Sore itu, suasana di warung kecil di ujung jalan terasa lebih hidup. Lampu-lampu mulai menyala, memancarkan cahaya hangat yang menyelimuti wajah Angkasa dan teman-temannya. Meja kayu panjang menjadi tempat berkumpul favorit mereka, di mana obrolan dan tawa biasa mengalir dengan bebas. Namun, kali ini, ada ketegangan yang menggantung di udara, seiring dengan keputusan besar yang baru saja mereka buat.
Setelah diskusi panjang dan getir soal keputusan berhenti sekolah, ada keheningan aneh yang menggantung di antara mereka. Bukan lagi keheningan karena ragu, tapi karena semangat yang mulai menyala perlahan, seperti bara yang baru ditiup.
Rokok berpindah tangan dari satu ke yang lain, asapnya melingkar di udara, menyembunyikan sedikit ketegangan yang masih tersisa.
Budi bersandar sambil mengepulkan asap ke langit. “Guys, gue punya ide, nih,” katanya, nada suaranya ringan, tapi ada nyala kecil di balik matanya, seperti percikan kenakalan yang akan memicu sesuatu.
Empat pasang mata langsung tertuju padanya. Nova mendengus curiga. “Kalau yang ngomong Budi, pasti idenya miring.”
“Eh, jangan suudzon dulu. Kali ini gue serius. Sumpah,” jawab Budi sambil menyeringai, senyum nakalnya sudah muncul duluan.
“Coba deh, jelaskan. Tapi tolong … jangan lagi-lagi ide jual ginjal kayak tadi,” kata Angkasa dengan nada datar, tapi jelas ia penasaran juga.
Budi duduk tegak. Ia menatap mereka satu per satu, ekspresinya mendadak khidmat yang justru bikin Tio nyaris tertawa. “Begini,” katanya mulai pelan, “kita bentar lagi cabut bareng-bareng dari sekolah, kan? Gue pikir, masa kita cabut begitu aja, tanpa pamit, tanpa kesan?”
“Kesan?” Dika mengangkat alis. “Lo serius?”
“Serius. Kita kasih kenang-kenangan buat sekolah. Buat semua yang udah berjasa telah menyakiti kita,” lanjut Budi, kini mulai bicara lebih berapi-api, semangatnya menular. “Terutama buat Pak Dedi yang tangannya lebih cepat dari mulutnya.”
Nova langsung paham arah omongan Budi. “Oh, jangan-jangan ... lo mau kita bikin kejutan?”
Tio yang dari tadi diam, menimpali dengan polos, suaranya sedikit canggung, “Kejutan semacam ... buket bunga begitu?”
“Buket? Lo pikir gue siapa?” Budi nyaris tersedak karena tertawa. “Bukan, Bro. Ini gue, Budi. Kalau gue kasih buket, isinya pasti bukan bunga. Mungkin bom!”
Yang lain langsung tertawa. Tawa yang keras, lepas, dan lama, meledak di warung itu. Untuk sesaat, mereka lupa kalau beberapa hari lagi, mereka bukan lagi siswa sekolah. Mereka hanya lima anak jalanan yang tertawa di bawah langit senja, mencoba membuat masa depannya sendiri, seolah tawa itu adalah perisai dari ketidakpastian.
Setelah tawa mereka mereda, Angkasa menghela napas panjang. “Gue mengerti maksud lo, Bud,” katanya lirih. “Lo pengen kita pergi dengan kepala tegak, ya? Pergi dengan bangga?”
Budi mengangguk. Kali ini senyumnya tak sekonyol tadi. Ada sesuatu yang tulus di sana, sebuah pengertian yang mendalam. “Gue cuma enggak mau kita cabut kayak pengecut. Sekolah itu memang menyakiti kita, tapi di sanalah kita kenal satu sama lain. Tempat kita jatuh, juga tempat kita tumbuh.”
“Walau tumbuhnya kayak ilalang yang diinjak-injak ya?” kata Nova, tersenyum kecut.
“Yoi. Tapi ilalang itu bandel. Dihancurin, dia tumbuh lagi.”
Cahaya oranye lembut membasuh wajah mereka. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, tentang masa lalu, tentang luka, tentang impian yang masih samar yang kini mulai terbentuk.
Angkasa akhirnya berdiri. “Oke. Kita bakal kasih kenangan buat sekolah. Tapi bukan buat balas dendam. Bukan buat bikin onar. Tapi biar mereka tahu … kita pernah ada di sana. Kita pernah berjuang, walau enggak pernah dihargai.”
Nova bangkit dan mengangguk, matanya penuh tekad. “Setuju. Ini bukan tentang mereka. Ini tentang kita.”