Setelah serangan telak dari Naga Hitam, Lima Serigala tidak hancur, mereka justru berubah. Ada sesuatu yang retak di dalam persaudaraan mereka, digantikan oleh kewaspadaan dingin yang menyelimuti setiap interaksi. Markas di rumah Angkasa yang dulu riuh dengan canda dan umpatan kini lebih sering hening. Angkasa, sebagai Alpha, menjadi pusat dari perubahan itu. Ia tidak lagi membagi rencana secara terbuka. Papan tulis butut yang dulu berisi coretan strategi kini selalu bersih. Jadwal penjagaan, yang dulu mereka hafal bersama, kini diacak setiap pagi oleh Angkasa seorang diri dan hanya dibagikan beberapa jam sebelum bertugas melalui pesan singkat.
Kepercayaan telah menjadi kemewahan yang tidak lagi mereka miliki. Angkasa mengamati mereka semua. Ia melihat cara Dika yang kini lebih sering diam, menyimpan frustrasinya di balik kepalan tangan. Ia menangkap sorot mata Tio yang analitis, yang seolah ikut mencoba memecahkan teka-teki siapa pengkhianat di antara mereka. Ia merasakan jarak yang semakin lebar dengan Nova, yang kini lebih banyak berinteraksi dengan Tio, seolah mencari sandaran pada sosok yang paling tidak rumit. Dan ia menatap Budi, yang anehnya, menjadi yang paling berapi-api, yang paling sering menyuarakan sumpah setia, seolah ingin menutupi sesuatu dengan kebisingan.
Ironisnya, di tengah racun kecurigaan yang menyebar di internal mereka, bisnis di luar justru berkembang pesat. Sistem setoran goceng per hari adalah sebuah formula ajaib. Para juru parkir, yang lelah hidup di bawah ancaman dan pemerasan, kini menjadi benteng pertahanan paling loyal bagi Lima Serigala. Kabar menyebar dari mulut ke mulut. Para penjaga parkir di wilayah lain secara sukarela meminta untuk bergabung di bawah naungan mereka. Dalam waktu kurang dari sebulan, Lima Serigala berhasil menguasai hampir seribu titik parkir baru, merangsek masuk ke Sektor Satu dan memperdalam cengkeraman mereka di Sektor Tiga.
Uang goceng yang dulu pernah dianggap kecil, sejak awal telah mengalir deras seperti sungai digital yang tak terbendung, berkat sistem cerdas yang dirancang oleh Tio. Jauh sebelum mereka memperbanyak titik, Tio, dengan pandangan jauh ke depan, telah mengantisipasi risiko dari penanganan uang tunai. "Duit fisik itu penyakit," katanya kala itu, "Meninggalkan jejak, mudah dicuri, dan mengundang masalah.”
Maka, sejak hari pertama, ia menerapkan sistem setoran digital yang menjadi tulang punggung operasi mereka. Setiap juru parkir diwajibkan memiliki aplikasi dompet digital atau perbankan di ponsel mereka. Untuk lokasi-lokasi premium, Tio bahkan mencetak kode QR terpadu yang terhubung langsung ke rekening penampung mereka. Hasilnya, operasi mereka berjalan rapi dan efisien.
Markas Lima Serigala lebih terlihat seperti kantor startup teknologi yang sederhana daripada sarang preman. Setiap sore, Nova akan duduk di depan sebuah laptop tua, ditemani Tio, memandangi baris-baris angka di dalam spreadsheet. Setiap notifikasi transaksi yang masuk dari dompet digital atau QRIS langsung tercatat, lengkap dengan nama penyetor dan lokasi.
Meskipun wujudnya digital, dampaknya sangat nyata. Mereka akhirnya bisa makan lebih dari sekadar layak. Angkasa bisa rutin mentransfer uang untuk kebutuhan Mentari dan kakek-neneknya. Mereka membeli pakaian baru, dan Dika akhirnya bisa menikmati rokok filter mahal. Sungai digital itu telah memberi mereka sedikit martabat yang selama ini mereka dambakan.
Namun, Angkasa tahu, kesuksesan selalu berjalan beriringan dengan bahaya. Pohon mereka kini mulai menarik perhatian badai yang sesungguhnya.
Semuanya dimulai dari patroli-patroli intimidatif. Mobil aparat keamanan tiba-tiba berhenti di titik-titik ramai mereka, bukan untuk merazia, tapi untuk menekan para juru parkir. "Siapa koordinator kalian? Siapa bos kalian?" tanya petugas berulang kali. Ini bukan lagi patroli rutin. Ini adalah sebuah pola. Seseorang sedang memetakan struktur organisasi mereka dan melaporkannya pada aparat.
Kecurigaan di dalam lingkarannya semakin pekat seperti kabut beracun. Setiap kemungkinan terasa seperti sayatan pisau di hatinya.
Puncaknya tiba di hari Jumat siang yang terik. Nova, yang bertanggung jawab sebagai koordinator lapangan, sedang berada di markas ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Bejo, juru parkir mereka di titik bank di Kebayoran.