“Ma, El mau berhenti!” Ujarku di telfon.
Sejak aku kecil bahkan sampai papa tiada, bicara dengan mama adalah waktu yang jarang ada. Beliau tidak pernah paham apa yang ku maksudkan, begitu juga sebaliknya aku juga tidak paham apa yang beliau anggap baik.
“Itu yang namanya kuliah, pasti ada tekanan!” Tegasnya.
Aku tidak tau harus mengadu pada siapa, hatiku terasa sakit. Bukan tekanannya yang membuatku ingin berhenti, tetapi mereka tidak menghargai kehadiranku. Aku tidak akan terusik jika tau asisten tanah ingin minum untuk menghilangkan stress di pikirannya, cuma aku masih berada disana.
“Bang, selesai Asistensi aja minumnya?!” Ujarku.
Dia tidak mendengarkanku sama sekali, dia langsung membuka minuman itu sambil bertanya padaku perihal pratikum. Aku tidak fokus sama sekali, amarahku tertahan di dalam diriku. Hal ini tidak bisa ku toleransi, mereka manusia biadab.
“Ini Neraka Dunia!” Gumamku.
Baunya saja sudah membuatku muak, melihat kearah teman seangkatanku bahkan pada komting angkatanku sendiri. Dia malah mengisyaratkan agar aku tenang, dia tidak tau apa yang sedang ku pikirkan di detik ini. Mengambil botol itu dan memecahkannya di hadapan abang-abang ini, untuk memberitahu mereka aku tidak rela minuman haram ini disertakan dalam asistensiku.
“Melihatnya saja aku jijik, apalagi menyentuhnya.” Pikirku.
Mereka tidak berfikir aku sakit hati karena hal sekecil ini, mereka tidak menghargaiku sebagai perempuan. Mereka bersikap egois, tubuhku jadi gemetar karena menahan marah.
“Sabar El, Semua ini akan berlalu?!” Gumamku.
Aku takut karena berada di jurusan ini, aku tidak dapat bertemu papa di surga nanti. Dunia teknik sebebas ini, sampai tidak bisa menghargai orang sedikitpun. Setelah selesai asistensi aku langsung mengomel pada Yusuf. Dia satu-satunya yang bisa ku marahi karena tidak menahan abang itu untuk menyelesaikan asistensi yang perempuan terlebih dahulu.
“Kalian tidak menghargai perempuan!” Ujarku.
“Maksudnya?”
“Iya, pantas saja mahasiswa teknik selalu dibilang rusak. Kelakuannya saja seperti ini.”
Dia malah mengingatkanku pada pertemuan komunitas Teknik sipil yang digelar beberapa waktu lalu, Ketika party berlangsung. Elata sendiri tau jika party itu disertai dengan minuman beralkohol, disaat itu dia biasa saja tidak ada kemarahan yang dia tampakkan.
“Aku hanya menemani Anjar! Dia ingin menonton acara musik di kampus.” Bantahku.
“Tapi disana ada alcohol El, kamu aja ditawari bang Rocky kan?”
“Aku menolaknya Yusuf!” Tegasku.
“Terus aku harus gimana El?” Tanyanya lagi.
“Serius aku sakit hati!” Tegasku.
Hukum tabur tuai pasti berlaku, tuhan tidak tidur melihat aku tidak dihargai seperti itu.
“Udah udah! Mereka gak pantas kamu pikirkan!” Tegas Yusuf.
Oooo
“Minum Dek?”
Aku bersama dengan teman seangkatanku sedang berada di acara music kampus. Kalau bukan karena Anjar ingin melihatnya, aku tidak akan berada di kampus selarut ini.
“Enggak bang!” Tegasku.
Awalnya Iffah ingin mengambilnya karena dia merasa haus. Tetapi aku menahan tangannya, karena aku tau yang ada di dalam botol aqua itu bukan air mineral.
“El, Aku haus!” Protesnya.
“Kamu mau mabuk?” Tanyaku.
Dia mengurungkan niat untuk mengambilnya, lebih baik menahan rasa haus dibandingkan kehilangan kesadaran. Tak berapa lama, Anjar tidak ikut lagi bersama kami. Dia menghindari rombongan angkatan.
