Namaku Elang, aku sampai saat ini tidak tahu dan mengerti apa arti namaku sendiri, detik-detik aku merenungi tapi aku belum sanggup memahaminya. Yahh inilah aku yang sendiri dalam kesepian. Aku yang tidak tahu asal-usul aku ini siapa, anak siapa dan sebagainya, banyak pertanyaan dalam pikiran otakku ini. Dalam KTP aku saja cuma tertulis namaku Elang, tempat lahir di solo, 10 November 1997 sudah itu saja.
Aku lahir yatim piatu kata bu Darto yang selama ini merawat aku di panti asuhan “ Sambung Kasih “. Bu Darto cuma cerita singkat dan padat, sampai-sampai aku heran apa iya kisah hidupku cuma terdampar di panti asuhan ini begitu saja. Rasa pernasaran pun semakin menggeliat di hati ini. ‘Hei.. hei.. cah gembul jangan bengong aja kamu’ saut bu Darto, ‘jangan lupa ini jadwal kamu ngepel sama beresin kamar mandi. ‘Iya bu Darto yang bawel’ sambutku.
Dari tatapan mata bu Darto aku tahu dia sangat sayang padaku tetapi kadang-kadang nyebelin juga, ya ini orangnya disiplin banget akan kebersihan sampai-sampai anak-anak panti asuhan disini dibuatkan jadwal bersih-bersih yang mendetail. Selama aku disini rasa bosan pun sudah pasti selalu menghampiri tapi di satu sisi lain aku masih beruntung bisa dapat kehidupan yang cukup layak disini, makan, minum sampai pendidikan pun aku di biayai dari para donatur. Aku lahir di solo tetapi tanpa ada alasan apapun aku berada di Jakarta, kota yang sangat menantang, keras dan hiruk pikuk warganya. Kadang aku ingin sekali ke kota kelahiranku, aku ingin telusuri kehidupanku dulu, mencari orang tua aku ataupun lika-liku orang yang aku akan cari disana.
Roni, yap betul ini kawanku yang berasal dari daerah seberang Ambon. Perawakan tinggi, kurus ditambah rambut kribo semakin terlihat memang dia orang Ambon dan lucunya dia tidak bisa bicara logat ambon tapi logat jawa yang dia kuasai hahahaha, maklum bu Darto itu orang semarang sehari-hari kalau ngomelin kita pakai bahasa jawa. Setidaknya Roni ini masih beruntunglah dia, cerita asal usul dia kenapa dia berada ada disini di panti asuhan ini sudah jelas. Orangtuanya perantau dari Maluku kerja di Jakarta Bapaknya dulu seorang Debcollector di suatu Bank ternama. Ibunya seorang buruh cuci. Namun pada akhirnya ayah Roni di tembak mati oleh orang yang tidak di kenal, waktu itu Roni masih berusia 4 tahun dan dia tidak tahu apa-apa karena memang masih kecil. Pada akhirnya karena kesulitan ekonomi ibu Roni tidak sanggup membiayai kehidupan untuk mereka berdua.