Aku yang baru keluar dari ruangan ujian tiba-tiba tasku ditarik oleh seseorang.
“Aduh!” Ujarku refleks.
“Kita dipanggil dosen PA!” Ujarnya.
Aku memperhatikannya, sudah jelas-jelas yang di panggil itu Yusuf bisa-bisanya dia mengubah fakta menjadi kita.
“Dia begitu takut untuk menghadapinya sendiri?!” Gumamku.
Sesuai nama yang diberikan kepadanya, dia memang seorang cowok tampan. Tetapi, karena dia sahabatku. Aku tidak bisa membuatnya jadi salah satu kriteria pasanganku.
“Yusuf tanpa Elata, kayak ada yang kurang ya?” Ejek dosen PAku.
“Elata adek Yusuf pak?!” Ujarnya tiba-tiba.
Jangankan dosen PAku, aku sendiri saja kaget dia mengatakannya. Mataku menatap ke arahnya, dia kan bisa bilang jika kita sahabat. Tidak perlu sampai dibilang saudara, tidak ada juga yang mau percaya.
“Lho iya? Kamu bercanda ya Yusuf! Kan saya punya data kalian berdua.” Ujar dosen Paku.
Aku jadi menahan tawa, candaannya garing.
Oooo
“Siapa namanya, El?”
Aku berusaha untuk tidak menyebut nama teman seangkatanku, sekalipun disana banyak orang. Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang membantuku untuk mengalihkan pertanyaan dosen PA ku yang berkali-kali ditujukan kepadaku. Aku menatap ke arah Yusuf, dia tidak bergeming sedikitpun. Mereka yang ada disekitarku bersikap layaknya patung, kaku tanpa peduli dengan pertanyaan yang membuatku stress seketika.
“Dia udah mau salam pak, tapi karena kita masih mengobrol jadi terlihat tidak mau bersalaman.” Ujarku.
Beliau tidak mau mendengarkan perkataanku, baginya jika salah maka akan salah.
“Siapa El?” Tanyanya Lagi.
“Giveld!” Jawabku.
Oooo
Keesokan harinya, ketika aku sedang santai rebahan di kamarku tiba-tiba ada yang mengirimiku pesan. Awalnya ku abaikan karena nomornya tidak ku simpan, tetapi dia mengirimiku pesan lagi. Aku jadi membacanya, mencaritahu siapa yang mengirimiku pesan.
“Kau yang bilang nama aku ke dosen kemarin?!” Protesnya.
“Teman-temanku ada disana semua?!” sambungnya.
“Terus kenapa gak ada yang bela kamu kalau mereka teman-temanmu!” Ujarku.
Mereka hanya bungkam, diam tidak berkutik seakan tidak mengetahui namanya sama sekali. Orang-orang seperti itu yang disebut teman-temannya padaku.
“Kenapa kamu menyebut namaku?” Tanyanya.
“Terus aku harus menyebut nama siapa?” Tanyaku balik.
Dia cukup lama membalas pesanku, tentu saja dia tidak punya jawaban dari pertanyaanku. Dia hanya tau sebatas yang disampaikan teman-temannya.
“Kan kamu bisa diam?” Ujarnya.
“Owh, menurutmu jika ditanya berkali-kali bisa diam? Kamu kalau di posisi aku bisa diam??” Tanyaku balik.
Aku menantikan kalimat yang ingin dia kirim padaku, menunggunya selesai mengetik sambil mengunyah kerupuk yang ku beli di warung dekat kos. Mengambil gelasku, lalu mengisi air hingga penuh.
“Apaan sih yang dia ketik, lama betul?” Protesku.
Aku sampai menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali, padahal kipas dikamarku menyala full tetapi aku tetap merasa gerah. Aku berdiri mengambil ikat rambutku, kemudian membuat ikatan cepol di kepala.
“Kan gak harus disebut namaku?” Ujarnya.
Dia sepertinya sejak awal tidak mengerti maksudku, memulai perdebatan denganku tapi tidak memiliki banyak stok kata-kata. Kerupukku sudah termakan 3 biji, botol minumku yang berukuran 1 liter sudah ku isi kembali hanya untuk menunggu dia selesai mengetik. Sedangkan dia hanya mengetik satu kalimat yang tidak berbobot sama sekali, aku sedikit kecewa melayaninya bicara.
“Aku harus sebut hamba Allah gitu?” Tanyaku.
