“La-tul Assamualaikum”
“Namanya kayak nama masjid.” Lanjutnya.
Aku yang menyadari ada seorang senior yang sedang sibuk dengan handphonenya hanya menatapnya dari kejauhan. Beliau melihatku sedang memasang sepatu di depan masjid, sehingga menghampiriku lalu memperlihatkan semua nama yang ada di list handphonenya.
“Ada El juga bang!” Ujarku.
“Yang mana nama kamu?” Tanyanya.
Bang Bondan jadi memintaku yang mengumumkan jadwal breafing, karena aku salah satu anggota dari gelombang yang akan pratikum.
Oooo
Aku menghubungi mereka secara personal, agar mereka segera datang ke kampus untuk ikut breafing. Sedangkan, aku sudah langsung mengikuti bang Bondan ke labor.
“Oke El, Aku Otw.” Balas salah satu teman.
Setelah semuanya berkumpul, kamipun breafing dengan aman tanpa ada masalah. Ini yang aku mau, tidak ada drama yang sengaja diciptakan. Aku tidak suka menghadapi drama yang sudah jelas bisa dibrantas dengan tidak terlibat di dalamnya. Karena ini merupakan pratikum laborku yang ke dua, aku tidak ingin dibuat kecewa seperti sebelumnya.
Ooooo
Hari pertama labor, Asisten labor tidak datang lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Aku dan teman-teman menunggu sampai kesabaranku dibuat habis, sehingga Aku jadi berfikir cara menghubungi beliau.
“Siapa yang punya nomor bang Bondan?” Tanyaku.
“Kamu yakin mau menghubungi abang itu?”
“Ya iya!” Tegasku.
Salah satu dari teman-temanku memberitahu jika abang itu satu kontrakan dengan teman sekelasku, tanpa pikir aku langsung menelfon temanku.
“Halo Ilham! Bang Bondan ada di kontrakan?” Tanyaku.
“Ada, kenapa El?” Tanya Ilham.
“Pratikum Labor Beton!” Tegasku.
Teman-temanku kaget karena aku langsung bicara via telfon, padahal yang aku hubungi senior Angkatan 2014. Aku bicara panjang lebar di telfon, tetapi Ilham malah memberikan handphonenya ke asisten yang satu lagi. Tentu saja aku tidak tau jika yang sedang ku telfon bukan bang Bondan.
“Tau ngomong sama siapa dek?” Tanyanya.
Aku jadi terdiam, ini bukan suaranya bang Bondan. Masa dalam keadaan genting, temanku malah bercanda. Aku berusaha tetap stay cool. Mungkin asistennya tidak hanya satu orang, mencoba untuk positif thinking.
“Sama Asisten labor Beton kan bang?” Tanyaku.
“Tau abang siapa?” Tanyanya balik.
“Tau dong, asdos labor Beton! Bang, yang gelombang 6 udah lengkap manusianya. Jam berapa pratikumnya dimulai?” tanyaku.
Tidak ada yang ku singgung, aku bicara dengan asisten labor beton. Jadi, seharusnya beliau tidak membuat drama perkara aku menghubunginya. Lagian aku menelfon Ilham, teman sekelasku.
“Bentar-bentar, abang otw!” Jawabnya.
Telfonnya dikembalikan pada Ilham, aku tidak lupa bertanya padanya siapa yang sedang bicara padaku. Firasatku, pasti aku bakal di cari setelah ini.
“Okay, makasih banyak Ilham.”
Oooo
Ketika asistennya datang ke Labor, yang dicari langsung Elata. Aku langsung mengangkat tangan, dia sepertinya sangat penasaran dengan sosokku.
“Kamu tau nama abang?” Tanyanya.
Belum juga mulai labor aku sudah dikasih pertanyaan. Karena sebelumnya sudah diberitahu oleh Ilham, aku dengan santai menyebut nama beliau.
“Siapa yang kasih tau?” Tanyanya.
“Ilham, bang.” Jawabku.
“Good!” Ujarnya sambil tersenyum.
Oooo
Setelah semuanya berada di ruang kelas, yang pertama kali ditanya oleh abang-abang itu adalah ketua gelombang. Tidak ada yang ingin jadi ketua di gelombangku. Aku jadi tertekan dengan pertanyaan asisten, padahal yang laki-laki banyak. Tapi, tidak ada yang mau menunjuk dirinya sendiri.
“Siapa Ela?” tanya bang Bondan.
Aku jadi bingung harus menjawabnya. Aku jadi menunjuk teman disebelah kiriku, dia sejak tadi seperti malu-malu ada di labor.
