Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #22

Mata-Mata di Tengah Kawanan

Beberapa minggu berlalu sejak tawaran mengejutkan Bunga menggantung di udara. Angkasa tidak pernah memberikan jawaban, memilih untuk menenggelamkan keraguan hatinya di bawah kesibukan yang ia ciptakan sendiri. Di bawah komando Bang Jago dan strategi yang mereka susun bersama, Lima Serigala bergerak seperti mesin perang yang baru diminyaki. Mereka memulai operasi senyap di Sektor Tiga, wilayah selatan yang dulunya menjadi sarang terkuat Naga Hitam.

Kemenangan terasa mudah pada awalnya. Satu per satu, titik-titik parkir di sekitar Pasar Minggu dan Jagakarsa jatuh ke tangan mereka. Sistem goceng per hari disambut dengan tangan terbuka oleh para juru parkir yang lelah diperas. Nama Lima Serigala mulai bergaung bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai pembebas. Uang mulai mengalir, dan kepercayaan diri mereka melambung. Di markas mereka yang jauh dari kata mewah, tawa mulai terdengar lebih sering, seolah bayangan kemiskinan perlahan terusir.

Namun, di tengah euforia kecil itu, ada sesuatu yang terasa mengganjal. Sesuatu yang samar, seperti nada sumbang dalam sebuah orkestra kemenangan. Dan nada sumbang itu seolah berpusat pada Dika.

Sejak uang mulai stabil masuk, Dika menjadi yang paling kentara dalam menikmati hasilnya. Suatu hari, ia kembali ke markas mengenakan jaket kulit baru yang harganya pasti tidak murah.

“Widih, bos baru!” goda Nova, menyentuh lengan jaket itu. “Duit dari mana lo?”

“Hasil kerja keras lah!” sahut Dika bangga, membusungkan dada. “Kita kerja mempertaruhkan nyawa, masa enggak boleh menikmati hasilnya?”

Tidak ada yang curiga, namun perubahan itu terus berlanjut. Dika mulai sering mengkritik strategi Angkasa, membungkusnya dengan dalih kehati-hatian. “Ang, lo yakin cuma dua orang cukup buat jaga parkiran Pasar Rebo?” tanyanya dalam sebuah rapat. “Tempat itu paling rawan, aset terbesar kita di sana. Jangan sampai kita ceroboh, terus kalah lagi kayak di kafe waktu itu.”

Angkasa, yang pikirannya dipenuhi peta dan target, hanya mengangguk. “Gue udah perhitungkan. Naga Hitam lagi tiarap. Kita fokus perluasan.” Ia tidak menyadari bahwa pertanyaan Dika bukanlah bentuk kehati-hatian, melainkan sebuah penegasan informasi.

Petaka itu datang di hari Selasa, hari paling sibuk bagi pasar-pasar tradisional. Lima Serigala baru saja berhasil mengamankan tiga titik parkir utama di sekitar Pasar Rebo, sebuah kemenangan signifikan yang mereka rayakan dengan traktiran bakso di markas. Mereka sedang tertawa, merencanakan target selanjutnya, ketika ponsel Angkasa berdering dengan nada panik. Itu panggilan dari Pak Udin, salah satu juru parkir paling loyal yang mereka rekrut.

“Halo, Pak? Ada apa?” sapa Angkasa, senyumnya masih tersisa.

Nak Angkasa… gawat, Nak!” Suara di seberang terdengar bergetar, diwarnai oleh suara teriakan. “Mereka datang! Naga Hitam datang! Banyak banget, Nak! Juru parkir kita dihajar semua!

Senyum di wajah Angkasa seketika lenyap. “Bapak aman?”

Saya sembunyi, Anak … tapi … tempat kita hancur… berantakan…” Sambungan telepon terputus.

Lihat selengkapnya