“Elata!” Sapa Yusuf.
“Hai Yusuf!” Sapa ku.
“Kamu sama siapa kesini? Berani ya ternyata?” Ujarnya.
“Anjar tadi minta lihat acaranya, kamu lihat dia gak Yusuf? Aku khawatir dia kenapa-napa!”
Aku jadi melibatkan Yusuf karena Anjar menghilang dari sisiku, untungnya dia mau membantuku untuk menemukan keberadaan Anjar.
“Dia disana!” Ujar Yusuf.
Ketika aku memperhatikan Anjar yang menampakkan wajah kecewa, Aku langsung menghampirinya. Dia pasti tidak nyaman berada disini lama-lama.
“Dia tidak mengomel berada di samping speaker sebesar ini?” Pikirku.
Aku dibuat kaget karena speaker yang berada di sebelahku terlalu kencang kedengaran ditelingaku, sedangkan Anjar tetap duduk di dekatnya.
“Sudah terlalu malam, ayo kita pulang!” Ajakku.
Aku jadi merasa bersalah karena tidak menahannya berada di kos. Padahal, lebih seru menonton netfix di laptopku dibandingkan effort melihat acara yang bukan diperuntukkan untuknya.
“Kamu kenapa tidak kasih tau aku, El?” Protesnya.
“Aku sudah mengingatkanmu, Anjar!” Bantahku.
“Aku merasa berdosa karena di sekelilingku bau alkohol.” Ujarnya.
“Kan, bukan kamu yang konsumsi!” Tegasku.
Setelah hari itu, Anjar mulai menghilang secara perlahan. Padahal setiap berkumpul, Bang Akmal Hirawan selalu menantikan kehadirannya.
“Anjar kemana El?” Tanya Joy.
“Dia belum ada menghubungiku!” Jawabku.
Oooo
“Permisi?!” Ujarku.
Ada dua orang yang sedang mengobrol di dekatku, sepertinya aku bisa meminta bantuan mereka. Aku punya dua pilihan antara mengambil jurusan Teknik Sipil atau Arsitektur.
“Seru kali ya kalau bang Luq tau aku yang mengambil Teknik sipil sedangkan dia enggak!” Gumamku.
Ketika ditanyakan akan memilih jurusan apa, aku langsung bilang kalau aku mau Teknik Sipil. Pilihanku diragukan, terlebih aku seorang perempuan.
“Kamu Yakin?”
“Yakin!” Tegasku.
Oooo
Aku tidak pernah berfikir akan dipertemukan dengan banyak senior yang mengacak-ngacak mental para juniornya, ku pikir aku mampu menahan semua tekanan yang datang padaku tanpa terlihat dominan.
“Bang Luq! Jurusan impianmu sangat menyebalkan!” Gumamku.
Setiap saat aku selalu mengeluh karena berada di jurusan ini, aku kelelahan secara mental. Aku menyesal mengambil langkah untuk balas dendam seperti ini pada bang Luq, ini bukan bidangku sama sekali.
“Aduh kepalaku pusing!”
Aku rebahan di kamar kosku sambil memperhatikan story dari banyak orang. Ketika melihat story dari bang Dani, aku segera duduk memperhatikannya. Yang membuatku terdiam, ada teman seangkatanku memakai Hoodie Putih yang sadar Kamera kemudian berpose Peace sambil tersenyum. Padahal seingatku, didetik ini Asisten sedang marah-marah karena kami terlambat meminta asistensi.
“Dia lucu!” Gumamku.
Tak berapa lama, aku ingat kejadian apa yang akan terjadi setelahnya. Aku langsung meminta bang Dani untuk menghapus storynya, aku tidak pernah suka mengingat hal buruk yang pernah kulalui didalam hidup ini.
“Bang Hapus, itu waktu kejadian Kesurupan Massal!” Tegasku.
Sudah berapa lama aku berselisih dengan beliau, aku berusaha untuk tidak mengingat Febri Hamdani dengan ingatan yang buruk. Terlebih dia masih menyimpan nomorku, dia tetap senior yang pernah membantuku dulu. Aku menunggu dia menghapusnya, tapi belum juga dia lakukan.
“Bang, Hapuslah! Pakai foto yang lain kalau mau buat story, jangan yang itu.” sambungku.