“Yakin kamu, Dek?” Tanya abang itu.
Aku memperhatikan teman sekitarku, tidak ada yang mau ditunjuk sebagai ketua gelombang. Sedangkan dia tidak menolak ketika aku menunjuknya, yasudah aku yang akan melindungi gelombangku di atas kepemimpinannya.
Ketika dibacakan nama yang kami tulis sebelumnya sebagai daftar kehadiran, aku juga baru sadar jika ketua gelombangku itu yang di sebut namanya tadi oleh bang Bondan.
“Oh ini yang Assalam itu?!” Ujar bang Bondan.
Aku menoleh kearahnya, dia hanya memberi respon senyum malu-malu. Atau sekali-sekali tertawa, tanpa mengeluarkan banyak kata.
Oooo
“Kamu yakin dia yang jadi ketua?” Tanya temanku.
“Kalau kamu meragukannya, kenapa kamu tidak menunjuk diri tadi!” Balasku.
Pratikum baru saja mau dimulai, aku sudah jadi sasaran pertanyaan angkuh orang lain. Teman dekatku langsung menarikku agar tidak sampai berdebat terlalu lama dengan laki-laki dihadapanku.
“El, Kita diawasi dua Asisten!” Tegasnya.
Aku memperhatikan dua orang asisten itu, sepertinya bang Bondan tidak main-main dengan kata-katanya. Jika sudah keluar dari pintu kelas maka tidak ada kesempatan untuk bertanya lagi.
“Kita harus serius menjalani pratikum ini!” Ujarku.
Ooo
Sehabis pratikum dihari pertama, walaupun keadaannya begitu serius sampai suara kami pun tidak terdengar. Aku senang karena tidak ada drama di dalam pelaksanaan pratikum, semuanya memegang alat, semuanya kerja, dan semuanya memikirkan diri sendiri berkedok kompak.
“Besok kalian harus hadir jam 09.00 Wib!” Ujarnya.
“Emang labor buka jam berapa bang?” tanyaku.
“Pagi udah buka. Jangan ada yang telat!” Tegasnya.
Keesokan harinya, Aku sudah menghubungi teman-temanku untuk berkumpul pada jam 07.30 Wib.
“El kamu bukan ketua, gak usah repot-repot menghandle!” Ujarnya.
“Status ketua Latul itu saja di ragukan sama temanmu, aku gak mau kecewa di labor Beton!” Tegasku.
Ketika semua sudah berkumpul lengkap, barulah aku menghubungi asisten. Tidak ada takut-takutnya menelfon senior cowok pagi-pagi. Ini untuk kepentinganku sendiri, lagian bang Bondan dan bang Willy tidak memberi batasan dalam menghubunginya.
“Hallo, Assalamualaimum Bang!”
“Waalaikummussalam?!”
“Bang kita jadi labor jam 09.00, kan? Kami sudah lengkap, cuma labornya belum dibuka.” Ujarku.
Astaga aku bangunin Senior lagi tidur, lagian udah jam segini belum juga datang asistennya. Labornya juga belum dibuka. Sekalipun tanganku cukup gemetar memegang handphone karena mengganggunya, tapi aku tidak ingin sifat disiplin yang diterapkan dalam dirinya rusak perkara tertidur.
“Ini siapa?” Tanyanya.
“Elata bang.” Jawabku.
“Tunggu, abang OTW!” Ujarnya.
Oooo
Kami menunggu cukup lama, sampai temanku kehilangan kesabarannya.
“Abang itu tinggal di mana sih? Luar negeri yaa, lama betul otwnya?!” Protesnya.
Tak berapa lama bang Bondan datang, beliau mengawali hari dengan permintaan maaf. Aku dan teman-teman dibuat kaget, karena aku pikir senior tidak akan pernah mengatakan kata maaf di hadapan junior.
“El, Pantas kamu bilang bang Bondan itu senior yang bisa diteladani!” Ujar temanku.
Janjinya jam 09.00 Wib datangnya jam 11.00 Wib, Delay 2 jam. Tidak apa-apa, itu manusiawi jika sekali-sekali. Tidur itu istirahat, asisten juga butuh istirahat yang cukup.
“Kagum kan sekarang!” Ejekku.
Oooo
Aku memeriksa buku prosedur pratikum Betonku, setelah mix design tidak ada job yang akan dikerjakan lagi. Aku sampai membolak balik buku itu, memikirkan job apa saja yang belum dikerjakan. Semuanya sudah selesai, hanya tinggal mix design yang menunggu uji kuat beton selama 7 hari. Aku sampai tidak sadar ada bang Bondan di sampingku.
