Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #14

Di Rumah yang Masih Mau Menerima

Bu Aisha menyetir mobil minibus warna silver miliknya menyusuri jalan-jalan di menuju rumahnya yang mulai lengang. Lampu jalan bergoyang pelan tertiup angin malam, menambah kesan sunyi dan suram. Angkasa duduk di kursi depan, kepala berdarah dibalut kain basah, tatapannya kosong menembus kaca depan. Di kursi belakang, Nova, Dika, Budi, dan Tio saling bersandar, terdiam. Luka dan lebam mulai terasa perih, tapi bukan itu yang paling menyakitkan. Yang lebih perih adalah rasa gagal, rasa bahwa dunia masih terlalu besar untuk mereka taklukkan, dan mimpi yang tadi hampir mereka genggam kini terasa jauh dan rapuh.

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana bertingkat dua, rumah Bu Aisha. Lampu-lampu teras sudah menyala, dan pintu rumah itu terbuka lebar, seakan memang telah menanti mereka pulang dari medan perang. Seseorang, mungkin keluarga, atau hanya cahaya pengertian, tampak berdiri samar di dalam.

“Masuk. Jangan banyak alasan,” ucap Bu Aisha, pelan tapi tegas, mematikan mesin mobil dan menoleh ke mereka satu per satu. “Ini memang bukan sekolah … tapi saya tetap guru kalian.” Kalimat itu, dalam kesederhanaannya, adalah pelukan pertama yang mereka terima malam itu. Bukan dari tangan, tapi dari rasa yang tak pernah benar-benar hilang, bahwa mereka masih dianggap anak-anak yang bisa diselamatkan.

Tak lama, pintu depan terbuka kembali. Seorang dokter pria masuk tergesa, membopong tas medis besar dengan saku-saku penuh alat dan botol kecil yang berderak halus. Wajahnya serius, tubuhnya dibalut jaket panjang, dan langkahnya cepat, seperti sudah biasa menghadapi luka yang lebih dari sekadar fisik. Tanpa banyak bicara, ia langsung bekerja.

Nova, yang kepalanya terus meneteskan darah, menjadi yang pertama. Dokter itu membersihkan lukanya, menyemprotkan cairan antiseptik, lalu dengan gerakan terampil mulai menjahit pelipisnya yang robek. Nova meringis, matanya basah, tapi tetap diam. Rasa sakit bukan hal baru. Tio mengangkat tangannya perlahan, menahan nyeri. Dokter membalut pergelangan tangan yang bengkak dengan perban elastis, lalu menatap matanya sebentar. “Kamu kuat?” Tio hanya mengangguk. Dika dan Budi menerima suntikan di lengan, pereda nyeri dan mungkin pereda malu. Karena tak ada yang lebih menyakitkan daripada dipukul saat sedang percaya diri bisa menang.

Yang terakhir, Angkasa. Ia tak bicara, tak mengeluh. Saat cairan dingin menyentuh luka di pelipisnya, ia hanya menatap ke atas, ke langit-langit rumah Bu Aisha. Di sana, hanya ada lampu gantung kecil, dan aroma pengharum ruangan yang menyimpan kenangan, bercampur dengan wangi teh manis yang baru saja diseduh di dapur. Sambil tubuhnya ditangani, pikirannya melayang. Ia berpikir tentang apa yang terjadi beberapa menit lalu. Tentang impian yang diremukkan oleh sepatu bot dan tongkat kayu, tentang rasa malu yang tidak ada obatnya. Meski tak ada yang menangis, malam itu semua luka terasa seperti pelajaran yang tak pernah mereka dapatkan di ruang kelas mana pun.

Selesai perawatan, ruang tamu rumah Bu Aisha menjadi lebih hening daripada sebelumnya. Hanya terdengar suara jam dinding berdetak pelan, dan sesekali hembusan angin malam dari jendela yang setengah terbuka. Bu Aisha duduk di depan mereka. Tubuhnya tegak, tangannya menyatu di pangkuan, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi matanya adalah milik seorang guru yang terlalu lama menahan kekhawatiran dan tak bisa lagi menyembunyikan tanya.

“Sekarang kamu jawab saya, Lang,” ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik namun tajam menusuk. “Kenapa kalian malam-malam ada di kafe itu … dan berkelahi pula?”

Angkasa terdiam. Ia menarik napas perlahan, lalu mengangkat bahu. Matanya melirik ke kanan dan kiri, menatap sahabat-sahabatnya yang duduk bersandar lelah di sofa dan karpet. Mereka juga diam, hanya menatapnya balik, menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu.

Akhirnya, Angkasa bersuara. “Sebenarnya … saya lagi gabut, iseng aja, Bu. Daripada bengong di rumah. Lagi pula, saya ‘kan diskors dari sekolah …”

Lihat selengkapnya