“Tunggu bentar, Hp abang error!”
Dia tidak membalas pesan pertamaku, wajar jika aku berfikir dia tidak peduli dengan laranganku. Aku tidak berfikir jika hpnya bisa error juga.
“Hapus bang, hapusssssssss!” Paksaku.
Rasa kecewa yang sudah ku kubur dalam-dalam terasa lagi, aku mengingat kejadiaan itu. Menakutkan dan mengerikan, meskipun aku tidak jadi korbannya. Tetapi melihat teman-temanku yang kesurupan, aku tau itu bukan perkumpulan yang aman. Kami sudah mengganggu ketenangan para makhluk lain di waktunya, ketika seharusnya manusia istirahat.
Ooo
“Mana senior perempuan?” Pikirku.
Ketika itu aku memperhatikan semua senior Angkatan 2016 di sekitarku, tidak ada yang perempuan disana. Jiwa memberontakku muncul, bisa-bisanya junior perempuan 2018 dikumpulkan sebanyak ini. Tapi, tidak ada senior perempuan yang menjaga.
“Kakak Dimana?” Tanyaku.
Aku menghubungi salah satu senior Angkatan 2016 yang ada di kontakku, berusaha menepis rasa kecewaku yang sudah merajalela. Mungkin saja mereka sedang berada di suatu tempat yang tidak terlihat olehku di kampus ini, mereka tidak mungkin lepas tangan membiarkan kami hanya bersama senior laki-laki.
“Kenapa El?”
“Zifah dan teman yang lain kesurupan, kak! Tidak ada 16 yang perempuan disini!” Ujarku.
Aku tidak mengerti cara menghentikan kesurupan itu. Aku hanya berusaha menyadarkan Zifah agar dia bisa melawan yang merasukinya.
Zifah di giring ke Hima, belum sempat sampai di hima. Dia langsung meronta-ronta, entah apa yang dia katakan. Aku mencoba untuk mengangkat bagian kakinya lagi, ketika itu kekuatannya terlalu besar untuk aku yang sudah sangat lelah dihari ini.
“Yusuf, kamu gantikan Ela ngangkat kaki Zifa!” Tegas Bang Shaddam.
“Tapi bang, dia Perempuan!” Bantahnya.
“Kamu gak lihat Ela udah pucat gitu, kamu mau ada korban baru lagi?” Bantahnya.
Aku tidak punya energi untuk membela Yusuf, Aku memang sudah kehabisan tenaga.
“Ela, kasih tau kakak yang di hima biar ada space untuk Zifah!” Ujar bang Shaddam.
“Okay bang!”
Aku sedikit lega karena masih ada senior yang perempuan di kampus ini, walaupun bukan dari senior yang genap. Setidaknya mereka akan sangat membantu kami.
“Hima nya sudah dibersihkan!” Ujarku.
Padahal kak Rere dan kak Awa sudah bergegas untuk menyapu ruangan Hima. Tapi, waktu aku kembali menemui Zifah, mereka malah membawanya ke depan Lapangan Tenis.
“Kak, ke Hima saja. Gak layak dibaringkan disini!” Protesku.
Dua orang kakak Angkatan 2016 yang sudah datang, tidak mendengarkan saran dariku. Malah mencari alasan agar tidak dibawa ke dalam Hima. Mereka masih memikirkan Ego Angkatan genap disaat seperti ini, aku heran dengan senioritas di kampus ini.
“Kalian manusia atau bukan sih?” Pikirku.
Ketika aku pulang ke kos, kak Awa yang juga baru sampai di depan kamar malah bertanya kepadaku. Jangankan beliau, aku sendiri heran dengan seniorku. Setidaknya jika tidak mau menghargai angkatan ganjil, hargai aku sebagai junior genap. Aku yang meminta tolong pada senior angkatan 17 itu agar memberikan tempat untuk temanku.
“Genap ganjil itu gak akan bisa hilang kak!” Ujarku.
“El, kakak aslinya ada di angkatan genap kalau gak gap year!” Ujar kak Awa.