“Kenapa El?” Tanya bang Bondan.
“Semua Job udah selesai bang?” Tanyaku balik.
“Tinggal Mix design, terus asistensi.” Ujarnya.
Bisa-bisanya pratikum yang diperuntukan minimal 5 hari, bisa selesai dalam waktu 2 hari. Ini doa dari ibu masing-masing atau doa junior yang tersakiti? Karena selama labor berlangsung, Empat pasang mata tidak berhenti mengawasi kami secara teliti. Tidak sekali dua kali kata-kata jahat keluar dari mulut bang Bondan, yang membuatku cukup takut.
Ketika pratikum berlangsung, temanku sempat bertanya karena ragu dengan prosedur Jobnya kepadaku, aku ingin membantunya. Tetapi, menyadari kalau bang Bondan notice kemudian berdiri mengawasi kami. Aku langsung berlari melaksanakan tugasku, auranya menakutkan.
“Bodoh jangan dipelihara dek!” Tegasnya.
Terlebih ketika ada job yang ketua laksanakan, malah adonan semennya terlalu encer. Bang bondan yang tau, langsung marah. Kami satu gelombang jadi kena mental karena cara bicaranya bang Bondan.
“Kebanyakan air itu, ulang-ulang.” Ujarnya.
Aku yang tidak melaksanakan job itu saja merasa kena mental, gimana Latul ya? Dia yang langsung dibentak oleh bang Bondan atas kesalahannya. Aku yang memperhatikan jadi ikut terbawa suasana, terlebih melihatnya langsung tertunduk setelah dibentak.
Giliran aku mau bantu, bang Bondan memperingatiku untuk tidak melanggar perintahnya.
“Op op, Ela?!” Ujar Bang Bondan.
“Astaufirullah!” Gumamku.
Aku segera menghindar, membiarkan ketuaku berfikir sendiri. Lagian dia bisa bertanya langsung pada asisten yang pakai baju hitam putih, karena asisten itu tidak ketat saat pratikum.
Oooo
“Kapan asistensinya ya?” Pikirku.
Jadwal asistensi masih belum di umumkan, sehingga aku menulis laporan sambil waspada. Takutnya, aku sendiri yang belum selesai mengerjakan laporan pratikum. Aku memang suka mengerjakan tugas dengan tenang, tapi gak setenang ini juga. Setelah aku selesai mengerjakan laporanku. Aku menghubungi Latul.
“Kapan Asistensinya?” Tanyaku.
“Malam ini jam 20.00 Wib.” Jawabnya.
Mendengarnya aku sedikit kesal, takutnya ada yang belum selesai mengerjakan seluruh jobnya. Bang Bondan juga meminta untuk menyelesaikan seluruh laporan baru asistensi.
“Kenapa gak di umumkan di grup?” Tanyaku.
“Kan udah dibilang sama abang itu tanggalnya?!” Jawabnya.
“Iya! Tapi kalau ada yang belum selesai, namanya kita cari masalah Latul!” Protesku.
Dia meyakinkanku jika laporan teman-temanku pasti sudah selesai, waktu seminggu yang diberikan asisten tentunya bisa digunakan sebaik mungkin. Kalau pratikum bisa disiplin, harusnya asistensi juga bisa. Namun, aku tetap protes agar ketua gelombang mengumumkan ke grup jika asistensi dilaksanakan malam ini.
Oooo
Ketika jam menunjukkan 19.45 wib, aku jadi ketar ketir sendiri. Laporanku sudah selesai di print, aku juga sudah sampai di tempat yang di tentukan untuk asistensi. Tetapi, anggota gelombang 6 belum lengkap. Bahkan si ketua juga belum kelihatan oleh mataku.
Merogoh saku jaketku, aku mengambil handphone untuk menghubungi ketua gelombang. Bisa-bisanya dia belum hadir 15 menit sebelum Asistensi. Jika asisten itu datang, tapi tidak melihat ketua. Aku tidak tau apa yang akan dikatakan bang Bondan nanti.
“Dimana kamu Latul?” Tanyaku.
“Masih di rumah!” Jawabnya.
Mendengar jawabannya aku jadi semakin kesal, dia tidak menghargai waktunya sama sekali.
“Laporan kamu udah siap di print? Udah jam berapa ini Latul?” tanyaku.
“Santai aja. Aku sedang memprint, sebentar lagi kelar kok!” Ujarnya.
