Malam merayap turun, namun kegelapan yang sesungguhnya tidak datang dari langit. Kegelapan itu lahir di dalam ruang tunggu sempit sebuah klinik, di antara bau alkohol yang menusuk dan keheningan yang sarat akan duka. Tio masih berada di dalam, terbaring di antara hidup dan mati, nasibnya berada di tangan seorang dokter tua yang dibayar oleh Bang Jago untuk tutup mulut. Di luar, sisa-sisa Lima Serigala menunggu, terkurung dalam penjara penderitaan mereka masing-masing.
Nova duduk meringkuk di sudut, wajahnya pucat dan matanya kosong. Topeng dinginnya telah retak, memperlihatkan kerapuhan yang selama ini ia sembunyikan. Setiap kali pintu ruang perawatan berderit, tubuhnya menegang, seolah siap menerima vonis terburuk. Dika, di sisi lain, tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di lorong yang sempit seperti harimau dalam kandang, amarah dan ketidakberdayaannya terpancar dari setiap langkahnya yang berat.
Di antara mereka, ada Budi. Ia adalah gambaran sempurna dari seorang sahabat yang hancur. Ia yang membawakan kopi untuk semua, yang terus bertanya pada suster tentang kondisi Tio, dan yang paling keras menyuarakan sumpahnya. "Gue bersumpah," desisnya dengan mata memerah, "kalau Tio kenapa-kenapa, gue cari pengkhianat itu sampai ke lubang neraka. Gue bakar dia hidup-hidup." Kata-katanya penuh api, sebuah deklarasi loyalitas yang begitu meyakinkan dan tulus.
Hanya Angkasa yang diam membatu. Ia tidak ikut mondar-mandir, tidak ikut mengumpat. Ia hanya duduk, menatap dinding kotor di hadapannya, namun pikirannya berlari lebih kencang dari siapa pun. Di dalam kepalanya, ia memutar ulang setiap kejadian, setiap percakapan, setiap keraguan. Analisis Tio tentang kebocoran informasi yang presisi. Peringatan Bang Jago tentang tikus di dalam kapal. Semuanya berputar, mencari satu nama, satu wajah. Dan dengan rasa sakit yang nyaris merobek dadanya, semua bukti seolah menunjuk ke satu arah.
Pintu ruang perawatan akhirnya terbuka. Dokter tua itu keluar, wajahnya lelah. "Dia stabil untuk sekarang," katanya pelan. "Tapi benturannya parah. Tulang rusuknya ada yang patah, mungkin mengenai paru-parunya. Malam ini sangat kritis. Kita hanya bisa berdoa."
Kabar itu tidak membawa kelegaan, justru menjadi pemantik dari ledakan yang tertunda. Bagi Angkasa, kata "kritis" adalah cambuk. Kesabarannya habis. Duka dan amarahnya kini butuh sebuah target. Ia berdiri, matanya yang dingin menatap lurus ke arah Dika.
"Dik, ikut gue keluar. Ada yang perlu kita omongin." Suaranya rendah, tanpa emosi, yang justru membuatnya terdengar lebih berbahaya.
Dika, yang masih terguncang oleh berita kondisi Tio, hanya mengangguk tanpa curiga. Budi menatap mereka berdua pergi, seulas ekspresi khawatir terlihat di wajahnya.
Di lorong belakang klinik yang gelap dan berbau apek, di antara tumpukan kardus bekas, konfrontasi itu dimulai. Angkasa tidak membuang waktu.
"Ini semua salah lo, kan?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Dika tertegun. "Salah gue? Maksud lo apa, Ang?"
"Jangan pura-pura bego!" bentak Angkasa, emosinya akhirnya pecah. "Semua kebocoran ini, semua serangan ini! Semuanya mulai aneh sejak lo mulai banyak tingkah! Lo yang paling sering ngeluh soal duit! Lo yang beli jaket baru! Lo yang paling detail nanya-nanya soal penjagaan di Pasar Rebo malam itu!"