Ooo
Gigiku jadi sakit karena mengunyah kerupuk. Kalau aku seperti dia, akan ku salahkan juga dia. Gara-gara dia menyalahkanku atas kesalahannya, aku jadi menunggu balasan pesannya sambil makan kerupuk sebanyak ini. Syukurnya aku bukan Giveld, tetapi aku adalah Elata.
“Kamu berniat menggagalkanku Labor PJR?” Tanyanya lagi.
Dia bakal capek sendiri jika memaksakan diri melawanku terus, karena aku dengan senang hati melayaninya bicara karena aku suka perdebatan.
“Yasudah kalau mau minta maaf biar aku temani ke Labor PJR!” Tegasku.
Aku sambil memegang pipi sebelah kiriku, melempar handphoneku ke kasur. Kemudian aku pergi keluar kamar dan mengganggu kamar temanku yang merupakan salah satu anggota PMI di Kampus, dia pasti tau solusi untuk masalahku.
“Kenapa kamu makan kerupuk sebanyak itu?” Tanyanya.
Ku rasa gigi grahamku berlubang terkena dentuman keras ketika mengunyah, aku terbiasa mengunyah pelan karena menikmati makananku. Sedangkan saat makan kerupuk, Aku tidak menikmatinya sama sekali. Setelah dia memberiku obat, aku langsung kembali ke kamarku.
“Thank you!” Ujarku.
Oooo
“Hai Zaila!” Sapaku.
Awalnya dia ingin memaling wajah, tetapi karena melihatku tersenyum kepadanya. Dia jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama, sekalipun hanya aku yang menyapanya. Teman-temanku malah menatap kearah ku dengan penuh keheranan.
“Kenapa kamu menyapanya?” Tanya Nazifah.
“Dia teman angkatan kita.” Jawabku.
“Tapi dia gak memikirkan yang lain, main minta asistensi Mektek duluan ke bang Shaddam?!” Protesnya.
“Kamu juga bisa minta asistensi duluan ke bang Shaddam, kalau mau!” Tegasku.
Kalau ingin Julid dengan seseorang, jangan mengajakku. Karena aku sendiri jika julid dengan orang masih berusaha untuk tidak membuat orang itu merajalela di dalam pikiranku, aku tidak ingin memikirkan siapapun dengan cara yang buruk.
Sejak aku menyapa Zaila, jika berpapasan denganku dia selalu menyapaku. Hingga kami mulai menjadi teman yang lumayan dekat. Ketika asistensi dengan bang Shaddam, aku dikritik oleh beliau karena terlalu bersikap bodo amat.
“Abang berharap El bersikap seperti apa memangnya?” Tanyaku.
Aku memang pendengar yang baik, tapi bukan seorang yang penurut. Aku tidak suka di kritik dan dinasehati oleh sembarang orang.
“Sedikit lebih peka, kamu terlalu cuek!” Ujarnya.
“Memangnya, abang gak cuek?” Tanyaku balik.
Zaila yang mendengar cukup ketar ketir dengan sikap Elata, Dia berdebat dengan bang Shaddam tanpa rasa takut.
“El!” Ujarnya.
Menyala kesabarannya bang Shaddam, baru kali ini dia dipertemukan dengan junior yang bisa mengkritiknya sampai dia terdiam. Biasanya juga, kalau sedang berdebat dia pasti akan selalu menang. Terlebih posisinya diangkatan adalah seorang pemimpin, pasti sangat kaget ketika menyadari jika nasehatnya tidak di telan begitu saja oleh juniornya.
“El?!” Senggol Zaila.
“Aku gak peduli kalaupun dia seorang Komting!” Tegasku.
Zaila Menggeleng, di hadapan bang Shaddam dia tampak seperti Junior yang paling baik karena tidak menunjukkan ekspresi dongkol. Padahal dibandingkan aku, dia jauh lebih suka mengkritik orang.
“Kamu takut sama bang Shaddam?” Tanyaku.
“Aku gak suka kamu kayak gitu sama bang Shaddam!” Ujarnya.
Ooo
Ketika aku selesai sholat Ashar di masjid kampus, Zaila menghampiriku.
“Malam ini kamu di rumah aku aja ya, biar besok kita sama-sama ke kampus!” Bujuk Zaila.
Aku terdiam mendengar ucapannya, kosku saja di dekat kampus. Sedangkan rumah Zaila begitu jauh dari kampus, tidak ada untungnya untukku.
“Kita masuk jam 10.00 Wib!” Balasku.
“Kan kita pakai motor!” Ujarnya.
Terpaksa mengiyakan permintaan teman mungkin sedikit menginjak ego yang ada di dalam diriku, tetapi aku ingat nasehat papa untuk tetap mempertahankan teman disisiku.