“Memprint dimana?”
Ku kira dia memprint di fotocopy, ingin ku susul untuk membantu menyusun laporannya. Biar aku tidak ditanya terus mengenai keberadaan ketua oleh teman-teman yang sudah datang.
“Ooh, cepatlah datang!” Ujarku.
Dia memprint di rumahnya sendiri, karena aku memakai taktik satu jam lebih awal saat pratikum, Dia melakukan hal yang sama.
“El, udah jam 20.00 Wib. Kita gak jadi asistensi? Si Latul juga mana?”
“Sebentar lagi datang, ada yang sedang diurus.” Jawabku.
“Asistennya Atau Latul?”Tanyanya lagi.
“Yang kamu tanya barusan.”
Oooo
Asistensi hari pertama selesai, aku yang minta tumpangan dengan teman cowok sudah naik ke motornya. Kecuali satu temanku yang cewek, dia tidak diberi tumpangan oleh ketua.
“El?!” Keluhnya.
Dia hanya menunjuk, aku yang memperhatikan arah tunjuknya langsung turun dari motor temanku. Kemudian menghampiri ketua, dia menaruh kakinya di pedal kaki penumpang sehingga tidak ada yang bisa minta tumpangan dengannya.
Aku melihat disekitarku, tidak ada yang bisa memberi tumpangan selain dia. Aku jadi menendang kakinya, tidak peduli kalau itu sakit.
“Antarin aku ke kos!” Tegasku.
Dia sepertinya risih karena aku terlalu brutal, masalahnya ini sudah malam. Padahal, dia ketua gelombang pratikum Beton setidaknya dia memikirkan keselamatan anggotanya setelah asistensi. Setelah sampai di kosku, aku sempat memperhatikan ekspresi Latul. Dia hanya pasrah, atau sedang mengutukku di dalam hatinya.
“Makasih Latul, Sorry kakinya El tendang!” Ujarku.
Beberapa saat kemudian, temanku mengirim pesan. Dia khawatir jika aku akan diturunkan oleh Latul bukan di depan kos, tapi sampai batas kesabarannya habis menghadapi Elata.
“Kamu gimana bikin Latul mau kasih tumpangan?” Tanyanya.
“Gimana ya? Yang pasti dia terpaksa.” Jawabku.
Oooo
Asistensi yang terakhir juga dilaksanakan di jam yang sama seperti sebelumnya, aku sedikit ragu dengan laporanku karena yang direvisi hanya sedikit.
“Latul, kalau masih ada yang salah gimana?” tanyaku.
Kami semua berada di luar kontrakan bang Bondan, karena sudah asistensi yang terakhir beliau mengatakan untuk tidak perlu face to face. Cukup kumpulkan laporannya, kemudian diperiksa. Nanti jika ada yang salah pasti kena coret tinta spidolnya bang Bondan atau bang Willy.
“Gapapa, kumpulin aja laporannya.” Ujarnya.
Karena jam sudah larut, yang perempuan diminta untuk segera pulang.
“Serius?” Tanyaku lagi.
“Iya.” Balas Latul.
Setelah memberikan laporanku, aku beranjak dari bangku. Sekilas aku melihat ada beberapa teman-temannya bang Bondan, dan salah satunya adalah senior yang tidak mau ku beritahu darimana asalku.
“Sebaiknya memang harus segera pulang!” Gumamku.
Dua hari setelahnya, kami diminta untuk memprint laporan yang sudah benar kemudian datang ke labor untuk mengumpulkannya. Baru saja aku sampai, aku sudah disambut hangat oleh bang Willy.
“El, belikan abang ini?!” Ujar bang Willy.
Dia melihat seseorang sedang menggoreng kerupuk dengan ukuran jumbo di handphonenya, dan tergerak hati untuk menginginkannya juga.
“Dimana belinya itu bang?” Tanyaku.
Tanpa sadar aku duduk di dekat senior yang ingin ku hindari sejak lama. Aku berusaha tidak canggung berada di dekatnya. Stay cool, apapun pertanyaannya jawab dengan sebaik-baiknya. Dia tidak akan menggigit walaupun perawakannya sangar, aku mencoba positif thinking.
“Cuma sendiri yang gelombang 6?” tanyanya.
“Elata itu kosnya di depan kampus! Pasti cepat kalau disuruh ke Labor!” Ujar bang Willy.
Beliau hanya mengangguk, tidak banyak bicara. Aku berharap dia tidak punya pertanyaan kepadaku.