Langit sore di salah satu tempat di Jakarta Selatan membara keemasan, seperti kota itu sedang menahan napas sebelum malam jatuh sepenuhnya. Di bawah cahaya temaram itu, Lima Serigala berdiri di depan sebuah minimarket yang baru saja mereka kuasai. Tak ada keributan. Tak ada perlawanan berarti. Hanya anggukan setuju seorang Tukang Parkir yang kini tahu siapa yang menjadi pelindung tempatnya mencari nafkah. Langkah pertama berhasil, tapi mereka tahu bahwa langkah berikutnya tak akan semudah ini. Mungkin akan ada darah dan air mata yang akan terlibat.
“Jadi, parkiran mana lagi yang kita tuju?” Nova bersandar santai di atas motornya sambil menyisir rambut ke belakang. Cahaya matahari yang hampir tenggelam membuat siluet wajahnya tampak seperti pahlawan dari jalanan, tenang tapi mematikan.
“Gue dengar ada parkiran di kafe dekat sini,” sahut Budi, mengancingkan jaket kulitnya yang sudah usang tapi setia. “Sudah pasti salah satu aset Naga Hitam, dan pasti akan keberatan juga dengan aturan baru yang gocap per hari. Kita bisa lanjut ke sana.”
“Tapi kita harus hati-hati,” ujar Tio pelan, suaranya rendah namun tajam. “Naga Hitam sepertinya bukan geng sembarangan. Beda kelas dengan orang-orang lapangan yang biasa mereka peras.”
“Ingat, kita Lima Serigala,” Dika menyela, suaranya menyeringai. “Enggak ada yang bisa menyentuh kita, apalagi bisa mengalahkan.”
Angkasa hanya melempar senyum tipis. Ia tahu Dika selalu percaya diri, keras di mulut, tapi belum pernah benar-benar berdarah. Tapi ia juga tahu, keyakinan seperti itu adalah bahan bakar yang menjaga kawanan mereka tetap utuh. Kadang, sedikit gila lebih berguna daripada terlalu waras.
Ia menatap ke arah barat, di mana cahaya terakhir hari itu melukis gedung-gedung dengan bayangan panjang. “Kita mulai dari kafe itu,” katanya pelan, tapi tegas. “Kalau itu mulus, kita lanjut ke parkiran bank. Habis itu lanjut ke pasar.”
Angin sore berembus pelan, membawa debu dan mimpi tentang kekuasaan. Di jalanan kota yang keras, hanya yang berani menggigit yang akan bertahan.
Ketika mereka tiba di parkiran kafe, suasana tampak sepi. Hanya ada beberapa motor yang terparkir, dan seorang Tukang Parkir Berambut Sebahu duduk di sudut dengan wajah muram.
“Permisi, Bang,” kata Budi, juru bicara Lima Serigala. “Kami dari Lima Serigala. Kami cuma mau bicara.”
Laki-laki itu mengangkat wajahnya, tampak waspada. “Lima Serigala? Kalian bukan dari Naga Hitam?”
“Bukan, Bang,” jawab Angkasa berusaha meyakinkan. “Kami enggak mau bikin masalah. Kami cuma mau menawarkan perlindungan.”
“Perlindungan?” Laki-laki itu mengerutkan kening.
“Iya, Bang. Perlindungan Tempat Parkir. Jangan khawatir, kami enggak akan minta sebanyak Naga Hitam. Uang jasa perlindungan dari kami hanya lima ribu per hari,” Angkasa menjelaskan. “Dan kami jamin tempat ini akan aman.”
Laki-laki itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau kalian bisa bikin tempat ini aman dari Naga Hitam, gue setuju. Mereka sudah enggak masuk akal, masa sekarang minta gocap per hari. Kalo segitu yang jaga parkir dapat apa? Apalagi kalau parkiran sepi kayak begini.”
Budi tersenyum. “Tenang, Bang. Tempat ini akan ada di bawah perlindungan Lima Serigala,” katanya seraya menjabat tangan Tukang Parkir itu. “Terima kasih ya, Bang. Mulai sekarang, enggak ada yang bakal ganggu tempat ini.”