“Bertemanlah secara tulus!”
Oooo
“Aduh gak nyaman banget disini!” Keluhku.
Aku terbangun jam 07.45 Wib, Sedangkan Zaila belum bangun. Duduk di sampingnya sambil mengumpulkan nyawa-nyawaku yang masih bertebaran di dunia mimpi semalam, aku memperkirakan jika akan sempat sarapan sebelum masuk kuliah.
“La, bangun!”
“Bentar-bentar, masih ngantuk?!” Ujarnya.
Niatku agar tidak mengantri, aku yang duluan bersiap-siap. Melangkah ke kamar mandi dan bersiap untuk mengawali hari baru. Setelah aku selesai mandi, Zaila masih belum bangun padahal aku berkali-kali membangunkannya.
“La, mandilah. Nanti kita gak sempat sarapan!” Tegasku.
“10 menit!” Ujarnya.
Aku sudah selesai, hanya menunggunya bersiap. Melihat waktu sepertinya aku akan meninggalkan sarapanku dihari ini, sudahlah rumah jauh dari kampus bangun malah kesiangan. Ini alasannya mengajakku menginap, agar ada yang membangunkannya.
“La, berapa jam dari sini ke kampus?” Tanyaku.
“20 menit” Jawabnya.
Dia masih merespon yang ku tanyakan, tapi tidak berniat untuk segera siap-siap ke kampus. Aku berusaha untuk tetap sabar menghadapinya, masih mengingat nasehat-nasehat papa tentang pertemanan.
“Kamu mau mandi jam berapa, La?” Tanyaku balik.
Ketika aku menanyakan pertanyaan ini, dia langsung bangun. Tergesa-gesa ke kamar mandi, dan baru bersiap untuk ke kampus. Memperhatikannya seperti ini, aku jadi berasumsi jika setiap hari dia begini. Memperlambat waktu, kemudian jika sudah hampir dekat tergesa-gesa tidak jelas.
Sampai tiba di parkiran, setelah turun dari motornya aku berdiri menunggunya selesai memarkirkan motor. Sedangkan dia, malah berlari dan meninggalkan aku.
“Huft! Untung gak telat kali.” Ujarnya.
Aku yang baru sampai di kelas benar-benar dibuat jengkel, Dia menunjukkan sifat aslinya yang sangat egois. Padahal aku yang menunggunya sedari pagi, dia malah meninggalkanku begitu saja. Tidak menghargaiku sama sekali.
“Tumben kamu telat El?!” Tanya teman yang ada di sebelah kiriku.
“Biang Keroknya.” Jawabku sambil menunjuk kearah Zaila.
“Lah kok aku?” Protesnya.
Aku jadi menatapnya sinis, dia tidak sadar apa yang dia lakukan di pagi hari ini.
Oooo
“Angku kalau telat, tidak usah masuk sekalian!” Tegas Pak Khadavi.
Aku tidak pernah melihat bapak benar-benar marah, mungkin karena biasanya dia mengajarkan dengan sat set kemudian pergi mengurus urusannya. Disaat menyadari mahasiswa dari pagi hingga siang tidak ada mengumpulkan tugas yang beliau berikan, sangat lumrah jika kelas sore akan jadi tempat pelampiasan amarahnya.
“Motor saya mati di tengah jalan pak!” Ujar Yusuf.
Dia langsung saja mencari kursi dibagian belakang yang biasa dia tempati ketika kuliah, tetapi amarah dosen di depan belum selesai. Beliau langsung mengacak semua tugas yang ada dimejanya karena melihat tingkah Yusuf.
“Siapa yang menyuruh angku untuk tetap masuk?” murkanya.
“Saya mau kuliah pak!” Jawab Yusuf.
Yusuf tepat berdiri di sebelahku, aku jadi refleks menarik lengan hoodie yang dia kenakan. Tampak dari ekspresinya jika dia tidak ingin mengalah dari ucapan dosen di depan. Bahkan sewaktu aku menarik lengan hoodienya, Matanya yang menatap kearahku seperti memberitahu jika alasan yang dia sampaikan jujur, dia hanya terkena musibah sebelum berangkat ke kampus.
“Aku percaya!” Ujarku.
Tak berapa lama, bapak itu malah memanggil namaku. Aku jadi kaget dan melihat ke orang disekitarku. Mereka juga melihat ke arahku, jangan bilang aku juga terseret karena Yusuf menampakkan jiwa dongkolnya barusan.
“Elata mana?”
“Saya Pak!” ujarku.