Aku jadi ingat yang disampaikan oleh komting 2016, jika ada apa-apa beritahu beliau. Aku tau dia ada sewaktu kejadian itu berlangsung, dia juga membantu temanku yang kesurupan. Tapi, aku tetap saja protes karena tidak ada senior perempuan Angkatan 2016 disisi kami.
“El kecewa bang, Tong kosong nyaring bunyinya!” Protesku.
“Kitakan gak ada yang tau El?!” Balasnya.
“Karena gak ada yang tau itu, harusnya bisa tanggung jawab sama kata-katanya setiap ngumpul. Jangan berani bacot doang, buktinya gak ada.” Protesku.
“Yaudah lah bang, El gak punya kakak di Angkatan 2016!” Tegasku.
Kak Awa menghela nafas melihat tingkah lakuku, beliau khawatir protesku akan dibuat masalah lagi oleh senior Angkatan 2016.
“Nanti kena masalah lagi Ela?!” Ujar kak Awa.
“Biarin aja kak! Siapa suruh anggap mereka saudara kandung.”
“Saudara kandung itu gak bisa gila hormat, kalau bisa berdebat setiap saat.”
Kak Awa jadi tertawa mendengar omelanku, beliau memang Angkatan 2017 yang merupakan Senior Ganjil. Tapi bagiku, sosok yang seperti dialah yang bisa kuanggap sebagai kakakku sendiri.
“Yang benaran saudara kandung cuma Ucok sama Kakaknya!” Gumamku.
Oooo
“Kak Ela harusnya gak ramah sama Sultan ataupun Kevin!” Tegasnya.
“Kamu sedang cari gara-gara ya?”
Dia tidak memberikan alasan yang jelas, aku jadi jengkel kepadanya. Dia merasa aku memanfaatkan Sultan, sedangkan dialah yang sedang dimanfaatkan oleh Zaila. Dijadikan tempat curhat oleh Zaila yang suka dengan teman angkatan, kemudian malah nikung posisi crushnya Zaila.
“Ya sifat kakak itu aku gak suka, kasihan Sultan sama Kevin!”
Dia mengkritikku habis-habisan, padahal posisinya adalah junior bagiku. Aku jadi berusaha menghindar dari Sultan, walaupun itu tidak mungkin. Dia wakil ketua Hima, aku masih berurusan dengan hima untuk kartu asistensi labor.
“Temannya Sultan ini manusia apa bukan sih?” Pikirku.
Ketika aku dan dua orang temanku datang membeli kartu asistensi, teman temanku malah memintaku untuk ikut dengan Sultan. Padahal kami sedang renggang, itu membuatmu canggung. Terlebih dia hanya menunduk di dekatku, aku jadi merasa bersalah.
“Aduh! Gara-gara temannya, aku jadi jahat!” Gumamku.
Malam harinya, ketika tersadar kartu asistensiku kurang. Aku ragu ingin menghubungi Sultan.
“Sultan, kartu asistensi labor Ready gak untuk besok pagi?” Tanyaku.
“Kakak butuh berapa?” Tanyanya.
Aku bersikap seperti biasa kepadanya, gara-gara orang ketiga hubungan bisa retak. Aku tidak rela kehilangan junior setulus Sultan di hidupku hanya karena prasangka buruk dari temannya.
“Makasih ya! Maaf kalau Silent treatment!” Ujarku.
Aku dibuat overthinking dengan segala hal yang menimpaku, bisa-bisanya aku diatur oleh Junior. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus memberitahu Sultan apa yang sebenarnya. Dia tidak boleh berlama-lama berselisih denganku.
“Teman Sultan yang mana? Namanya Siapa?” Tanyanya.
“Dia Juniorku atau Seniorku sih? Mengapa cara bicaranya membuatku segan?” Pikirku.
“Gak usahlah, nanti bertengkar pula kalian!” Ujarku.
“Gak akan kok, siapa kak?” Tanyanya.
Aku tetap tidak memberitahunya, aku hanya minta maaf karena berusaha silent treatment kepadanya. Aku tidak pernah sekejam itu dengan orang yang baik kepadaku, terlebih dia tidak pernah menjahatiku sedikitpun.
“Okay!” Ujarnya.
