“Kalau kamu mau, buat sendiri Elata!” Tegas mama.
Padahal, aku mau nyicip the yang ada di gelas mug papa karena rasanya tidak terlalu manis.
“Gulanya pake Tropicana classic kalau gak mau manis.” Sambung mama.
Aku mengikuti ucapan beliau dan langsung pergi ke dapur, memperhatikan ingredians yang tertera di belakang kemasan. Meskipun pada akhirnya aku langsung menuangkan ke gelasku.
“Di bacapun aku tidak mengerti sama sekali.” Gumamku.
Setelah selesai membuat teh, aku segera kembali ke meja makan. Ketika aku kembali malah tidak ada orang satupun, sedangkan makanan masih bersisa banyak di piring.
“Kemana semuanya?” Pikirku.
Karena makananku belum habis, aku kembali ke tempat makanku. Sambil meniup teh yang baru saja ku buat, tiba-tiba ada suara ribut yang mengagetkanku.
“Astaufirullah?!” Ujarku refleks.
Aku berjalan ke sumber suara sambil membawa tehku. Ada seseorang yang sedang bicara dengan papa di pintu, aku penasaran siapa yang datang sehingga aku duduk disofa. Berusaha mengintip sampai aku melihat orang itu membawa parang di tangannya.
“Untuk apa dia bawa senjata ke rumah orang?” Pikirku.
Aku masih mengamati prilakunya, dia memaki-maki papa dengan kalimat yang tidak bisa ku pahami.
“Dia pakai bahasa apasih, aku gak ngerti?” Protesku.
Papa berusaha untuk membuat orang itu pergi, tapi dia masih bersikeras menyalahkan papa tentang sesuatu perkara.
“Kalau kamu marah sama saya, jangan ke rumah. Anak saya masih kecil – kecil!” Tegas Papa.
Dia tidak berhenti sama sekali, padahal papa sudah menjelaskan jika anak-anaknya masih kecil. Bukannya pergi, orang itu malah ingin melukai papa dengan senjata yang dia bawa. Aku yang melihat, refleks berdiri dan memanggil papa.
“Papa!” Teriakku.
Karena memperhatikanku, orang itu langsung pergi dari rumah. Sedangkan aku tidak sadar kalau teh yang ku pegang sudah jatuh ke lantai dan pecahan gelasnya mengenai kakiku.
“Kakak?”
Papa langsung menghampiriku, dia langsung memeriksa kakiku. Tidak bisa kubayangkan jika harus melihat pertumpahan darah di hadapan mataku, dan itu terjadi pada papa.
“Dia siapa, pa?” tanyaku.
Papa tidak menjawab, dia malah lebih peduli dengan kakiku yang melepuh. Beliau yang sibuk mencari handuk kecil dan beberapa bongkah es batu, kemudian ditaruhnya ke kakiku. Aku memperhatikan tingkah papa, dia begitu peduli denganku.
“Aku beruntung memilikimu di hidupku!” Gumamku.
Beliau memintaku untuk tetap duduk di atas sofa, sembari membersihkan beling yang ada di lantai. Beliau malah menasehatiku untuk hati-hati, beliau mengira aku menjatuhkan minumanku karena terlalu panas. Padahal, hal itu terjadi karena orang itu mau menyakitinya di hadapan mataku.
“Pa, El aja ikut tari piring dulu malah lompat-lompat di beling?!” Ujarku.
“Beda Beling itu!” Balasnya.
Oooo
Hari yang seharusnya menyenangkan karena pulang lebih awal dari biasanya, tetap saja tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah membuatku harus belajar terus-terusan. Jika tidak belajar, posisiku bisa tergeser dari juara kelas.
“Aku cuma mau ada di peringkat satu!” Gumamku.
Baru saja aku menulis, suara dari luar kamarku mengganggu. Bukuku jadi tercoret karena kaget, aku menghela nafas berusaha tenang. Mungkin sudah waktunya untuk istirahat sejenak, buku tugasku ku tutup, dan ku rapikan di sisi tepi meja belajar.
“Papa sedang dengarin musik atau ada yang nelfon ya?” Pikirku.
Ketika aku keluar kamar, aku malah melihat papa sedang terbaring di depan televisi yang menyala, tanpa mendengar nada dering dari handphonenya. Aku menghampirinya, tapi beliau tidak membuka matanya. Malah menyuruhku untuk tidak mengganggunya karena dia terlalu mengantuk.
