Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #18

Bang Jago

Apa yang dilakukan Jack nyaris tak berarti bagi Angkasa. Bagi pemuda itu, duel satu lawan satu melawan anak buahnya bukan lagi sesuatu yang menyulitkan. Sehari-harinya di sekolah, ia sudah terbiasa berkelahi dengan teman-teman sekolahnya, bahkan terlibat dalam tawuran di luar jam pelajaran. Rutinitas keras itulah yang menjadikannya sesosok ahli bela diri yang cekatan. Namun, keahliannya bukan sekadar hasil pertarungan fisik. Ketika Tio berhasil meretas Wi-Fi sekolah, Angkasa sering menggunakan koneksi internet haram itu untuk menonton video tutorial bela diri di YouTube. Ia menyerap teknik baru, mengamati gerakan hingga berlatih sendiri di malam hari, menyatukan praktik dan teori untuk menyempurnakan kemampuan.

Sesuai kesepakatan sebelum duel one on one tadi, Jack akan mengantar Angkasa dan keempat Serigala lainnya ke rumah Bang Jago. Namun ia hanya sampai ke depan rumah. Ia tidak berani masuk untuk bertemu langsung dengan atasan yang belum pernah ditemuinya, mungkin sungkan, mungkin juga karena hal lainnya.

Tidak ada protokol berat yang mereka lewati, penjaga gerbang hanya menanyakan ada keperluan apa, bertemu siapa, seolah Bang Jago memang mempersilakan siapa pun bertemu dengannya, tidak peduli pejabat besar atau rakyat jelata.

Gerbang besi terbuka perlahan, seolah menyambut mereka. Suara deritnya seperti gong tanda dimulainya pertunjukan berbahaya.

Angkasa, dan keempat sahabatnya disambut oleh dua anjing penjaga besar, moncongnya yang berjumbai menatap tajam. CCTV di pohon dan tiang merekam setiap gerakan, seperti mata-mata bisu yang membaca ekspresi wajah mereka. Nova menggigit bibir, jantungnya berdegup. Ia hanya melihat bayangan gelap di balik pintu beranda, sosok yang belum tampak, namun kehadirannya terasa berat menekan udara. Diam-diam, ia merasakan jantungnya menahan ritme yang hampir meledak. Mereka belum berbicara dengan sang Bos. Namun markas ini sudah berbicara banyak, bukan sekadar rumah, melainkan kerajaan kekuasaan yang tidak bisa dimasuki dengan ringan.

Mereka disambut oleh seorang laki-laki di beranda, berusia sekitar tiga puluh tahunan dengan pakaian semi resmi, kemeja warna hitam dan bercelana denim. Dengan sopannya ia bertanya ada perlu dengan siapa dan mempersilakan duduk setelahnya. Ia meninggalkan mereka setelahnya setelah meminta mereka untuk menunggu.

Nova menoleh ke Dika setelah laki-laki itu tak terlihat. Bibir Cewek Tomboy itu melengkung tipis, setengah berbisik namun cukup keras terdengar oleh Angkasa dan Dika. “Sepertinya Bang Jago enggak punya banyak anak buah,” katanya. Suaranya tenang, seperti mencoba menyampaikan fakta mengejutkan. Nova menyimpulkannya dari suasana yang terasa lapang, tak ada kerumunan atau hiruk pikuk, hanya dua penjaga gerbang yang berdiri dengan tenang, dan dua ekor doberman yang ikut menjaga.

Dika mengangguk pelan, namun terlihat tak setuju. “Kata teman gue, mereka enggak stay di sini. Ada basecamp khusus untuk mereka.” Suaranya berat, seperti kalimat yang menambah berat misteri. Nova dan Angkasa saling bertukar pandang. Kesimpulan itu masuk akal, markas ini tampak terlalu tenang, terlalu bersih dari hiruk-pikuk pengawal bersenjata.

Percakapan mereka terjeda ketika seorang laki-laki paruh baya dengan badan kekar yang memancarkan kekuatan terpendam bergabung bersama mereka. Raut wajahnya keras, dengan guratan pengalaman yang terukir jelas di sekitar mata dan bibir tipisnya, seolah setiap keputusan hidupnya diukir dengan ketegasan baja. Di belakangnya, seorang laki-laki muda berwajah cermat, tampaknya adalah seorang asisten. Sorot matanya tajam dan waspada, seakan tak ada detail pun yang luput dari pengawasannya, menunjukkan kecerdasan dan kesetiaan yang diam.

“Ada apa keperluan kalian datang ke sini?” Suara itu memecah kesunyian seperti guntur di udara yang mendung. Tidak ada sapaan, tidak ada keramahan, hanya pertanyaan tajam yang terasa seperti ujian. Angkasa dan keempat sahabatnya saling pandang, jantung mereka berdebar tak menentu.

“Perkenalkan saya Angkasa, Bang. Ini teman-teman saya namanya ... ”

Belum sempat ia melanjutkan, potongan suara Bang Jago membentak masuk seperti sambaran kilat di tengah badai. “Langsung aja, gue enggak punya banyak waktu.”

Dalam sekejap, ketegangan pun membuncah. Ada jeda sesaat sebelum Angkasa menarik napas dan berkata. “Kami datang untuk …” suara Angkasa sedikit berat, seolah ia memilih kata yang tepat, “meminta bantuan Bang Jago menyelesaikan urusan yang sangat penting, urusan yang mungkin, tidak bisa ditangani orang biasa.”

Lihat selengkapnya