Oooo
Awal pertama aku masuk kuliah, tepatnya beberapa minggu kuliah berlangsung. Kami yang angkatan 2018 di minta untuk berkumpul di basecampnya angkatan 2016. Terlebih Basecamp itu dekat dengan kosanku, Anjar temanku yang selalu bersemangat untuk menggetahui segala hal yang baru di kampus langsung menjemputku ke kos.
“Harus ya kita datang lebih awal? Nanti mereka ngaret lagi!” Protesku.
“Kita kedatangan senior Angkatan 2014, kamu gak excited?”
“Enggak!” Jawabku.
Pada awalnya yang bicara di depan adalah senior Angkatan 2016, Aku sudah mulai terbiasa melihat mereka. Namun, ketika berganti menjadi senior Angkatan 2014 aku terpana melihat mereka.
“Mereka cantik-cantik ya, El!” Ujar Anjar.
“Iya, Auranya beda dari kakak Angkatan 2016. Kenapa bisa gitu ya?” Tanyaku.
“Coba lihat ke jam 11 El, Ya ampun itu kakak favoritku!” Ujarnya.
Aku memperhatikannya, karena dia langsung bilang kakak Favoritnya aku jadi bertanya alasannya menjadikan kakak favorit.
“Hah? Gamis?” Tanya ku Heran.
“Kamu pasti salah nanggap yang ku arahkan!” Ujar nya.
“Iya, aku malah lihat kakak yang pake Jeans. Dia Cantik, Senyumnya manis dan Proporsi tubuhnya ideal” Ujarku.
“Oh yang itu! Jadi, itu kakak Favorit kamu?” Tanyanya.
Aku menggangguk, padahal aku belum tau nama kakak itu. Anjar langsung memberitahuku sebuah informasi yang dia tau mengenai kakak favoritku.
“Kakak itu punya adek di angkatan kita!” Ujar Anjar.
“Siapa?” Tanyaku.
“Tapi Cowok, sering di panggil Ucok!”
“oh, Okay!” Ujarku.
Oooo
“Kapan kita keluar kelas?” tanya temanku berbisik.
Hari yang sangat padat dengan unsur kepadatan beton terasa hingga pembuluh darah. Kami ditahan di kelas sembari dosen yang tidak berhenti menjelaskan matakuliahnya. Aku jadi melirik kepada senior yang berada di sebelahku.
“Gimana cara menghentikan beliau bang?” Tanyaku.
“Berani Speak up?” Tanyanya balik.
Aku tanpa pikir langsung berdiri kemudian berbicara. Semuanya langsung menatap kearahku, termasuk senior yang berada di sebelahku.
“Permisi pak, bukan bermaksud lancang. Tetapi jam belajar teknologi beton sudah selesai pak!” Ujarku.
Bapak itu sepertinya marah saat aku berani bicara.
“Kalau kamu tidak suka belajar dengan saya, silahkan keluar.” Tegasnya.
“Maksudnya bukan seperti itu pak, kami semua belum ada sarapan dari tadi. Kalau tetap diteruskan tidak akan masuk ke otak pak!” Sambung temanku.
Beliau yang awalnya kesal karena aku berani bicara, jadi merasa diusir dari kelas yang beliau ajar. Masuk jam 7.30 wib, seharusnya keluar jam 10.00 Wib. Malah dibuat keluar jam 12.00 Wib, belajar terlalu lama juga tidak baik untuk kesehatan otak.
“Kelas apa ini? Kelas A ya, pembangkang semua.” Ujar beliau sambil melangkah keluar kelas.
Yang lain bertepuk tangan, sedangkan senior di sebelahku malah mengingatkanku untuk hati-hati. Sebelum beliau keluar, dia membisikkanku sesuatu.
“Kalau ada apa-apa, temui abang!”
Aku mengangguk, Teman-temanku malah penasaran apa yang dibisikkan senior itu di telingaku.
“Gak ada.” Ujarku.
Ooooo
Setelah bapak itu pergi, Aku langsung berlari duluan menuju kantin kampus karena merasa sangat kelaparan.
Semua senior disana memperhatikanku, aku memesan makanan dan duduk di antara mereka.
“Kamu angkatan berapa, Dek?”
Aku malas ditanya ketika makan, tetapi aku harus menjawab karena aku berada di wilayah mereka.
