Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Seolah semesta sedang menahan cahayanya, membiarkan malam benar-benar hitam, sunyi, dalam, dan menunggu sesuatu terjadi. Di sebuah kafe, terletak di tengah wilayah yang kini mereka kuasai, Lima Serigala duduk melingkar di sudut ruangan. Angkasa, Nova, Budi, Dika, dan Tio. Mereka adalah lima remaja yang bukan lagi sekadar anak putus sekolah. Mereka kini adalah nama yang mulai dibisikkan dengan hormat ... atau takut.
Tempat itu tidak ramai malam itu, dan mereka sudah izin langsung kepada pemiliknya untuk memakai sudut kafe hanya sebentar, sekadar tempat berbincang, membahas langkah selanjutnya dalam rencana mereka. Pemilik kafe mengangguk cepat, lalu datang membawa kopi dan makanan kecil gratis. Tanpa diminta. Bukan karena murah hati, tapi karena ia tahu siapa yang sedang duduk di mejanya. Ada tatapan hati-hati dalam matanya semacam pengakuan diam-diam. Mungkin ia tidak tahu secara pasti ke mana lima anak muda itu akan melangkah, tapi ia tahu satu hal, masa depan mereka tidak biasa. Dan dalam dunia seperti ini, lebih baik mengambil hati para penguasa sebelum mereka naik terlalu tinggi untuk dijangkau.
Kopi mengepul perlahan. Udara yang hangat bercampur dengan malam yang lembap. Tak banyak kata, tapi udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan impian yang belum sempat dikatakan keras-keras, dan juga ketakutan kecil yang tak boleh terlihat.
“Kita harus lebih cepat dari sekarang,” ujar Angkasa datar. Matanya tajam, menatap titik-titik merah yang tersebar di atas peta kertas lusuh, tanda dari wilayah-wilayah baru yang berhasil mereka klaim. Jari telunjuknya mengetuk permukaan meja, pelan tapi tegas. “Selama ini kita cuma bisa ambil satu atau dua titik sehari. Itu terlalu lambat.”
Dika, yang duduk sambil menggerak-gerakkan lututnya dengan gelisah, mendengus. “Lebih cepat? Lo kira gampang, Ang? Kita ini cuma berlima. Lo mau kita berpencar ambil lima titik sehari? Itu sama aja bunuh diri. Kita masih sering dihadang orang Naga Hitam, belum lagi yang lain. Bisa hilang nyawa kita kalau salah gerak, Ang.”
Angkasa menoleh cepat. Tatapannya menabrak mata Dika, tajam dan penuh arah. “Gue tahu risikonya, Dik. Tapi kalau kita main aman terus, kita bakal selamanya jadi anak bawang.”
Budi langsung menimpali, memotong ketegangan dengan suaranya yang berapi-api. “Gue setuju sama Angkasa! Gas aja, Ang! Kalau kita pelan-pelan, kita keburu digilas sama mereka. Mending kita serang duluan semua titik! Gue siap!”
Dika kembali menyeringai tipis, kali ini dengan nada yang lebih sinis. “Jadi ... kita mau jadi Tukang Parkir beneran nih, sampai mempertaruhkan nyawa segala?”
Angkasa menggeleng. Tidak tersenyum, tidak juga tersinggung. “Kita bukan Tukang Parkir. Ingat, kita buka jasa pengamanan. Khusus jasa pengamanan untuk Tukang Parkir. Berbeda literasinya.”
Kata-katanya pelan, tapi mengandung bobot yang membuat keempat temannya terdiam lagi. Dari cara ia bicara, dari cara ia memandang angka dan wilayah, mereka tahu bahwa Angkasa tidak hanya sedang membangun geng. Ia sedang membangun kekuasaan.
Angkasa mengangguk pelan, lalu menoleh kembali ke arah Dika. “Masalah ini udah kita bahas, ya,” ujarnya tenang, namun penuh tekanan halus. Dika menunduk, karena tahu dirinya keliru di hadapan Angkasa, mengakui tanpa harus diminta bicara.
.Angkasa kemudian berdiri sedikit lebih tegak, menatap peta lusuh yang masih tergelar di meja, jari telunjuknya menyusuri garis-garis merah dan titik-titik kecil yang menandai ambisi mereka. “Kalau dalam sebulan kita bisa kuasai tujuh ratus lima puluh titik parkir, dikalikan lima ribu perak, itu jadi berapa?”
Ia menoleh ke sahabat-sahabatnya satu per satu, Nova, Budi, Dika, Tio. Tatapannya tajam, tapi tidak keras. Ia tahu mereka tahu jawabannya. “Enggak perlu dihitung. Yang pasti adalah di bulan kedua kita udah bisa makan enak. Kita bisa memberikan uang ke orang-orang yang kita cintai. Bisa bikin mereka enggak lagi harus milih antara bayar listrik atau beli beras.”
Tak ada yang menjawab, tapi memang tidak perlu. Empat kepala di depannya mengangguk pelan. Nova dan Tio mendongak ke langit malam yang pekat. Bukan mencari bintang, tapi membayangkan masa depan. Mungkin ibunya tersenyum sambil membuka amplop berisi uang bulanan. Mungkin adiknya akhirnya bisa sekolah tanpa harus pinjam uang tetangga untuk ongkos.