“El, papa ngantuk. Jangan diganggu!” Tegasnya.
“Hp papa berdering berkali-kali.” Ujarku.
“Paling itu mama, kamu bilang aja sebentar lagi papa jemput.” Ujarnya.
Karena papa sendiri yang mengizinkanku untuk menyentuh Handphonenya, aku jadi berani membuka handphonenya. Tapi, yang kutemukan bukan nomor mama.
“Ini nomor siapa?” Pikirku.
Ada 10 kali panggilan tak terjawab dan ada satu pesan dari nomor yang sama, aku memperhatikan papa yang masih nyenyak tidur. Membuka pesannya, sedikit tidak sopan tapi naluriku memintaku untuk melakukannya.
“Nanti singgah ke kedai ya, ada makanan kesukaan Elata.” Ujarnya.
Aku berfikir keras, kedai dan makanan kesukaanku yang mana. Rasanya aku tidak memiliki makanan kesukaan, aku jadi overthinking karena satu pesan ini.
“Ini orang siapa sih?” Pikirku.
Tiba-tiba papa bangun dan berada di belakangku, aku yang kaget untungnya langsung tertelfon nomor mama. Tatapannya menakutkan, ditambah lagi dengan rambut papa yang kusut. Membuatku takut.
“Apa bilang mama?” Tanyanya tiba-tiba.
“Astaufirullah!”
Mama mengangkat telfonku, aku langsung bicara dengan beliau. Kemudian, memberitahu papa yang mama sampaikan kepadaku.
“ 30 Menit lagi papa jemput mama!” Ujarku.
“Oh, yaudah! Kakak bangunin papa nanti ya!” Ujarnya.
Aku menuruti pesan papa, meskipun di dalam hati sudah julid karena dibuat kaget oleh beliau.
“Bisa-bisanya ada di belakangku tiba-tiba!” Gumamku.
Oooo
“Kita singgah ke sini sebentar ya!” Ujar Papa.
Ketika aku telah dijemput dari sekolah, beliau mengajakku untuk belanja di kedai. Aku mengambil broniz yang ada di hadapanku, karena aku menyukai rasanya.
“Apa yang di maksud waktu itu kedai ini ya?” Pikirku.
Namun, ketika aku sedang asik memakan makananku. Seseorang muncul dengan ekspresi yang kaget. Akupun juga dibuat kaget, karena aku masih ingat dengan dia.
“Ngapain lu kesini?” Tanyanya.
Lagi-lagi aku yang dibentak olehnya, padahal banyak orang yang ada di sekitarku. Aku mencoba untuk tenang, karena hanya dia yang merasa bermasalah denganku sedangkan aku tidak punya masalah apapun dengannya.
“Orang jajan doang!” Ujarku.
Makanan yang ditanganku direbutnya, lalu di buang ke lantai. Aku cukup bingung dengan tingkahnya. Tak berapa lama orangtuanya keluar dari tirai kedai, memperhatikan ulah anaknya.
“Putri!” Teriak mamanya.
Aku memperhatikan mamanya yang sedang marah, kalau dia selingkuhan papa. Bisa ku bilang mata papa mulai rabun, nenek-nenek dijadikan saingan mamaku.
“Apa hubungannya dengan papa?” Pikirku.
Lengah sedikit, jilbabku dijambak secara brutal. Untuk kedua kalinya dia menyakitiku secara tiba-tiba. Mamanya langsung melerai, begitu juga papa. Beliau membawaku pulang, sedangkan aku tidak bicara sepatah katapun selama perjalanan.
“Sakit nak?” Tanya papa.
Aku enggan bicara, kepalaku sakit karena terlalu banyak berfikir. Beliaupun ikutan diam karena aku diam, tidak biasanya Elata menjadi pendiam ketika bersama Papa.
“Dia hobi memulai pertikaian kayaknya!” Gumamku.
Oooo
“Sumpah aku gak rela kalau mamanya adalah selingkuhan papa Elang!” Gumamku.
Orang itu tidak bisa dibandingkan dengan mamaku sama sekali, Dia jauh lebih tua dari papa, dia hanya penjaga kedai, dia tidak sepintar mama, dia tidak secantik mama, dia tidak semodis mama, dia tidak sewangi mama, dia tidak setegas mama. Aku kecewa jika kecurigaanku benar. Setiba di rumah aku langsung turun dari motor dan memanggil mama.
