Di bawah langit yang mendung, kawanan itu bergerak. Nama mereka masih Lima Serigala, sebuah pengingat pahit akan saudara yang hilang, namun empat jiwa yang tersisa kini terikat oleh ikatan yang lebih kuat dari darah, pengkhianatan yang sama dan tekad penebusan yang membara. Ditempa oleh api kehilangan, mereka bergerak bersama puluhan anak buah Bang Jago.
Target mereka satu yaitu markas utama geng Kuda Merah, sebuah pabrik tua yang telah ditinggalkan di pinggiran kota, tempat di mana semua sisa-sisa preman lama dan Naga Hitam kini bernaung di bawah satu bendera.
Strategi dirancang oleh Tio dari ranjang perawatannya. Peta pabrik, yang didapat dari intel Bang Jago, terbentang di hadapannya. Ia membagi pasukan menjadi tiga tim penyerang, seperti trisula yang siap menusuk jantung naga.
"Tim Alpha, dipimpin Angkasa, serang dari depan. Pancing kekuatan utama mereka keluar. Tim Bravo, dipimpin Dika, masuk dari sisi barat yang pertahanannya paling lemah. Tugasnya bikin kekacauan di dalam. Tim Charlie, Nova yang pimpin, menyusup dari timur, target kalian gudang logistik mereka. Bakar semuanya. Lumpuhkan mereka dari akarnya."
Pertempuran itu pecah, seperti robekan di kain semesta. Keheningan malam terkoyak oleh benturan puluhan tubuh dan dentang logam yang memekakkan telinga. Tim Angkasa, sebagai ujung tombak, menerjang masuk ke jantung pertahanan musuh, langsung disambut oleh lautan manusia yang bertarung dengan brutalitas tinggi.
Di tengah-tengah neraka itu, Angkasa bergerak seperti badai. Ia bukan lagi sekadar petarung, ia adalah perwujudan dari penghakiman. Setiap gerakannya adalah sebuah kalimat, setiap pukulannya adalah sebuah kata.
Sebuah pukulan siku yang menghancurkan tulang pipi lawannya adalah untuk Budi dan pengkhianatannya yang dingin. Sebuah tendangan memutar yang membuat musuh terlempar adalah untuk Dika dan rasa bersalah Angkasa yang membakar. Sebuah kuncian brutal yang diakhirinya dengan hantaman ke tanah adalah untuk Tio yang terbaring tak berdaya.
Rasa sakit fisik sudah tidak lagi terasa bagi Angkasa, semua itu telah mati rasa, tenggelam oleh badai yang mengamuk di dalam jiwanya. Tubuhnya kini hanyalah mesin, sebuah senjata yang digerakkan oleh luapan semua penderitaan yang terpendam. Setiap jengkal energinya adalah manifestasi dari amarah pada pengkhianatan Budi, penyesalan yang menghantui atas tuduhannya pada Dika, dan sebuah tekad membara untuk menebus segalanya dengan darah musuh-musuh mereka. Ia adalah pusat dari badai itu, sebuah pusaran kehancuran yang tak terbendung.
Di sampingnya, Dika bertarung dengan keganasan seekor serigala yang telah menemukan kembali kawanannya. Ia bukan lagi sekadar petarung impulsif, kini ia adalah perisai hidup bagi pemimpinnya. Saat sebuah balok kayu diayunkan dari titik buta, mengincar kepala Angkasa, Dika menerjang maju tanpa ragu. Ia menahan hantaman brutal itu dengan lengannya sendiri. Terdengar suara tulang beradu yang mengerikan, namun ia hanya menggeram, rasa sakit itu seolah menjadi bahan bakar bagi amarahnya. Ia membalas dengan rentetan pukulan tanpa jeda yang menghancurkan rahang penyerangnya, matanya menyala dengan api kesetiaan yang terlahir kembali.
Sementara itu, di sisi lain, Nova bergerak seperti bayangan. Ia memimpin pasukannya dengan presisi sedingin es, gerakannya taktis dan mematikan, menebar api dan kepanikan di barisan belakang musuh seperti belati yang menusuk dari kegelapan.
Di puncak kekacauan itu, Angkasa akhirnya melihat target utamanya. Pemimpin Kuda Merah, seorang laki-laki berwajah bengis yang berdiri di tengah-tengah badai pertempuran seolah tak tersentuh. Laki-laki itulah arsitek dari semua penderitaan mereka, yang telah membisikkan racun ke telinga Budi.
Mata mereka bertemu, dan dunia di sekitar mereka seolah lenyap. Keduanya bergerak serentak.