Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #15

Yang Tersisa dari Malam Itu

Pagi menyelinap perlahan ke sela-sela tirai rumah Bu Aisha, membasuh ruang tamu yang sunyi dengan cahaya keemasan yang hangat, seolah ingin menyembuhkan sesuatu, tanpa suara, tanpa syarat. Aroma teh manis dan eucalyptus dari perban semalam masih menggantung samar di udara, seperti jejak keibuan yang belum sempat benar-benar hilang.

Lima remaja itu belum beranjak. Mereka tidur berserakan di sofa dan permadani, bukan seperti anak nakal yang kabur dari rumah, tapi lebih mirip tentara muda yang pulang dari pertempuran yang terlalu besar untuk usia mereka. Tubuh mereka lelah, tapi pikiran mereka masih berisik.

Bu Aisha sudah bangun sejak sebelum subuh. Tak ada suara pintu dibanting, tak ada teguran lembut. Hanya kesunyian yang dihias oleh bau roti panggang, selai kacang, dan air hangat. Ia menyiapkan sarapan seperti biasa, untuk dirinya dan kelima tamunya. Seolah malam penuh darah dan ketakutan semalam tak pernah benar-benar terjadi. Ia tak membangunkan mereka. Ia hanya menempelkan secarik catatan kecil di termos teh.

“Saya berangkat kerja, ya. Kalian bisa tinggal lebih lama jika memang ingin. Saya juga berharap kalian ikut saran saya untuk kembali ke sekolah.” Tak ada tanda tangan di sana. Tak ada emoticon lucu. Hanya kalimat sederhana yang terasa seperti pelukan.

Jam tujuh pagi, langkah sepatu kerja terdengar di lantai keramik. Lalu pintu depan dibuka pelan, dan suara itu, yang tadi ada di rumah ini seperti detak jantung kedua, menghilang perlahan ke jalanan Jakarta.

Angkasa terbangun lebih dulu, napasnya berat membelah keheningan pagi. Lukanya sudah berangsur terkondisikan, tapi ada sesuatu yang tetap menusuk dalam dadanya, seperti lubang kosong yang tak bisa ia tutup. Matanya perlahan menatap sekeliling rumah itu. Rak buku yang tersusun rapi, papan catatan kecil dengan kata-kata motivasi yang dulu sering ia dengar di sekolah dan kerap membuatnya bertahan. Lalu, pandangannya tertumbuk pada sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding. Foto Bu Aisha.

Ia mengenakan baju batik sederhana, senyumnya teduh dan penuh ketulusan, berdiri di depan kelas bersama beberapa murid yang tampak penuh harapan. Angkasa terdiam, dadanya sesak. Seperti seutas benang kenangan yang tiba-tiba putus, meninggalkan luka yang tak terlihat tapi terasa sangat dalam. Entah kenapa, langkah Angkasa terasa berat namun tertarik tanpa bisa ditahan. Ia melangkah pelan menuju foto itu, seolah ada magnet tak terlihat yang memanggilnya.

Lihat selengkapnya