Warung kecil di ujung jalan itu berlindung di bawah naungan pohon waru yang tua, ranting-rantingnya menjulur seperti jemari yang lelah. Matahari sore menyusup lewat celah-celah daun, menciptakan bayangan patah-patah di wajah Angkasa dan teman-temannya yang masih duduk di kursi kayu yang mulai rapuh.
Udara pukul tiga terasa lengket, lembap, dan menahan napas, seakan ikut merasakan beban di dada mereka. Di tempat ini biasanya mereka bercanda, menghabiskan waktu dengan tawa dan cerita. Namun, sore itu terasa berbeda. Keheningan yang menggantung bukan karena kantuk atau lelah, melainkan karena badai yang baru saja dilepaskan, sebuah keputusan besar yang tak bisa ditarik kembali.
Suara gemerincing tukang es yang lewat memecah keheningan, tapi tak satu pun dari mereka menoleh. Anak-anak kecil berlarian di seberang jalan, tertawa lepas, tidak sadar bahwa beberapa meter dari tempat mereka bermain, sekelompok remaja sedang berusaha menggenggam dunia yang baru saja berubah.
Tio duduk dengan punggung membungkuk, memelintir batang rokok tanpa menyalakannya, sorot matanya yang biasanya kalem kini memancarkan keraguan. Nova, yang biasanya paling banyak bicara, kali ini hanya menatap tanah, bibirnya digigit cemas, seolah menahan ledakan emosi di dadanya. Dika sesekali menggerakkan lututnya, gelisah, menunjukkan kegamangan yang jarang ia perlihatkan. Dan Budi yang terkenal paling cuek dan tak acuh, justru menatap Angkasa seperti sedang menanti aba-aba untuk bertindak, matanya memancarkan kesetiaan buta.
“Kalau lo benar berhenti sekolah, Ang …” suara Nova akhirnya pecah, pelan dan berat, seperti pengakuan yang tertahan lama, “gue juga keluar.”
“Gue juga,” sambung Tio, suaranya hampir berbisik, namun terdengar jelas di antara mereka. “Malas gue sekolah sendirian. Enggak ada lo enggak rame.”
Dika mengangguk cepat, kepalanya terangkat dengan tekad. “Gue sebenarnya dari dulu cuma nunggu alasan buat keluar. Sekarang lo ngasih gue alasan paling masuk akal.”
Angkasa menatap mereka satu per satu. Matanya basah, bukan karena air mata yang jatuh, melainkan karena cahaya sore yang samar menyelinap lewat celah-celah atap warung dan haru yang terlalu berat untuk ditahan. Cahaya itu membuat pandangannya buram, seperti masa depan yang masih kabur, belum terbentuk, tapi perlahan mulai terlihat arahnya.
“Waktu gue dipanggil ke Ruang Kesiswaan, Pak Dedi bilang begini,” ucapnya, suaranya nyaris serak, membawa kembali bayangan tamparan yang masih terasa perih di pipi. “Nanti juga akan mengaku setelah teman-temannya dipanggil ke sini.”
Hening sejenak, seperti ada benang tak terlihat yang menegangkan udara di antara mereka. Dika menggeram pelan, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan kasar, menyalurkan kemarahan yang membuncah. “Wah,keputusan gue semakin bulat buat keluar dari sekolah. Malas banget gue ketemu dia. Hobi banget main tangan. Sumpah, sebenarnya gue pengen banget melawan, tapi ya … takut nanti ilmu gue malah enggak berkah.” Ia menghela napas panjang, seperti sedang menahan sesuatu yang mengganjal di dada.
Nova mengusap kepala Dika pelan. “Kayak lo punya ilmu yang menempel aja, Dik,” godanya, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.
“Ada-lah … walau sedikit.” Dika menyeringai, mencoba menanggapinya dengan canda.
Mereka tertawa keras. Bahkan si Ibu Warung yang sedang meracik gorengan di dalam ikut tertawa, meski ia tak benar-benar tahu apa yang dibicarakan para remaja itu. Mungkin ia hanya senang mendengar suara tawa yang menghidupkan tempatnya mengais rezeki.
Namun tawa itu segera meredup, lenyap ketika Angkasa mengangkat tangannya perlahan. Wajahnya serius, matanya kosong, tapi dalam. Suaranya lirih namun seperti palu yang menghantam tepat ke dada.
“Gue serius waktu bilang gue pengen kaya,” katanya, nyaris seperti bisikan, namun didengar jelas oleh semuanya. “Gue capek, Bro. Gue capek jadi orang miskin. Gue capek hidup dengan rasa takut dan malu. Dan yang paling gue enggak bisa terima …”
Ia menarik napas panjang, lalu menunduk. Suaranya mulai bergetar, memecahkan ketegaran yang selama ini ia coba pertahankan. “Gue enggak mau melihat orang yang gue sayangi, meninggal cuma karena enggak punya uang buat berobat. Lo tahu enggak rasanya melihat orang yang lo sayang, tiba-tiba pergi untuk selamanya … dan lo enggak bisa melakukan apa-apa?”
Tak ada yang menjawab, bahkan Dika pun kali ini memilih diam, tatapannya kosong. Tio menunduk, pura-pura memainkan korek api, seolah tak sanggup menatap kepedihan yang terpancar dari Angkasa. Nova memandangi Angkasa dengan mata berkaca-kaca, seakan ingin menampung setiap luka yang keluar dari mulut sahabatnya, hatinya teremas.
“Makanya gue bilang, gue pengen kaya. Karena itu satu-satunya cara gue bisa melindungi orang-orang yang gue sayang. Itu satu-satunya cara biar gue bisa berdiri tegak tanpa harus menunduk ke siapa pun.” Tangan Angkasa mengepal di atas meja sehingga kayu tua itu berderak, seperti menanggapi kemarahannya yang tertahan, resonansi dari penderitaan yang memilukan.