Aku mengangkat tanganku meskipun sedikit ragu, jantungku berdegup kencang. Aku tidak tau alasan beliau menyebut namaku secara tiba-tiba, terlebih dia masih diselimuti oleh amarah karena sikap Yusuf.
“Kamu ajarkan teman-teman yang lain, cuma kamu yang benar tugasnya!” Tegasnya.
Tugas yang ku kerjakan selama dua jam dengan serius ternyata benar, sedangnya yang ku kerjakan berjam-jam lamanya tidak menemukan titik kebenarannya sedikitpun. Semua orang jadi menghampiriku, tidak terkecuali Yusuf.
“Kata kamu belum selesai semalam, kamu bohong ya El?” Tanya Nisa Regia.
“Aku ngerjainnya Subuh!” Jawabku.
oooo
“Kita disuruh ngumpul lho!” Ujarku.
Ini pertama kalinya aku harus mengerjakan tugas bersama dengan teman sekelasku, fokus dan konsentrasiku mudah buyar, Aku tidak mungkin bisa mengerjakannya dengan maksimal.
“Gak El, untuk kali ini kami yang jamin satupun anak kelas A tidak akan dicari!” Ujar Nisa Regia.
“Itu namanya kita kabur satu kelas ca!” Protesku.
Baru sekali ini teman sekelasku paham alasanku dongkol dengan senior Angkatan 2016, mereka mengganggu waktu istirahatku, waktu yang seharusnya bisa ku gunakan mengerjakan tugas dari dosen malah disita untuk berkumpul yang ujung-ujungnya cuma mendengar suara makian yang tidak kelar-kelar.
“Poor Elata!” Gumamku.
Aku bedagang bersama 3 orang lainnya, karena kalau dibiarkan yang lain tetap terjaga ributnya astaufirullah. Seperti biasa sebelum adzan berkumandang, otakku malah berfikir dengan sangat jernih. Akhirnya jawabannya ku temukan setelah dari semalam sakit kepala.
“Salin cepat!” Ujarku.
Tiba-tiba Dara yang baru terbangun, langsung merebut kertas yang sedang kami salin. Dia bilang kalau dia sudah capek sejak semalam, jadi dia ingin tugasnya segera selesai. Aku menahannya untuk mengambil kertas yang pertama, aku menyuruhnya menyalin dari nomor terakhir.
“Aku juga mau nyalin, masa kalian aja?” Protesnya.
Seharusnya yang boleh menyalin jawabanku memang hanya kami berempat. Elata, Sintia, Ummi dan Freya. Dia baru bangun malah ngeluh kalau capek dari semalam, padahal tidak ikutan mikir dan begadang.
“Apa yang membuatnya Capek?” Pikirku.
Teman-teman yang lain juga mulai terbangun, aku menyuruh mereka segera menyalin jawabanku. Tidak peduli jika ada yang masih salah dari jawabanku, aku sudah berusaha menyelesaikannya dengan baik.
“Benar atau salah, yang penting kontrol!” Ujarku.
Setelah semuanya selesai, baru dikirim ke teman cowok agar segera di salin. Aku tidak yakin jawaban Quiz ini akan tiba tepat waktu di kantor bapak melihat jam dinding yang berada di kontrakan Ummi sudah menunjukkan pukul 06.15, Sedangkan kami belum ada yang rapi satupun.
“Siapa yang bakal pergi ke kantor bapak?” tanyaku.
“Tenang, El. Mereka bisa diandalkan!” Ujar Nisa Regia.
Aku mendengar klakson berbunyi, Nisa Regia langsung membawa semua kertas jawaban kami keluar dan memberikannya pada orang yang datang.
“Siapa?” Tanyaku pada Ummi.
“Ketua Kelas!”
Ooooo
“Huft!”
Aku menghela nafas, semakin kesini semakin membuatku tidak tenang sama sekali. Elata mulai gusar, atau Elata sedang lupa diri. Aku mencoba searching di internet mengenai psikologi, mungkin saja aku terkena mental illness karena berada di kampus ini terlalu lama. Aku menggunakan wifi kampus, tapi jaringannya tidak bersahabat sama sekali.
“Bayar mahal-mahal, wifi gak lancar!” Protesku.
Ada spot di depan rektorat yang jaringan Wifinya kencang, aku duduk disana sendirian. Tidak ada yang akan menggangguku, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tetapi keadaan berbohong, ketika satu motor lewat dan menyadari keberadaanku.
“Sebentar El!” Ujarnya.
Luthfi memarkirkan motornya dan menghampiriku.