Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #21

Bunga dalam Kegelapan

Rumah Bang Jago kini telah menjadi tempat yang familiar bagi Lima Serigala. Setidaknya tiga kali dalam seminggu, deru motor mereka yang serempak akan berhenti di depan gerbang besi yang menjulang itu. Mereka selalu datang bersama, berlima, sebuah formasi tak terucap yang menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar lima individu, melainkan satu kesatuan yang utuh.

Setiap kali melangkah masuk, Angkasa merasakan kontras yang tajam antara dunianya dan dunia yang sedang ia masuki. Halaman rumahnya yang retak dan berdebu digantikan oleh taman yang terawat rapi. Aroma kemiskinan yang melekat di dinding rumahnya berganti dengan wangi samar bunga melati dan udara bersih yang menenangkan.

Mereka akan duduk di beranda belakang, menghadap kolam ikan koi yang airnya jernih, sebuah pemandangan yang terasa begitu jauh dari riuhnya jalanan Jakarta Selatan yang mereka coba taklukkan. Di atas meja kayu jati yang kokoh, Bang Jago akan menggelar sebuah peta besar wilayah Jakarta Selatan. Peta itu penuh dengan spidol warna-warni, coretan, dan catatan kecil di pinggirnya.

“Jakarta Selatan itu kue besar,” kata Bang Jago pada pertemuan pertama mereka, suaranya berat dan penuh wibawa. “Kita enggak bisa makan sekaligus, bisa tersedak. Kita harus potong-potong, makan bagiannya satu per satu.”

Dengan ujung jarinya yang kekar, ia mulai membagi kue raksasa itu. “Gue bagi jadi empat sektor utama. Dengar baik-baik, ini bukan cuma soal wilayah, ini soal karakter.”

Ia menunjuk area yang dilingkari spidol merah. “Sektor Satu, bagian Utara. Ini wilayah Tebet dan Setiabudi. Isinya kafe-kafe kecil, tempat makan, sama kos-kosan mahasiswa. Titiknya banyak, dan bagus buat pemanasan, buat nama kalian dikenal tanpa harus berhadapan langsung sama anjing besar.”

Jemarinya bergeser ke Barat, ke lingkaran biru. “Sektor Dua, bagian Barat. Kebayoran Baru, Kebayoran Lama. Ini kandang macan. Isinya bank, restoran mahal, butik-butik elite. Duitnya paling tebal di sini, tapi risikonya juga paling tinggi. Penjaganya bukan preman pasar, kadang ada bekingan aparat atau orang penting. Salah langkah sedikit, kita bisa hilang.”

Kemudian ia menunjuk ke selatan, area terluas yang diwarnai hitam. “Sektor Tiga, bagian Selatan. Cilandak, Jagakarsa, sampai Pasar Minggu. Ini jantung kekuasaan Naga Hitam dulu. Wilayahnya luas, isinya campuran perumahan padat sama pasar-pasar tradisional. Ini perang gerilya. Kita harus ambil alih satu per satu, pelan-pelan, sampai mereka enggak sadar kalau jantungnya sudah kita cabut.”

Terakhir, ia menunjuk sisa wilayah di timur. “Sektor Empat, bagian Timur. Mampang, Pancoran. Ini wilayah abu-abu. Perkantoran campur pemukiman. Bisa kita ambil belakangan setelah tiga sektor lain aman.”

Setiap penjelasan Bang Jago disimak dengan saksama oleh Lima Serigala. Dika tampak bersemangat, matanya berbinar membayangkan pertarungan di Sektor Dua. Tio, seperti biasa, hanya diam, dahinya berkerut dalam, otaknya memproses setiap risiko yang mungkin terjadi. Budi menyeringai, seolah semua ini hanyalah sebuah permainan besar. Sementara Angkasa, ia menyerap semuanya. Peta itu bukan lagi sekadar kertas, melainkan medan pertempuran masa depan mereka.

Namun, di tengah semua strategi dan rencana perebutan kekuasaan itu, ada satu elemen lain yang selalu hadir. Bunga.

Putri tunggal Bang Jago itu akan muncul tanpa suara, membawa nampan berisi gelas-gelas kopi atau teh hangat dan sepiring pisang goreng. Ia akan meletakkannya dengan gerakan yang begitu anggun, nyaris tanpa menimbulkan bunyi. Dan setiap kali ia datang, dunianya dan dunia Angkasa seolah bertabrakan dalam keheningan. Mata mereka akan bertemu hanya sedetik, namun cukup untuk membuat jantung Angkasa berdebar lebih kencang.

“Diminum, Kak,” ucap Bunga suatu sore, suaranya lembut, ditujukan untuk semua orang, tapi tatapannya tertuju pada Angkasa.

Lihat selengkapnya