Angkasa kembali menginjak tanah halaman rumahnya, diikuti oleh keempat sahabatnya. Suara kerikil berderak di bawah sepatu mereka, seolah menyambut langkah-langkah penuh tekad itu. Lantai semen yang retak menyambut seperti teman lama, dan pagar besi yang sudah bengkok berderit pelan kala disentuh angin sore yang muram. Di setiap dinding rumah tua itu, masih melekat aroma sisa kemiskinan yang tak bisa hilang hanya dengan cat baru atau sapuan pel. Bagi kelima anak muda itu, tempat ini lebih dari sekadar tempat berteduh, ini adalah markas. Titik nol, di mana mimpi-mimpi yang awalnya dianggap mustahil mulai dibisikkan pelan, di antara malam-malam gelap dan sarapan seadanya keesokan hari.
Angkasa menatap pintu tua yang slotnya menggantung longgar, gemboknya sudah berkarat tapi masih setia di tempat. Ia menghela napas panjang. Ada perasaan aneh di dadanya, seperti menelan nostalgia yang masih setengah mentah. Rumah Bu Aisha memang memberi kenyamanan baru, lantai bersih, udara wangi, dan bantal empuk. Tapi rumah ini adalah saksi bisu tawa dan tangisnya bersama Bapak dan adiknya, Mentari. "Kalau ada tempat di dunia yang bisa kusebut rumah," batinnya lirih, "ya ini."
Mereka duduk di ruang tamu, sofa-sofa tua yang tak lagi pantas untuk menyambut tamu. Busa mencuat dari sobekan kain, dan kaki-kaki kursi nyaris patah. Dinding penuh coretan lama jadi saksi bisu dari masa kecil Angkasa yang tak pernah benar-benar selesai. Nova mengambil teko plastik bening yang sudah keruh warnanya, menuang air ke dalam gelas-gelas berbeda-beda bentuk dan tak satu pun seragam. Air itu entah sisa kemarin, atau bahkan kemarin lagi. Tak ada yang bertanya. Tenggorokan kering dan masalah besar membuat air seperti itu terasa cukup mewah untuk diminum bersama. Nova meneguk sedikit, lalu meletakkan gelas di lantai.
“Terlepas dari apa yang terjadi kemarin, Lima Serigala harus mulai gerak lagi,” ucap Angkasa tegas. Suaranya memecah keheningan seperti palu godam yang menghantam lantai. “Sesuai rencana, masing-masing dari kita minimal harus amankan lima titik lahan parkir per hari. Kita udah enggak bisa terus-menerus bertahan kayak begini. Kita harus berkembang.”
Tio, yang biasanya paling santai, kali ini terlihat gelisah. Ia duduk sambil menggoyang-goyangkan lututnya, tangan mengepal, rahang mengeras. “Mereka mungkin udah mulai pakai preman beneran buat jaga lahan parkir setelah tahu wilayah mereka kita ambil satu persatu, Ang,” katanya pelan, tapi tegas. “Kita enggak bisa lawan langsung Naga Hitam. Kita kalah jumlah.”
Suasana ruang tamu mendadak lebih sunyi dari sebelumnya. Budi dan Dika yang duduk berdampingan di pojok ruangan saling melirik, lalu tersenyum tipis. Ada ironi yang tak terucap di balik senyum mereka. ‘Preman beneran’ frase itu terasa lucu di telinga mereka. Karena jika yang selama ini mereka lakukan bukan tindakan preman, lalu mereka ini apa? Anak Rohis?
Angkasa berdiri di tengah ruangan, diam mematung seperti patung kesunyian. Tubuhnya tegak, tapi sorot matanya membakar, penuh tekad, dan luka yang tak pernah sembuh. Ia menatap dinding kosong di hadapannya seolah-olah di sana tergantung peta pertempuran tak terlihat, garis-garis nasib yang harus mereka ubah. Lalu suaranya pecah dalam hening, pelan namun menusuk seperti pisau tajam yang menghujam meja rapat.
“Kita harus gandakan jumlah kita.”
Kata-kata itu menggema. Seakan menyentakkan jiwa yang sempat lunglai. Empat pasang mata langsung menoleh kepadanya.
Dika mendengus, alisnya mengerut. “Caranya?” tanyanya cepat, suaranya penuh ketidakpercayaan.
“Bang Jago.” Tanpa berkedip, Angkasa menjawab. “Dia penguasa semua pasar di Jakarta Selatan,” lanjut Angkasa, suaranya kini lebih rendah, tapi lebih berat. “Anak buahnya banyak. Orang-orang yang percaya padanya juga setia. Kalau kita bisa taklukkan dia … atau minimal bikin dia percaya sama kita, kita bisa pinjam kekuatannya, untuk melawan Naga Hitam.”
Sejenak ruangan sunyi dan udara terasa sesak. Tio menggeleng pelan, sementara Budi justru duduk lebih tegak, matanya menyorot penuh minat. Nova tertawa getir. “Kita aja belum apa-apa, Ang. Mau ajak Bang Jago segala ... ” gumamnya.
“Kalau kita terus bertahan seperti ini, kita cuma tikus yang bakal diburu sampai mati. Kita butuh senjata, butuh orang, butuh tempat berpijak. Dan salah satunya jalan … ya lewat Bang Jago,” Angkasa menjelaskan.