Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #8

Beban Langkah Angkasa

Angkasa melangkahkan kakinya keluar dari gerbang sekolah dengan berat, tetapi hatinya lebih berat lagi. Pipinya masih terasa panas akibat tamparan Pak Dedi tadi, tetapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan terhina yang terus membakar di dadanya. Ia menunduk sepanjang jalan, mencoba menghindari tatapan siswa-siswa lain yang berbisik-bisik.

Kakinya membawanya ke tempat yang selama ini menjadi pelariannya dari dunia yang ia benci, sebuah warung kecil di lingkungan rumah penduduk. Tempat itu adalah markasnya, tempat ia dan teman-teman satu circle ketika sekolah. Tempat untuk melepas lelah, berbagi cerita, dan merancang petualangan-petualangan kecil yang sering kali berakhir dengan masalah.

Dari kejauhan, Angkasa bisa melihat mereka. Empat sosok yang duduk di bangku kayu panjang, berbagi sebatang rokok yang dioper dari tangan ke tangan. Ada Nova, satu-satunya perempuan di antara mereka, cewek tomboy yang kuat dan tak kenal takut. Di sebelahnya, Budi duduk dengan tatapan tajam, selalu siap dengan pemikiran-pemikiran ekstremnya. Tio, si pendiam, dengan rambut ikal yang dikuncir kuda dan kemeja oversize yang selalu digulung lengannya hanya diam mengamati, sorot matanya menyimpan banyak pemikiran yang tak terucap. Sementara Dika, si Playboy yang terkenal dengan kemampuan berkelahinya tengah menghisap rokok gilirannya.

  Saat siluet Angkasa muncul di ujung gang, Nova-lah yang pertama kali menangkap bayangannya. “Eh, Ang!” serunya sambil berdiri setengah berjingkat, melambaikan tangan seperti anak kecil yang menunggu ayahnya pulang membawa ice cream. “Sini, Bro! Kita udah nunggu dari tadi!”

Angkasa hanya mengangguk pelan, tanpa senyum. Langkah-langkahnya berat, seolah ada ribuan beban yang menggantung di bahunya. Ia duduk di bangku kayu tua yang mulai lapuk di warung, melempar tasnya ke atas meja dengan gerakan kasar dan malas, lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding seakan berharap tembok itu bisa menyerap semua kepenatannya.

Tio yang duduk paling dekat, mengoper sebatang rokok. “Nih, buat menenangkan kepala lo,” katanya pelan.

Angkasa menggeleng. “Gue enggak lagi pengen,” ujarnya pendek, suaranya berat, nyaris seperti bisikan orang yang habis kehilangan sesuatu.

Dika menyipitkan mata, mengamati wajah Angkasa dengan serius. “Eh, muka lo ... mengapa kayak begitu, Bro? Pipi lo ... merah banget.” Ia mendekat, nadanya berubah. “Lo habis ditampar, ya?”

Budi, yang sejak tadi hanya menggoyang-goyangkan botol teh di tangannya, langsung membeku. Tatapannya berubah jadi tajam, penuh bara. “Siapa yang berani menyentuh lo?” suaranya dingin, tapi setiap katanya mengandung amarah yang ditahan.

Angkasa diam sejenak. Matanya menatap kosong ke jalanan, seolah mencari jawaban yang tidak pernah ada. Lalu, dengan suara rendah yang nyaris retak, ia menjawab, “Pak Dedi ... Kesiswaan. Gue ditampar dia tadi, di Ruang Kesiswaan.”

Keheningan langsung menggantung di udara. Bahkan suara motor yang melintas di kejauhan pun terdengar seolah dekat telinga. Wajah Tio mengeras. Dika memaki pelan di bawah napas. Budi mengepalkan tangan di atas pahanya.

“Pak Dedi?” ulang Nova lirih, nyaris tak percaya. “Dia nampar lo? Brengsek! Berani-beraninya dia.”

"Dia tampar lo kenapa, Ang?" tanya Tio pelan. Suaranya hampir tak terdengar.

Angkasa tersenyum getir, mirip sebuah ejekan kepada dirinya sendiri. Senyum orang yang sudah terlalu sering dihina. “Karena gue enggak mau mengaku,” katanya akhirnya, suaranya datar tapi penuh luka. “Dia tanya, apa gue ikut tawuran lawan SMK Aztec. Gue bilang enggak. Terus dia gampar gue, dua kali. Di depan Bu Aisha.”

Dika mengembuskan napas keras, lalu tertawa pahit, seolah ada amarah yang tertahan terlalu lama di dadanya. “Kalau gue sih ... langsung gue tampar balik,” desisnya, matanya menyala, tinjunya mengepal di atas paha.

Nova buru-buru menepuk lengan Dika, berusaha jadi penengah. “Tenang, Bro. Kekerasan enggak bakal nyelesain apa-apa.”

Lihat selengkapnya