Dua lelaki itu berdiri berhadapan di tengah pekarangan rumah mewah. Langit gelap bagaikan menahan napas, menyaksikan duel yang mungkin hanya akan meninggalkan satu pemenang. Di belakang mereka, para anggota dari kedua kubu berdiri diam dalam formasi rapat. Tidak ada teriakan, tidak ada sorakan, hanya detak jantung yang terdengar lebih keras dari suara apa pun.
Anak buah Bang Jago yakin sekali pemuda itu tak akan mampu menumbangkan majikan mereka. Sebenarnya, sahabat-sahabat Angkasa pun merasakan hal yang sama. Mereka ragu, apakah sang Alpha bisa memenangkan duel?
Tentunya tidaklah sama duel dengan anak buah Jack dengan duel melawan Bang Jago, penguasa parkiran pasar se-Jakarta Selatan. Pastilah ilmu bela diri dan ketangkasan Bang Jago berbeda.
“Gue harus keluarkan semua kemampuan,” bisik Angkasa pada dirinya sendiri, tangannya gemetar karena beban harapan yang ia pikul. “Gue harus menang. Lima Serigala harus menang.”
Sementara Bang Jago hanya tersenyum kecil. Senyum yang penuh arti. Senyum seorang legenda yang tahu bahwa siapa pun yang berdiri di hadapannya pasti akan bertekuk lutut.
“Kita mulai?” katanya pelan. Pertanyaannya dijawab dengan anggukan pelan Angkasa.
Seperti kilat yang menyambar, serangan pertama dilancarkan. Pukulan pertama datang cepat, sebuah tendangan yang nyaris menghantam kepala Angkasa. Ia menjatuhkan diri ke tanah, berguling untuk menghindar, lalu balas melancarkan pukulan lurus ke arah dada Bang Jago. Namun tangan lawan menangkisnya dengan mudah, seperti menepis debu di udara. Tubuh Bang Jago seolah dibuat dari baja. Setiap pukulan dan tendangan yang dilemparkan Angkasa seperti menghantam tembok beton.
“Pukulan berantai!” teriak Angkasa, mencoba mendorong mundur dan mengunci tubuh Bang Jago dalam rangkaian pukulan beruntun. Tapi Bang Jago bahkan tak goyah. Dengan gerakan yang tampak santai, ia menangkis setiap serangan dengan telapak tangan, lalu memberi counter dengan pukulan keras yang membuat Angkasa terjungkal dan darah segar mengucur dari sudut bibirnya.
“Lo masih kurang cepat. Jam terbang lo masih rendah,” desis Bang Jago dingin.
Teman-teman Angkasa berdiri tak jauh dari ring, terpaku. Mereka tak percaya. Selama ini, Angkasa selalu terlihat biasa-biasa saja, tidak pernah menunjukkan kemampuan bela diri yang hanya bisa dilihat di film.
“Sejak kapan dia bisa begitu?” bisik Dika dengan nada kagum.
“Enggak tahu, gue pikir dia cuma jago tawuran,” Budi menimpali dengan tatapan masih lurus menatap duel.
Mereka menyaksikan Angkasa bangkit lagi. Wajahnya sudah babak belur, matanya mulai membengkak, tapi semangatnya tak padam. Ia mengubah gaya serangannya dengan menggabungkan jurus-jurus karate dengan aliran kungfu yang ia pelajari diam-diam selama bertahun-tahun. Setiap jurus dilontarkannya dengan tenaga yang terus mengalir. Pukulan-pukulan pendek namun cepat, tendangan tinggi yang mengarah ke wajah dan perut. Namun Bang Jago tetap berdiri kokoh. Setiap serangan ditangkis, setiap celah langsung ditutup. Ia seperti tidak punya titik lemah.