“Mama!” teriakku.
Papa sedikit bingung, Elata mulai memanggil mama bahkan ketika bersama dengan dirinya. Elata langsung memeluk mamanya ketika mama berjalan ke arah ruang tamu saat dipanggil, membuat papa jadi merasakan cemburu dihatinya.
“Kenapa El?” Tanya Mama.
“I miss you mom!” Jawabku.
Mama mengira bahwa suaminya akan turun dan masuk ke dalam rumah, tapi beliau malah memutar motornya dan pergi begitu saja. Aku dan mama saling tatap, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi.
“Papa kamu kenapa?” Tanya mama.
“Mungkin dia mau membeli sesuatu.” Jawabku.
Mama memperhatikan jilbabku yang sangat berantakan, beliau langsung mengomel seperti biasa. Terlebih ini masih hari senin, pakaian seragamku masih dipakai untuk besok. Ini pertama kalinya, aku bisa mendengar suara mama mengomel dengan perasaan sabar.
“Anak gadis pulang sekolah malah kayak habis dari sawah!” Ujarnya.
Aku tersenyum mendengarnya, sekalipun tidak bisa memberitahu beliau apa yang menimpaku. Beliau peduli dengan cara yang berbeda, aku baru menyadarinya.
Oooo
“Ela, Fighting!” Ujar temanku dari balkon.
Aku tersenyum mendengarnya, teman-temanku mendukung perlombaanku. Aku mengikuti perlombaan menulis yang dilaksanakan di dinas pendidikan, dimana semua sekolah yang ada di daerahku berpartisipasi.
“Doakan aku juara!” Teriakku.
Perlombaan itu terdiri dari beberapa tahap eliminasi. Hari pertama arahan dari orang dinas, kemudian pada tahap satu peserta diminta untuk menulis artikel. Selanjutnya, pada tahap dua presentasi, dan akan dilanjutkan dengan tahap menjawab pertanyaan juri. Barulah pada hari terakhir tahap penilaian. Setiap tahap selalu diselingin dengan pelatihan, yang diberikan langsung oleh orang dinas. Sehingga untuk setiap tahap perlombaan tidak ada yang sembarangan, karena hal itu juga ada eliminasi di setiap tahap perlombaan.
“Kenapa dia bagus banget?” Pikirku.
Pada hari presentasi, aku dipanggil setelah dua orang menyelesaikan presentasinya. Sebenarnya bathinku sudah terserang sejak awal yang memulai presentasi, sainganku terlalu bagus penampilannya.
“Ela?!” Sapa seseorang.
Aku menoleh ke arah sumber suara, ada seseorang dari sekolah katolik yang bicara denganku. Melihat dari perawakan wajahnya sepertinya dia blasteran China Indonesia, dia ganteng dan cukup menarik dari segi presentasinya tadi. Dia orang yang menyerang bathinku dengan presentasinya, kemungkinan besar dialah pemenang untuk lomba ini.
“Michael!” Ujarnya sambil memperkenalkan diri.
“Apa aku harus kenalan dengan sainganku sendiri?” Pikirku.
Karena dia berusaha bersikap baik kepadaku, aku tidak mungkin memperlihatkan jika aku tidak suka dengannya. Aku tidak suka berteman dengan sainganku sendiri, berteman dengan orang yang bukan saingan saja sudah menghabiskan energi.
Dia mengajakku bicara, membahas tentang presentasinya dan juga presentasiku. Sebenarnya aku tidak ingin bilang, kalau presentasinya sangat menakjubkan. Dia menguasai bahannya dengan sangat baik, aku jadi sangat iri. Belum selesai dengan argumenku mengenai presentasinya, Juri sudah mengumumkan untuk istirahat. Seketika itu guruku yang sekaligus pelatih yang menemaniku, langsung menarikku untuk tidak bicara lagi dengan Michael.
“Duluan Michael!” Ujarku.
Aku dimarahi oleh pelatihku karena bicara dengan orang asing, terlebih tidak seagama dengan ku. Padahal yang kami obrolkan tidak mengenai akidah, aku malah dikritik pedas olehnya.
“Kamu mau murtad ya Elata?”
