Keheningan di dalam gudang tua itu terasa pekat dan berat. Setiap detik yang merayap terasa seperti satu jam. Angkasa, yang bersembunyi di balik drum, mencoba mengatur napasnya, menenangkan jantungnya yang berdebar liar. Ini bukan debaran takut, melainkan debaran seorang pemburu yang menunggu mangsanya masuk ke dalam perangkap. Di sisinya, Nova tak berkedip menatap gerbang. Di sekeliling mereka, bayangan Bang Jago dan anak buahnya telah menyatu dengan kegelapan, tak bergerak, tak bersuara.
Keheningan di dalam gudang itu terasa begitu pekat, begitu absolut, hingga satu-satunya suara yang ada adalah detak jantung Angkasa sendiri, sebuah ritme yang berdebar lambat dan berat di rongga dadanya, seperti dentuman palu godam yang menempah takdir.
Lalu, suara dari dunia luar merobek keheningan itu. Deru beberapa motor yang meraung kasar di kejauhan, semakin dekat, mengoyak malam, sebelum akhirnya mesinnya mati tepat di luar gerbang. Sunyi yang mengikuti setelahnya terasa lebih tajam dan mengancam daripada kebisingan tadi. Seolah seluruh alam semesta, dari langit hingga tanah yang ia pijak, ikut menahan napas.
Dari balik persembunyiannya yang gelap, Angkasa tidak hanya menahan napas, ia menghentikan seluruh gerakannya, menjadi satu dengan bayangan. Matanya terpaku pada celah di dinding, menunggu.
Terdengar suara pertama, bukan suara teriakan atau benturan, hanya sebuah derak pelan kerikil yang terinjak oleh sol sepatu bot yang berat.
Sebuah bayangan hitam pekat terpotong di celah gerbang yang berkarat, siluetnya melawan sisa-sisa cahaya yang temaram. Lalu bayangan kedua muncul, dan ketiga. Mereka terus mengalir masuk seperti semut-semut pemangsa yang telah menemukan sarang mangsanya. Sepuluh, lima belas, dua puluh orang dari geng Kuda Merah menyelinap masuk, bergerak dengan keyakinan buta seorang pemenang. Di mata mereka, ini hanyalah sebuah eksekusi mudah.
Pemimpin mereka, seorang laki-laki berwajah bengis, mengangkat tangan, menghentikan gerakan pasukannya. Matanya yang liar menyapu kegelapan gudang, mencari dua nyawa yang menurut informannya sedang ketakutan menunggu nasib.
"Cari dua bocah itu! Ambil uangnya!" desisnya pelan, suaranya seperti ular di tengah keheningan.
Mereka menyebar, senjata-senjata rakitan mereka teracung, membelah bayang-bayang. Setiap langkah mereka adalah langkah angkuh dari para pemburu yang tidak tahu bahwa mereka sendirilah yang sedang berjalan masuk ke dalam jaring. Dari celah sempit persembunyiannya, Angkasa mengamati mereka, dan untuk pertama kalinya malam itu, seulas senyum tipis yang dingin dan tanpa kebahagiaan terukir di bibirnya. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa merekalah yang sedang diburu.
Waktu seakan melambat. Pemimpin Kuda Merah itu melangkah dengan angkuh ke tengah ruangan, tepat di bawah satu-satunya lampu bohlam yang menggantung redup. Cahaya kuning yang berdebu itu menerpa wajahnya yang penuh bekas luka, memberinya aura penguasa sesaat di atas panggung kematiannya sendiri.
Dari persembunyiannya, Angkasa mengamatinya. Inilah momennya. Seluruh rasa sakit, pengkhianatan, dan rasa bersalah yang membebani jiwanya selama ini mengerucut menjadi satu titik fokus yang dingin dan tajam. Ini untuk Tio yang terbaring kritis. Ini untuk Dika yang ia usir karena fitnah. Ini untuk persaudaraan mereka yang telah dinodai.
Ia menarik napas, lalu bibirnya membentuk siulan pendek dan tajam yang membelah keheningan gudang seperti sabetan pisau.
Dalam sekejap, neraka pecah. Pemimpin Kuda Merah itu membeku, matanya yang liar sempat menunjukkan kebingungan sesaat sebelum berubah menjadi horor. Kegelapan di sekelilingnya tiba-tiba menjadi hidup. Bayangan-bayangan yang tadinya diam kini bergerak serempak, disusul oleh suara decit sepatu bot di atas beton dan dentang puluhan senjata pipa besi yang diacungkan ke cahaya.