Langit masih berwarna kelabu, seolah tak pernah benar-benar mengizinkan mentari bersinar penuh. Angkasa melangkah mantap di depan, diikuti oleh Budi dan Dika yang berjalan setengah berjaga di belakangnya. Mereka kembali ke tempat yang pernah jadi saksi bisu pertemuan mereka dengan Tukang Parkir anak buah Bang Jago. Sebuah parkiran di bagian depan Pasar Lama. Di sinilah dulu segalanya bermula, dan di sinilah mereka berharap menemukan jejak menuju orang yang dicari.
Suara klakson angkot dan teriakan pedagang menyambut mereka bahkan sebelum mereka benar-benar masuk ke area pasar. Di kiri kanan, kios-kios semi permanen berdiri berimpitan, sebagian menjajakan sayur mayur, sebagian lagi baju, buah-buahan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Bau keringat, gorengan, dan sampah basah bercampur jadi satu, menampar indra mereka dengan brutalisme khas pasar tradisional.
"Awas, Bang!" seru seorang bocah kurus sambil menuntun gerobak penuh karung beisi sembako yang hampir menabrak Dika. Ia hanya mengangkat alis, sementara Angkasa tetap berjalan, tatapannya mengarah lurus ke area parkir yang mulai terlihat di kejauhan. Mereka sengaja memarkirkan kendaraannya jauh dari tempat parkir supaya tidak terkesan provokatif, tidak terkesan mau menyerang.
Berdasarkan keterangan yang didapatkan Dika dari temannya, setiap tempat parkir milik Bang Jago selalu ada anak buahnya yang menemani Tukang Parkir untuk menjaga keamanan. Beruntung beberapa hari lalu saat mereka berkunjung untuk mengambil alih tidak berjumpa mereka, jika bertemu pasti akan ada hal yang tidak menyenangkan terjadi.
Parkiran itu dipenuhi sepeda motor berjejer rapat, beberapa terparkir miring asal-asalan yang memaksa petugas parkir mau tak mau merapikannya. Di ujungnya, sebuah warung kopi berdinding triplek masih berdiri, berisi laki-laki berkaus singlet dan celana pendek, sebagian merokok, sebagian lagi tertawa keras menonton video dari ponsel masing-masing.
"Itu tempatnya," gumam Dika pelan, seperti sebuah bisikan di telinga Angkasa.
Angkasa memandang sekeliling dengan hati-hati. Ia sudah memberi aba-aba kepada Budi, Tio, dan Nova untuk memantau dari kejauhan. Hanya akan datang jika situasi mendesak. Ia tahu, ini bukan tempat biasa.
Ia dan Dika melangkah perlahan menuju warung kopi yang terletak di pojok Pasar Lama. Warung itu seperti tak pernah sepi. Di dalamnya berkumpul para preman, mungkin salah satunya adalah pengaman lahan parkir. Angin bercampur asap rokok dan aroma kopi pekat menggantung tebal di udara.
Mereka berhenti di depan seorang lelaki bertubuh kekar, dengan tato ular besar yang melingkar di lengan kirinya. Usianya sekitar kepala empat, tatapan matanya dingin, tapi penuh pengalaman. Dika maju selangkah, suaranya sopan tapi gemetar sedikit karena gugup. “Maaf, Bang. Kami mencari Bang Jack.”
Lelaki itu menatap mereka tanpa berkedip. Lalu, dengan suara rendah dan tajam, ia menjawab, “Lo siapa? Gue Jack.”
Dika menelan ludah. “Gue Dika, Bang. Temannya Rohim. Katanya gue bisa minta bantuan Abang.”
Jack diam sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia lalu memberi kode pada anak buahnya. Dua orang langsung bangkit, memberi tempat duduk kosong di meja kayu usang yang sudah penuh coretan. Angkasa dan Dika pun duduk. Mereka kini berhadapan langsung dengan Bang Jack.
Namun, mata Angkasa tidak pernah berhenti bekerja. Ia memperhatikan gerak-gerik sekeliling. Salah satu anak buah Jack tampak merogoh jaketnya, gerakan yang tidak bisa dianggap enteng. Tangannya otomatis mengerat-ngerat meja, siap berdiri kapan saja.