Dia mengomeliku dengan kata-katanya yang tidak positif, beliau tidak punya toleransi beragama sedikitpun.
“Saya tau kamu pintar, tapi agamamu jangan dipertaruhkan Elata!” Balasnya.
Dia berusaha mempengaruhi pikiranku, jika dia tidak memiliki toleransi beragama tidak perlu mengajak orang lain untuk ikut serta.
“Kayaknya ibuk yang harus belajar makna sila 1 pancasila!”Tegasku.
“Kamu berani ya sama guru!” Balasnya.
“Sejak kapan guru ditakuti?” Tanyaku.
Papa menjemputku dari dinas pendidikan karena aku yang memintanya. Aku tidak mau pulang bersama pelatihku, yang artinya orang yang membuatku kesal barusan. Saat di perjalanan pulang, aku memberitahu papa mengenai guru itu.
“Berarti dia tidak punya toleransi beragama, Harusnya Ela minta dia pindah ke mesir!” Balas papa.
“Emangnya di Mesir semuanya beragama Islam ya, Pa?” Tanyaku.
“Papa rasa iya!”
Oooo
Saatnya kembali ke dinas karena perlombaanku belum selesai, para murid yang ikutan lomba diminta duduk pada bangku yang tersedia. Masih ada banyak bangku yang kosong, tapi aku sudah melihat ada Michael di salah satu bangku. Ku rasa dia menyadari kedatanganku, tetapi karena sikap guruku beberapa waktu lalu, dia berusaha menghindariku.
“Hai!” sapaku.
“Kamu gapapa duduk di sebelahku?” Tanyanya.
“Memangnya kenapa? Disini sudah ada orang?” tanyaku balik.
Michael sepertinya sangat hati-hati ketika ingin bicara denganku, dia takut pelatihku kemarin akan menyeretku lagi.
“Kamu tidak bersama pelatihmu yang kemarin?” Tanyanya.
“Dia ada urusan lain.” Jawabku.
Elata memang memiliki energi yang minim dalam bersosial, sehingga dia sangat pemilih siapa yang boleh ada disisinya.
Ooooo
“Gimana perlombaanmu, El?” Tanya temanku.
“Gak gimana-gimana!” Ujarku.
“Buk Linda pernah bilang kamu sombong karena cara bicaramu!”
“Sssttt! Informasi yang negative jangan pernah memberitahuku!” Tegasku.
Sepulang sekolah, aku menunggu jemputan di depan gerbang. Menunggu papa cukup menguras tenaga, berhubung di depan mataku ada yang sedang jualan jus. Aku jadi menghampirinya, aku ingin memesan Jus mangga.
“ Sedikit aja gulanya kak!” Ujarku.
Kak Nur mengangguk dan langsung membuatkan pesanan Elata. Sambil bertanya mengenai lomba yang diikuti oleh Elata.
“Perlombaan kamu gimana El?” Tanyanya.
“Kakak tau?” Tanyaku.
“Taulah, kamu terus yang di gibahin guru waktu belanja disini!” Ujarnya.
Aku memberitahu kak Nur kalau kemungkinan besar kekalahan akan menghampiriku. Sainganku terlalu berat, dia sangat pintar dan menguasai bahannya.
“Jangan pesimis dong, El!” Ujar kak Nur.
Oooo
“Ela?!” Sapa seseorang.
Elata yang sibuk mengobrol dengan kak Nur jadi melihat ke arah sumber suara, masih dengan jus mangga yang ada di tangannya. Dia menghampiri orang yang memanggilnya sambil memperhatikan ke arah dalam sekolah.
“Lho, kok kesini?” Tanyaku.
Aku takut kalau tiba-tiba ada Lindawati muncul dan menasehatiku tentang perbedaan agama lagi, terlalu banyak hal yang ingin ku lawan ketika dia sudah mulai mengajakku berdebat.
“Hai?!” Sapa Temannya.
“Kenalin ini Temanku Richard!” Ujarnya.
“Hai Richard.” Sapaku.
Aku meminta mereka untuk masuk ke tempat jualan kak Nur, setidaknya mereka terlihat jelas sedang bertemu denganku.
“Yang kita gibahin datang!” Bisikku.
