Pagi itu, Angkasa terbangun dengan tubuh yang terasa berat, seakan-akan mimpi buruk semalam masih membekas di setiap pori-porinya. Ia membuka mata, disambut cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai. Kepalanya pusing, seolah dunia di sekelilingnya berputar, namun ia berusaha mengabaikannya. Dengan napas yang masih berat, ia menggeliat di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya. Punggungnya menahan sakit, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih terombang-ambing.
Tak lama kemudian, ia bangkit dari tempat tidurnya, kaki yang sedikit gemetar menyentuh lantai. Angkasa berjalan ke dapur, membuka kulkas yang isinya hanya botol-botol kosong, ia mengeluarkan sebotol air mineral. Mulutnya terasa kering, air itu hanya sedikit meredakan dahaganya. Ia kembali ke meja, duduk dengan tubuh yang masih terasa kaku, dan tanpa berpikir panjang, meraih pensil yang tergeletak di dekatnya. Buku yang ada di sampingnya langsung ia buka, dan dengan gerakan cepat, ia mulai mencoretkan garis-garis kasar. Kotak-kotak kecil mulai terbentuk, masing-masing mewakili titik-titik tempat yang sempat disebutkan oleh si Bapak Tukang Parkir, seperti potongan-potongan puzzle yang harus disusun kembali. Minimarket, restoran, kafe, dan bank.
Satu demi satu, Angkasa mulai menandai dan menghitung. Dari apa yang dikatakan si Bapak Tukang Parkir itu, jelas preman-preman itu sudah menguasai wilayah yang luas, dan itu berarti banyak sumber daya yang bisa mereka tarik.
"Gampangnya, mereka sudah menguasai seratus tempat dikalikan setoran dua puluh ribu sehari, berarti jika dikalikan itu dua juta sehari, dan berarti enam puluh juta sebulan," gumamnya pelan, matanya tertuju pada angka-angka itu, mencoba menghitung dengan hati-hati. "Itu jika seratus, bagaimana jika seribu? Nilainya pasti lebih fantastis."
Ia berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya ke luar jendela, di mana langit pagi mulai memandikan pohon-pohon dengan cahayanya. Langkah pertama yang harus dilakukannya, sudah jelas yaitu merebut kendali uang keamanan. Angkasa bukan orang yang takut untuk bertarung, tetapi ia tahu bahwa pertarungan ini tidak akan selesai dalam satu malam karena wilayah yang dikuasainya juga luas. Ia harus tahu, apakah ada backing yang ada di balik kelompok preman itu, atau siapa yang memimpin mereka, dan seberapa dalam cengkeraman mereka terhadap kota Jakarta Selatan.
‘Fokus, Jakarta Selatan dulu!’ Angkasa menulis kalimat itu di kertasnya dengan ukuran yang besar.
Ia teringat kembali ketika bentrok dengan keempat preman di depan minimarket, benaknya menggambarkan wajah ketakutan si Bapak Tukang Parkir. “Kalau gue bisa mengambil kendali uang keamanan, pasti akan ada uang yang masuk. Prinsip utamanya adalah enggak boleh membuat takut atau mengintimidasi para tukang parkir. Setoran dua puluh ribu yang diminta itu masih relatif besar, gue harus memodifikasinya. Berapa ya?”
Angkasa berpikir, matanya menerawang menembus langit-langit rumahnya. “Gimana kalau lima ribu? Alias goceng?” Pemuda itu menuliskan angka lima ribu di kertasnya, “jika lima ribu ini dikalikan dengan seribu outlet, yang terdiri dari minimarket, restoran, kafe, bank dan lain sebagainya maka akan menjadi ... lima juta sehari. Wah! Gede banget! Itu berarti jika dikalikan sebulan, tiga puluh hari akan menjadi seratus lima puluh juta.”
Angkasa tertawa kecil dan mengangguk-angguk, dia menuliskan angka seratus lima puluh juta bersanding dengan kata Jakarta Selatan. “Ini baru Jakarta Selatan, belum Jakarta lainnya, Utara, Barat, Timur dan Pusat. Pasti lebih fantastis.”
Tepat saat pikirannya berkelana ke sana dan ke sini, terdengar ketukan pintu yang cukup keras diikuti oleh ucapan salam. Angkasa terkejut karena sepertinya dia mengenal pemilik suara itu. Ia bangkit dan membuka pintu. Benar saja, itu adalah suara milik wali kelasnya, Bu Aisha. Sosok guru yang selalu rapi dengan hijabnya yang simpel dan kemeja batik yang elegan, wajahnya ramah dengan sebuah senyum yang selalu tersemat, memancarkan ketenangan dan kepedulian yang tulus. Di tangannya, sebuah goodybag berisi makanan dan buah-buahan, di bahunya terslempang sebuah tas kulit yang kerap terlihat menemaninya kerja.
“Assalamualaikum,” kata Bu Aisha mengulang kembali kalimat yang tadi sudah diucapkannya.
“Wa-waalaikumsalam, Bu,” Angkasa tergagap, dengan grogi dia menggamit tangan wali kelasnya itu lalu menciumnya. “Masuk, Bu,” ajak pemuda itu sambil merapikan kursi dan mejanya yang tidak berada pada tempatnya. “Maaf, Bu. Masih berantakan, belum sempat dirapikan,” ujar Angkasa sambil merapikan kertas yang tadi sempat dicorat-coretnya di atas meja. “Mari, Bu. Silakan duduk.”
“Enggak usah repot-repot, Elang,” kata Bu Aisha dengan sebuah senyum. Angkasa menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal karena dipanggil nama depannya, dia lebih suka dipanggil nama belakangnya, Angkasa.
“Adik kamu Mentari ke mana, Lang? Sekolah ya?”
“Anu, Bu, Mentari masih di kampung. Belum balik lagi ke sini.”