Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #7

Langit Mendung di Ruang Kesiswaan

Angkasa duduk di kursi plastik warna merah maroon ruang kesiswaan. Tubuhnya tegap, tetapi kedua tangannya menggenggam erat celana seragamnya, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya. Di depannya, Pak Dedi, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan, berdiri dengan tangan di pinggang, menatap Angkasa dengan sorot mata tajam. Rambutnya yang disisir rapi dan kemeja batiknya yang selalu licin mencerminkan kedisiplinan kaku yang ia junjung tinggi. Wajahnya yang tegang dan rahang yang mengeras menunjukkan ketidaksabaran terhadap setiap pelanggaran aturan. Di sebelahnya, Bu Aisha, wali kelas Angkasa, berdiri dengan wajah tegang, mencoba menahan rasa khawatir yang bercampur dengan perasaan lainnya yang susah didefinisikan.

“Elang,” suara Pak Dedi terdengar berat, penuh tekanan. “Kami sudah melihat video tawuran itu. Apa yang kamu lakukan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kau sadar kan, hal seperti itu mencoreng nama baik sekolah kita?”

Angkasa tidak menjawab. Ia menunduk, menatap lantai yang penuh goresan. Di dalam dirinya, ada perasaan bercampur aduk, marah, kesal, dan bingung. Ia tahu video itu sudah viral di antara para guru dan siswa. Tapi ada satu hal yang akan dilakukan, ia tidak akan pernah mengaku. Tidak sekarang, tidak di depan Pak Dedi.

“Pak,” Angkasa akhirnya membuka suara, suaranya pelan tapi terdengar jelas. “Saya enggak ikut tawuran itu.”

Pak Dedi mendengus, menatap Angkasa dengan tatapan penuh kecurigaan. “Enggak ikut katamu? Jadi siapa yang ada di video itu, Lang? Siapa yang berdiri paling depan saat berhadapan dengan SMK Aztec? Orang yang mirip dengan kamu? Kembaran kamu?”

“Itu bukan saya, Pak. Mungkin hanya orang yang mirip saya saja,” jawab Angkasa, mencoba meyakinkan, walau ia tahu tak akan berhasil. “Banyak orang yang mirip saya.”

“Jangan mengelak, Lang!” suara Pak Dedi meninggi. “Kami tahu itu kamu. Apa kamu pikir kami ini bodoh?”

Angkasa tetap diam. Kata-kata Pak Dedi seperti angin yang berlalu begitu saja. Ia tahu, apa pun yang ia katakan, posisi dirinya sudah buruk di mata sekolah. Jadi, untuk apa mengaku? Kalau ia mengaku, hukuman pasti akan tetap sama beratnya. Ia tetap akan mendapat surat pengunduran diri menggantung, surat yang akan diberi tanggal saat dia melakukan kesalahan yang sama.

Bu Aisha, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Pak Dedi,” katanya lembut, tetapi ada nada tegas di balik suaranya. “Mungkin kita bisa mencari cara lain untuk menangani ini. Elang anak yang baik, Pak. Dia hanya butuh bimbingan. Dia tidak akan berkelahi tanpa alasan.”

Pak Dedi mengangkat tangan, meminta Bu Aisha berhenti bicara. “Bu Aisha, dengan segala hormat, aturan sekolah tidak bisa ditawar. Tawuran adalah pelanggaran berat. Kami tidak bisa membiarkan ini begitu saja.”

 Pak Dedi lalu kembali menatap Angkasa, sorot matanya dingin. “Sekarang, jawab saya dengan jujur. Apa kamu ikut dalam tawuran itu?”

Angkasa mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Pak Dedi. “Enggak, Pak. Saya enggak ikut.”

Pak Dedi menghela napas panjang dengan tarikan udara yang berat, seakan menahan amarah yang sudah mendidih di dasar jiwanya. Tanpa peringatan, tangan kanannya terangkat cepat.

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Angkasa. Suaranya tajam dan membelah keheningan ruangan seperti pecahan kaca, menggema di dinding-dinding yang menjadi saksi bisu ketegangan itu. Angkasa tersentak. Kepalanya sedikit terpelanting ke samping, tetapi tubuhnya tetap tegak. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke arah Pak Dedi, sebuah tatapan yang tidak gentar, tapi menyimpan bara kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ia tidak menangis, tidak memohon, hanya diam, karena ia tahu, kata-kata tidak akan menyelamatkannya.

“Sekali lagi saya tanya,” desis Pak Dedi, suaranya kali ini rendah, tapi setiap katanya mengandung tekanan seperti palu godam yang menghantam dinding logika. “Apa kamu ikut dalam tawuran itu?”

Angkasa tetap bungkam, dan seperti yang telah diduganya.

PLAK!

Lihat selengkapnya