Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #25

Siapa Pelakunya?

Keheningan setelah badai selalu terasa lebih menakutkan daripada badai itu sendiri. Setelah konfrontasi dingin di rumahnya, Nova kembali ke markas, namun ia membawa serta jarak yang tak bisa lagi dijembatani oleh sapaan atau candaan. Ia bekerja secara profesional, mengelola data pemasukan dengan Tio, tapi jiwanya seolah berada di tempat lain. Angkasa merasakan kehampaan itu setiap hari, sebuah lubang menganga di tengah-tengah persaudaraan mereka. Kepercayaan telah ternoda, dan di atas fondasi yang retak itu, mereka mencoba terus membangun kerajaan mereka, tidak menyadari bahwa musuh sedang menunggu saat yang paling rapuh untuk meruntuhkan semuanya.

Musuh-musuh mereka, yang seolah bisa mencium bau perpecahan dari kejauhan, melihat ini sebagai sebuah kesempatan emas. Mereka tidak menunggu lama. Dengan informasi presisi yang entah didapat dari mana, mereka menyalakan tiga api sekaligus, berharap kobaran apinya akan melahap habis Lima Serigala hingga tak bersisa.

Serangan itu datang pada hari Jumat malam, saat lalu lintas Jakarta mencapai puncaknya dan penjagaan mereka terpecah di banyak titik. Itu bukan serangan tunggal, melainkan sebuah kepungan tiga arah yang terkoordinasi dengan sempurna, dirancang untuk melumpuhkan mereka secara total.

Api pertama menyala di Sektor Dua, jantung kemewahan Jakarta Selatan. Dika, yang memimpin pemantauan di wilayah Kebayoran, tiba-tiba menerima rentetan laporan panik. Ini bukan serangan preman. Ini adalah "penertiban" massal yang didalangi oleh aparat. Puluhan petugas berseragam, didampingi oleh preman-preman lokal yang punya kepentingan, menyisir setiap titik parkir Lima Serigala. Mereka tidak menggunakan kekerasan, melainkan kekuatan hukum. Para juru parkir diinterogasi, pos-pos semi permanen mereka dibongkar paksa dengan alasan "melanggar ketertiban umum".

Dika hanya bisa menyaksikan dari kejauhan dengan gigi gemeretak, tinjunya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tak bisa melawan. Melawan aparat sama saja dengan bunuh diri. Wilayah paling profitabel mereka lumpuh dalam waktu kurang dari satu jam, diambil alih kembali oleh para pemain yang kini tersenyum licik di balik seragam petugas.

Hampir bersamaan, api kedua berkobar di Sektor Tiga, basis kekuatan mereka di wilayah Pasar Minggu dan Jagakarsa. Di sini, serangannya lebih brutal dan primitif. Sisa-sisa anggota Naga Hitam yang selama ini tiarap, kini bangkit dari kubur mereka. Dipersenjatai balok kayu dan potongan besi, mereka menyerbu belasan titik parkir secara serentak. Ini bukan lagi soal merebut wilayah, ini adalah pembantaian yang didasari dendam. Para juru parkir yang loyal dihajar tanpa ampun. Konfrontasi fisik pecah di banyak tempat, memaksa anggota Lima Serigala yang tersebar harus berjuang mempertahankan diri dalam pertempuran yang tidak seimbang.

Namun, serangan paling mematikan datang dari arah yang tak terduga. Api ketiga, yang paling besar dan panas, mengarah langsung ke jantung operasi mereka. Bukan lagi titik parkir, melainkan sebuah ruko tua dua lantai di daerah Pancoran yang mereka sewa sebagai markas sekunder. Tempat itu mereka gunakan untuk menyimpan data, merencanakan strategi, dan sebagai tempat istirahat bagi anggota yang kelelahan. Penyerangnya adalah sebuah nama baru yang misterius, geng Kuda Merah.

Mereka datang dalam sunyi. Puluhan orang berjaket merah gelap, bergerak dengan disiplin militer, tidak seperti gerombolan preman biasa. Mereka tidak berteriak, hanya mendobrak pintu ruko dengan satu tendangan keras. Saat itu, di dalam ruko hanya ada Angkasa, Nova, dan Tio. Mereka sedang memetakan serangan balasan untuk insiden di Kebayoran ketika neraka itu pecah.

Angkasa dan Nova bereaksi dengan insting. Meja dibalikkan menjadi perisai, kursi kayu diayunkan menjadi senjata. Pertarungan jarak dekat yang brutal pun tak terhindarkan. Tapi mereka kalah jumlah secara telak. Lima belas orang dari Kuda Merah mengepung tiga orang dari Lima Serigala.

Lihat selengkapnya