Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #29

Jalan Pulang untuk Para Serigala

Kemenangan terasa seperti abu di mulut Angkasa. Gudang di Jagakarsa telah dibersihkan, sisa-sisa Kuda Merah telah diserahkan pada Bang Jago untuk "diurus", namun markas Lima Serigala terasa lebih sunyi dan dingin dari sebelumnya. Surat pengakuan Budi tergeletak di atas meja seperti batu nisan bagi persaudaraan mereka. Angkasa menatapnya berulang kali, setiap kata menusuknya dengan rasa bersalah yang tajam. Ia telah memenangkan pertarungan, namun ia telah kalah telak dalam perang menjaga kawanannya sendiri. Ia mengusir Dika. Ia membiarkan Nova terluka. Ia gagal melindungi Tio. Ia telah gagal total.

Di tengah kehampaannya, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan video masuk, menampilkan nama yang menjadi alasan dari semua perjuangannya, adiknya Mentari. Ragu-ragu, dengan perasaan yang tak jelas, ia menekan tombol hijau dan mengangkat ponsel itu ke telinganya, tidak mengaktifkan kameranya sendiri.

Layar ponselnya langsung menyala dengan wajah ceria adiknya, dengan latar belakang teras rumah mereka di kampung.

"Assalamualaikum, Bang!" sapa Mentari riang.

"Waalaikumsalam, Ta," jawab Angkasa, suaranya serak.

Mentari tidak langsung menyadarinya. Ia berceloteh tentang sekolahnya, tentang kakek yang baru saja membelikannya buku baru, dan tentang nenek yang terus menanyakan kapan Abangnya akan pulang. Angkasa hanya menjawab dengan gumaman singkat, "iya...", "syukurlah...", setiap kata terasa berat di lidahnya.

Keceriaan Mentari perlahan meredup, berganti dengan kekhawatiran. Ia bisa merasakan ada yang salah. "Bang, kok kameranya enggak diaktifin? Abang kenapa? Kok suaranya gitu?"

"Enggak apa-apa. Abang cuma capek," dalih Angkasa.

"Bohong," potong Mentari, intuisinya tajam. "Kakek cerita, bisnis Abang di Jakarta makin besar. Tapi Kakek juga bilang, Abang kedengarannya beda sekarang." Ia berhenti sejenak, tatapannya di layar ponsel menjadi lebih serius. "Bang, Tari cuma mau bilang ... Kakek pernah cerita, Abang itu orangnya paling enggak tegaan kalau lihat teman susah, selalu jadi yang paling depan membela. Tari bangga punya Abang yang seperti itu."

Angkasa memejamkan matanya erat-erat, menahan sesak di dadanya.

"Pesan Tari cuma satu, Bang," lanjut Mentari, suaranya melembut. "Kalau Abang mau kaya, jangan sampai kehilangan diri Abang sendiri, ya. Jangan sampai lupa sama Angkasa yang dulu."

Panggilan itu berakhir beberapa saat kemudian, namun kata-kata Mentari terus menggema di kepala Angkasa. Ia menatap layar ponselnya yang kini gelap, yang memantulkan bayangan wajahnya sendiri yang lelah dan asing. Ia telah kehilangan dirinya. Dalam usahanya menjadi kuat, ia telah menjadi paranoid, dingin, dan tidak adil. Ia telah mengorbankan saudaranya sendiri di atas altar kecurigaan.

Malam itu juga, ia mengambil kunci motornya.

"Mau ke mana, Ang?" tanya Nova, suaranya datar.

Lihat selengkapnya