Karena sudah masuk ke tempat jualan kak Nur, mau tidak mau mereka berdua memesan jus. Tak berapa lama papa ku datang menjemputku, awalnya papa begitu sinis melihatku akrab dengan teman laki-laki. Namun diluar dugaan, dia malah mengenali Michael.
“Eh, Dean?!”Ujarnya.
Michael malah salaman dengan papaku dengan sangat santun, aku yang melihatnya jadi heran. Tidak ada satupun teman cowok yang baru ku kenal bisa membuat papa bersikap baik padanya, selalu ada pertanyaan yang membuat anak orang kena mental.
Aku melirik kearah papa, dia menyebut nama tengahnya Michael. Berarti papa benar-benar mengenal Michael, terlebih melihatnya begitu baik memperlakukan Michael. Tidak mau ambil pusing, aku naik ke atas motor.
“Hati-hati Om!” Ujar Michael.
Ketika aku sudah berada di atas motor papa, rasa penasaraku memuncak. Aku saja baru mengenalnya di dinas pendidikan, papa sudah akrab saja dengan dia. Ketika aku mulai bertanya, papa langsung bicara padaku.
“Dia anak dari sahabat papa.” Ujar Papa.
“Dia saingan El di dinas!” Ujarku.
“Oh iya? Jangan dianggap saingan, belajar dari dia agar bisa menang!” Tegas Papa.
Aku hanya mengangguk, sembari bertanya panggilan Michael yang disebutkan oleh papa tadi.
“Panggilannya emang Dean, pa?” Tanyaku.
Papa memberitahuku bahwa Dean itu panggilan untuk orang terdekatnya saja, kalau baru kenal tentu memanggilnya Michael. Aku ingat-ingat namanya terdiri dari 3 suku kata, Michael Dean Kenneth.
“Kenapa gak dipanggil Ken, pa? Kan tinggal nyari barbienya saja?!” Ujarku.
“Kenneth itu nama bapaknya.”
Oooo
“Sepertinya, papa tidak menjemputku.” Gumamku.
Aku yang baru keluar dari sekolah, sejenak berfikir berapa jauh jarak sekolahku dengan rumah, setelah ku rasa bisa jalan kaki. Aku langsung berdiri dan pulang dengan jalan kaki.
“Gak susah juga ternyata!” Gumamku.
Ketika setengah perjalanan, tiba-tiba ada yang menonjokku sambil bibirku berdarah. Aku mengusap darah di bibir sebelah kananku dengan tangan kiri, berani-beraninya orang asing membuatku terluka. Aku Berusaha untuk membalasnya, tapi kepalan tanganku tidak sampai mengenainya wajahnya karena dia lebih tinggi dariku.
“Lho?” Ujarku Refleks.
Sepertinya dia mengejekku karena pendek, kemudian dia menampar pipiku. Pertanyaanku cuma satu, Mengapa dia melukaiku?
“Mabuk disiang hari ya kak?” Tanyaku.
Dia berhasil melukaiku sampai dua kali, sedangkan aku belum membalasnya sama sekali. Tidak peduli orang berlalu lalang, aku berhasil menendang bagian kepalanya hingga dia terhempas ke jalan.
“Osh!”
Sebuah motor tiba-tiba berhenti, karena mendadak mengerem. Pengendaranya seorang ibu-ibu yang langsung marah kepadaku, beliau memintaku untuk tidak main fisik pada sesama perempuan. Sedangkan beliau tidak tau didetik sebelumnya aku dilukai oleh orang yang ku lukai sekarang, dunia sebercanda itu.
“Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik!” Tegasnya.
Aku melirik ke arah tersangka yang sengaja memutar balikkan fakta, dia jadi korban untuk satu kali pembalasanku. Bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali, aku tidak tau dia siapa. Dan aku tidak sadar jika dia akan melukaiku ketika tiba-tiba menyebrang.
“Maaf buk! Mengganggu perjalanan ibuk!” Ujarku.
Ibuk itu kemudian pergi. Dia berusaha berdiri, kepalanya pasti sakit karena tendanganku. Aku tidak rela dengan beberapa tetes darahku yang keluar tanpa alasan yang jelas, tetapi karena dia tidak memberi perlawanan lagi aku juga tidak akan melakukannya.
“Udah-udah, kepalaku sakit?!” Ujarnya.
Aku berjalan pulang sambil mengomel, karena kejadian tadi aku dibuat badmood. Hariku yang cerah berubah jadi gelap, sialan.