“Angkatan 2018? QS apa PWK?” Tanyanya lagi.
“Teknik Sipil bang!” Jawabku.
Senior disana menampakkan ekspresi kaget, aku juga dibuat tersedak karena suara mereka.
“Minum dulu dek!”
Kakak yang di sebelahku mengambilkan air minum untukku, bahkan aku tidak tau jurusan mereka. Ini tempat makan, siapapun yang punya uang bisa makan disana.
“Kamu yakin makan disini bareng kami?” Tanyanya lagi.
“Terus ini apa bang, kalau bukan makan?” tanyaku balik.
“Iyaa juga, lanjutlah makannya.”
Tak berapa lama, handphoneku berbunyi. Ada notifikasi WA dari temanku.
“Dimana El?” Tanyanya.
“Di kantin depan Masjid.” Balasku.
Mereka tidak percaya dengan ucapanku, malah dikira aku bercanda karena yang mereka lihat di kantin itu hanya ada senior dari jurusan lain. Tidak mungkin Elata bisa masuk ke dalam sendirian.
“Aku ada di dalam!” Protesku.
Oooo
Kuliahku berjalan seperti biasa, tapi hari ini aku telat dari jam biasa aku pergi kuliah. Aku tergesa-gesa melihat kelas kuliahku di handphone saat berjalan menuju kampus. Sehingga tidak fokus untuk melihat ke depan, aku jadi menabrak seseorang yang berada di depanku. Aku kaget, dia juga kaget. Intinya kami sama-sama kaget.
“Aduh! Kepalaku!” Protesku.
“Eh, sorry sorry!” Ujarnya.
Aku menabrak bang Shaddam yang sedang berada di depanku, dia tidak pergi ke gedung kuliahnya. Malah berdiri tidak jelas di tengah jalan.
“Bang, kalau suka itu nyatain. Jangan gak jelas gini!” Ejekku.
“Elata!” Teriak bang Shaddam.
Aku segera berlari menuju kelasku, masih mengingat kejadian tadi. Ternyata orang seperti bang Shaddam bisa salah tingkah juga. Waktu absensi kehadiran, lagi-lagi dosenku terhenti saat menyebutkan nama seniorku. Kalimat yang terdengar oleh telingaku adalah kalimat hinaan karena mengulang matakuliah beton.
“Dosen gak patut di contoh!” Ujarku.
“Ssstt! Kalau kedengaran kamu kena masalah dek.” Ujar abang itu.
Padahal dia sedang di roasting oleh dosen itu, tapi masih juga dengan tegas mengingatkan lisanku. Bapak itu memperhatikanku yang sedang bicara dengan seniorku.
“Nama kamu siapa?” Tanyanya.
Aku sudah menatapnya dengan sangat tajam, beliau akan melakukan apa jika sudah tau namaku. Tanpa ada rasa takut sama sekali, aku menyebutkan namaku.
“Elata Puti Elang!”
Semua orang hening, termasuk senior yang berada di sebelahku. Bapak itu malah meroasting namaku dengan sesuka hati, tanpa dia sadar itu merupakan penghinaan besar kepadaku.
“Elang? Burung Elang yang bisa terbang?” Tanyanya sambil tertawa.
“Elang sudah terbang Pak, gak akan pernah kembali!” Jawabku.
Rasanya aku ingin melawannya terus, dia menghina alm papa di hadapanku secara terang-terangan. Aku langsung berdiri dan membuat heran seluruh teman-temanku termasuk dosen di depanku.
“Ngapain kamu berdiri?” tanyanya.
“Izin ke toilet pak!” Ujarku tiba-tiba.
Aku benar-benar muak menghadapi orang seperti dia. Tidak ada yang membuatku tertarik saat masuk kelas teknologi beton, semua ucapannya menyebalkan. Semua penjelasan beliau membosankan, dan tidak ada yang bisa ku teladani dari kepribadiannya.
“Kenapa dia jadi Dosen sih?!” Protesku.
Sehabis kelas beton, aku dihampiri oleh senior angkatan 2012 yang tadi diremehkan oleh dosen tersebut. Abang itu malah menasehatiku untuk menjaga lisan, terlebih ketika bertemu dengan karakter-karakter dosen seperti itu.