basah. Temannya yang berdiri tak jauh hendak membantu namun tak ayal hanya menjadi korban kaki kanan Angkasa.

Dua laki-laki yang tadi di atas motor langsung menyerbu. Satu melayangkan pukulan liar ke arah kepala Angkasa, tapi ia merunduk, membiarkan pukulan itu hanya mengenai udara. Dengan gerakan refleks, ia membalas dengan hantaman siku ke rahang, membuat laki-laki kedua terhuyung. Temannya menarik sesuatu dari balik jaketnya, pisau kecil berkilat, menusuk sinar sore yang makin redup. Angkasa tak menunggu. Ia menendang lutut laki-laki itu dari samping, satu hentakan keras yang membuat si pemegang pisau jatuh tersungkur, mengaduh keras. Angkasa meraih pisau kecil itu dan melemparkannya ke tempat sampah.

Hening sejenak.

Preman-preman itu saling pandang, sambil memegangi bagian tubuh mereka yang sakit, tangan, perut, rahang, dan kepala. Mereka memutuskan satu hal yang sama: mereka kalah, dan meninggalkan parkiran dengan langkah gontai, diikuti oleh deru motor yang meraung dan melaju kencang, meninggalkan bayang-bayang kekalahan yang menggantung di udara. Salah satu dari mereka sempat mengacungkan jari tengah ke Angkasa yang dijawab dengan sebuah senyuman kecil laki-laki belasan tahun itu.

Lihat selengkapnya