“Bisa-bisanya aku ditonjok sampai berdarah?! Ditampar pula?!” Gumamku sepanjang perjalanan.
Sesampai di rumah, aku langsung membuka kulkas dan meminum air dingin. Adekku yang melihat, malah menghampiriku. Dia memberiku gelas, tidak baik minum langsung dari botol. Tidak mencerminkan seorang perempuan, setidaknya itu yang selalu diingatkan oleh mama.
“Gak usah!” Tegasku.
“Kakak!” Protesnya.
Daripada mama mengomeliku sepanjang malam, aku mengambil gelas yang diberikan adekku. Lalu, menuang air itu ke gelas. Setelah habis, aku pergi ke kamarku. Tetapi, Adekku malah mengikutiku hingga ke dalam kamar. Aku menatap kearahnya yang masih belum bicara.
“Ada yang mau adek katakan?” Tanyaku.
Dia memakaikan sesuatu padaku, dia bilang itu karyanya. Aku harus memakainya kemanapun termasuk ke sekolah, karena dia juga memilikinya. Aku memang sering melihatnya sibuk merakit gelang setiap kali aku ada di rumah. Dia selalu heboh dengan aksesoris sejak kecil, walaupun sekarang dia juga masih kecil dimataku. Ternyata rakitannya tidak seburuk yang ku kira, ini malah layak dipakai dan terkesan feminism.
“Thank you!” Ujarku.
Aku memperhatikan gelang yang dia rakit, di gelang itu ada dua huruf sebagai hiasannya. Karena nama kami sama-sama diawali dua huruf E dan L, ku rasa karena itu dia menambahkannya.
“So sweet!” Ujarku sambil tersenyum.
Oooo
“Kenapa dia sampai sebrutal itu padaku?” Pikirku.
Mencoba mengingat mimpi buruk yang terjadi semalam, aku jadi ingat seragam sekolahnya. Dia berasal dari sekolah katolik yang ada di daerahku, tidak ada urusannya denganku sama sekali.
“Jangan-jangan dia temannya Michael?” Pikirku.
Kejadian di dinas pendidikan 2 hari yang lalu tentu saja menyakiti hati Michael, dia pasti bercerita pada teman-temannya. Dan karena kesalahpahaman yang tersampaikan pada kakak tadi, dia menyalahkanku lalu menyerangku. Itu teori yang bisa ku pikirkan tentang kejadian hari ini.
“Gara-gara Lindawati, aku yang jadi sasaran kemarahan banyak orang!” Protesku.
Aku mondar mandir memikirkan cara memperbaiki hubungan dengan Michael, memeriksa jadwal pelatihanku di dinas pendidikan masih ada 3 hari lagi. Sempat terlintas di kepalaku untuk datang ke sekolahnya, tapi mengingat aku pasti dibuat babak belur sepertinya itu bukan solusi yang baik untukku.
“Aku bisa mati datang ke sana!” Pikirku.
Penantian 3 hari yang penuh kebosanan, aku benar-benar menunggu agar bisa bertemu dengan Michael lagi dan menjelaskan padanya jika aku tidak seperti itu. Aku bisa berteman dengan siapapun selagi maksudnya hanya untuk menambah relasi dan sharing wawasan.
“El, kamu sama ibu aja ya. Bu linda ada urusan!” Ujar Buk Ayu.
“Kalau bisa ada urusan aja terus?!” Ujarku.
“Kamu mengatakan sesuatu?” tanya Buk Ayu.
Aku menggeleng, aku hanyut dalam ovethingkingku sendiri. Aku tidak suka dengan cara Buk Linda memperlakukan temanku yang berbeda agama denganku, dia tidak mencerminkan sila satu Pancasila. Orang-orang yang berfikiran dangkal seperti dia hanya akan memecah belah bangsa, kalau bisa tidak ada lagi di dunia.
Selama perjalanan menuju dinas pendidikan, aku bertanya pada buk Ayu pendapatnya mengenai perbedaan yang terlalu banyak di Indonesia ini. Aku jadi trauma jika ternyata buk Ayu malah sama persis dengan buk Lindawati, respectku bisa hilang lama-lama.
“Kita tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain!” Tegasnya.
“Kalau El berteman dengan yang berbeda Agama, tanggapan Ibuk bagaimana?”
