Langit yang biasanya tenang kini terasa menyesakkan bagi Angkasa. Beberapa hari telah berlalu sejak Dika pergi, dan kepergiannya meninggalkan lubang yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Markas mereka kini sunyi senyap. Kehilangan Dika bukan hanya berarti kehilangan satu tenaga petarung, tetapi juga kehilangan suara penyeimbang, suara keras yang terkadang menyebalkan namun selalu jujur. Angkasa mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia telah membuat keputusan yang benar, bahwa ia telah membuang bagian yang berpenyakit dari tubuh kelompok mereka. Namun, rasa lega itu tak kunjung datang. Yang ada hanyalah kehampaan yang dingin dan keraguan yang mulai menggerogoti keyakinannya.
Nova menjadi lebih pendiam dari sebelumnya, interaksinya dengan Angkasa hanya sebatas urusan operasional. Kepercayaan di antara mereka telah retak akibat tuduhan terhadap Dika. Budi, sebaliknya, semakin menunjukkan loyalitasnya. Ia mengambil alih banyak tugas yang biasa diemban Dika, selalu berada di sisi Angkasa, memberikan dukungan moral dengan kata-kata yang berapi-api.
"Kita lebih kuat sekarang, Ang. Hanya ada orang-orang yang benar-benar setia di sini," katanya suatu sore, menepuk pundak Angkasa dengan mantap. Sebuah gestur yang seharusnya terasa menguatkan, namun entah kenapa, terasa dingin di kulit Angkasa.
Anomali pertama muncul tiga hari setelah Dika pergi. Sebuah warung kopi di wilayah Cilandak yang baru saja mereka amankan diserang oleh tiga orang anggota Kuda Merah. Serangannya kecil, berhasil dipukul mundur oleh juru parkir dan warga sekitar. Namun, berita itu sampai ke telinga Angkasa dan terasa seperti lonceng peringatan di kepalanya. Jika Dika adalah pengkhianatnya, lalu siapa yang membocorkan informasi tentang titik baru ini? Mungkinkah hanya kebetulan? Angkasa mencoba menepisnya, namun benih keraguan itu telah tertanam.
Titik balik yang sesungguhnya datang dari ruang perawatan Tio. Kondisinya perlahan membaik. Meskipun tubuhnya masih lemah dan dibalut perban, otaknya tetap bekerja setajam pisau. Suatu sore, Angkasa dan Nova menjenguknya. Tio, dengan suara yang masih serak, meminta laptopnya.
"Ada yang aneh, Ang," bisik Tio setelah beberapa menit menatap barisan data di layar. "Gue coba analisis ulang semua serangan besar yang kita alami."
Matanya yang biasanya tenang kini menyorot tajam. "Setiap kebocoran informasi yang fatal, selalu terjadi saat Budi tidak ada di pusat komando. Waktu kita diserang di kafe, Budi izin mau mengecek wilayah timur. Waktu Nova dijebak, dia lagi bertugas mengantar makanan ke pos pasar. Waktu ruko kita diserang dan gue kena, dia ada di mana?"
"Dia sama gue di Kebayoran," jawab Angkasa, jantungnya mulai berdebar kencang.
"Tepat," kata Tio. "Dia selalu punya alibi yang solid, yang menempatkannya jauh dari pusat pengambilan keputusan saat serangan terjadi. Dia selalu berada di lapangan, menjadi 'pahlawan', sementara kebocoran terjadi di tempat lain. Ini bukan lagi kebetulan, Ang. Ini sebuah pola."