“Gapapa El, asal saling toleransi. Untukku agamaku, untukmu agamamu.” Jelasnya.
Buk Ayu mencubit pipi kananku, dia tersadar jika bibir ku yang di bagian kanan terluka. Memang tidak akan kelihatan, tetapi jika pipiku di cubit reaksiku tidak seperti biasa. Itu membuat buk Ayu jadi bertanya kepadaku, dia benar-benar bertindak layaknya guru yang ku dambakan selama ini.
“Bibir kamu kenapa?” Tanyanya.
“Habis ditonjok, buk!” Ujarku.
“Siapa yang melakukannya?” Tanyanya.
Mataku menatap kearah buk Ayu, aku memberitahunya kejadian yang menimpaku dan alasan itu bisa terjadi. Aku tidak memberitahu mama atau papa jika ada yang menyerangku, berfikir keras mungkin saja itu semua terjadi karena ulahku sendiri.
“Astaufirullah! Yaudah nanti kalau ketemu Michael kamu jelaskan ya El, tidak semestinya seorang guru seperti itu.” Ujar buk Ayu.
Oooo
Ketika aku sampai di kantor dinas, aku melihat Michael sudah datang bersama dengan gurunya di belakang. Aku tidak langsung menghampirinya, takut dia sadar lalu pergi menghindariku. Namun ketika semua peserta lomba sudah mulai berdatangan, aku langsung duduk di samping Michael.
Dia kaget saat menyadari yang berada di sampingnya adalah aku, dia melihat sekeliling berusaha mencari tempat lain. Padahal, aku sengaja menghampirinya agar dia tidak berprasangka buruk padaku.
“Kamu nyari siapa?” Tanyaku.
Setelah aku memberitahunya, dia mulai mau bicara denganku seakrab waktu itu. Tak berapa lama berselang, perhatiannya teralihkan pada gelang yang sedang ku gunakan. Menurutnya itu menarik, dan dia bisa menebak jika itu buatan sendiri.
“Boleh aku lihat?” Tanyanya.
Dia melihat seluruh permukaan gelangku, termasuk dua huruf yang ada disana. Baginya itu unik dan sangat menarik, aku yang tidak menyangka jika seorang cowok bisa berargumen sepositif itu dengan aksesoris cewek.
“Karena aku juga punya adek perempuan.” Ujarnya.
Ooo
“Serius banget!” Gumamku.
Hari terakhir pelatihan di dinas pendidikan, dan merupakan penilaian terakhir untuk tulisan yang telah dibuat. Aku duduk di samping Michael, tetapi dia sepertinya begitu serius mendengarkan pengarahan dari juri hingga tidak membalas sapaanku.
“Gapapa gak di peringkat satu, setidaknya aku yang ada diperingkat dua!” gumamku.
Karena hari terakhir, kami dipersilahkan cepat pulang dari dinas dan kembali belajar di kelas. Untungnya aku masih ditemani buk Ayu, sehingga mengobrol dengan Michael tidak ada hambatan sama sekali.
“Diperingkat kedua ada Michael Dean Kenneth!”
Juri mengumumkan nama-nama yang Juara, aku kaget karena dari tadi namaku belum disebut. Aku jadi berkecil hati, selama pelatihan ku kira aku sudah berjuang untuk menang. Kenyataannya aku hanyalah seorang newbie.
“Dan inilah pemenang yang ditunggu-tunggu, Elata Puti Elang!” Ujar juri.
Aku masih duduk dibangkuku sambil termenung, berfikir tentang kesalahan yang ku lakukan sehingga kemenangan tidak menghampiriku. Sampai buk Ayu menyenggol bahuku.
“Ela!”
“Eh iya kenapa buk?” Tanyaku.
“Maju!” Ujarnya.
Masih dalam kebingungan aku enggan untuk maju, sampai juri kembali menyebut namaku sebagai pemenang.
“Sepertinya pemenang kita cukup pemalu ya! Kita panggil sekali lagi, Elata Puti Elang!” Ujarnya.
“Hah? Aku yang menang?” Pikirku.
Aku melangkah maju dengan perasaan yang tidak percaya, sejak awal aku sudah merasa jika Michael yang aka nada di urutan pertama. Ternyata takdir malah berpihak padaku. Ketika ada di depan, Michael sidikit berbisik kepadaku.