Elata

Arnesa Fetalia Ulva
Chapter #5

Klarifikasilah Konon!

“Cari Elata itu sampai dapat!”

Para mengawal senior langsung bersiap mencari keberadaanku. Seperti buronan yang harus diadili, aku menghindari perkumpulan agar bisa tenang. Tapi, mereka malah semakin memaksaku untuk menjadi pemberontak.

“Aku gak mau ikut!” Tegasku.

Aku sudah sengaja kabur dari kampus setelah perkuliahan usai, tidak ingin terlibat drama senioritas itu lagi. Aku tidak suka dibuat bermasalah, terlalu menyita waktu dan mentalku.

“Setidaknya beritahu apa yang jadi unek-unekmu!” Ujar Luthfi.

“Aku gak percaya sama siapapun!” Bantahku.

Ketika aku sudah berhasil menghindar dari kampus, aku malah dihadang oleh teman seangkatan yang cowok. Mereka hanya menghargai seniornya, mereka tidak menghargaiku sebagai teman seangkatannya.

“Harus aku ulang, aku gak mau ikut!” Tegasku.

Tanpa mendengarkan perkataanku, mereka masih berusaha untuk memaksaku ikut. Tidak hanya satu orang. Ada 4 motor dari angkatanku dan sekelas denganku yang menghadangku. Mereka tidak membiarkanku menenangkan diri sebentar saja.

“Kalian takut sama Senior-senior itu?” Tanyaku.

Mereka terdiam mendengar pertanyaanku, aku sedang bertanya pada orang-orang di hadapanku bukan memberontak. Melihat ekspresi mereka yang sangat bingung, aku jadi mengalah meski batinku sedang tidak baik-baik saja.

“Ingat kata-kataku, tidak semua dari mereka pantas dianggap senior.” Tegasku.

Aku kasihan melihat teman-teman ku malah takut pada mereka. Aku tidak suka keadaan ini, aku tidak suka dipaksa untuk setuju dengan pasal 1 yaitu “senior selalu benar”. Senior bukan tuhan, dia cuma manusia biasa yang berlagak melebihi tuhan.

“El, sekali ini aja jangan berontak.” Ujar Luthfi.

“Diam!” Aku membentaknya.

Dia terdiam mendengarku, tertekan dengan sikapku dan tekanan dari senior angkatan 2016.

Oooo

“Elata yang kalian cari sudah datang, terus apalagi?” Pikirku.

Senior Angkatan 2016  malah menghadangku untuk segera masuk dalam perkumpulan itu. Tadi mencariku, sekarang menciptakan drama lagi di hidupku seakan aku yang butuh hadir di perkumpulan itu.

“Mereka sangat menyebalkan ya?” Pikirku.

Ingat dulu ketika aku selalu positive thinking pada Senior Angkatan 2016 meskipun selalu diabaikan saat berkumpul. Sekarang aku yang mengabaikan mereka secara terang-terangan, aku juga bisa melakukan hal yang sama kepada mereka.  

 “Kamu dongkol dek?” Tanya seorang Senior.

Aku hanya diam, tapi mataku tak bisa berbohong. Memang aku dongkol, aku sudah di perjalanan menuju kos dan ingin beristirahat malah dipaksa berkumpul.

Oooo

“Siapa namanya?” Tanya senior itu kepada Komtingku.

Dia menatap mataku, seperti komunikasi malalui mata. Aku yang tadinya benar-benar dongkol, cukup iba melihat kesulitannya menjadi pemimpin. Pasti sangat melelahkan harus menghadapi Senior Angkatan 2016 yang karakter masing-masing individunya sangat menguji mental.

“E-la-ta!”

Aku menyebut namaku tanpa suara, Aku memang tidak suka keadaan ini. Tapi, komtingku tetap temanku. Jika dia tidak menjawab dengan benar, skenario apalagi yang diciptakan oleh senior ini.  

“Yakin kamu, itu nama teman kamu?” tanyanya.

“Yakin bang!”

Aku menatap kearah senior itu sangat tajam, sudah berapa menit aku dibiarkan berdiri hanya agar diizinkan bergabung dengan teman seangkatanku. Seperti sedang mengambil nilai teater saja, drama mereka tidak asik sama sekali.

“Iya itu nama kalian?” tanyanya.

Aku mengangguk. Sebelum dipersilahkan masuk, kami harus minta izin lagi untuk bisa bergabung. Bisa ditebak apa yang ada dalam otakku? Sangat Dongkol, Aku benci keadaan ini. Aku yang tidak suka basa basi, tidak suka terlibat drama, malah harus merasakan ini dalam hidupku.

“Izin bergabung kak, bang.” Ujarku.

Aku duduk paling belakang, tidak menganggap perkumpulan ini ada. Tidak mau mendengarkan apapun yang dikatakan oleh senior-senior didepan. Aku sedang muak, kapanpun aku bisa meledak.

“Anggap saja kaset rusak, El!” Gumamku.

Aku hanya melihat kearah laut untuk menjernihkan pandanganku, Menjernihkan pendengaranku dengan suara ombak yang menenangkan. Kalau aku menutup mata, mungkin aku bisa lupa kalau sedang berkumpul dan tertidur karena sugestiku sendiri.

“Wah air laut surut, biasanya pertanda bencana!” Gumamku.

Kalau tiba-tiba gelombang air laut naik dan menerjang semuanya tanpa belas kasihan. Aku yakin semua senior yang ada disini pasti akan masuk neraka, karena membuat drama senioritas seperti ini.

“El, jangan tertidur!” Ujar Joy.

Tiba-tiba teman seangkatanku di suruh menghadap kearah kiri, kecuali aku ditemani oleh Joy. Beberapa dari mereka menampakkan ekspresi bahagia karena aku yang diminta menghadap komting Angkatan 2016.

“Baru sekarang kalian benar-benar kenal dengan namaku!” Gumamku.

Oooo

Aku sudah duduk di samping Komting 16, diiringi beberapa Senior yang ribut perkara aku yang berulah. Mereka harus diam kalau ingin mengenal karakterku bukannya berisik seperti ini.

“Mana si biang kerok?” Pikirku.

Aku melihat ke seluruh arah, mencari keberadaan bang Dani yang membuatku ada di sini sekarang. Dia tidak terlihat olehku sama sekali, atau dia sengaja melarikan diri.

 “Abang tanya serius, kenapa El gak mau datang ke hima hari minggu kemarin?” Tanyanya balik.

“El gak mau datang bang!” Ujarku.

Lagian pintu kos utama untuk keluar sengaja dikunci oleh seniorku, mereka tidak mau aku terlibat drama yang sudah jelas tidak akan mau aku ikuti. Pertanyaanya hanya satu, Bagaimana seorang yang selalu hidup bersama Senior malah di anggap tidak pandai menghargai Senior?

“Bang, saudara kandung itu biasa berdebat!” Ujarku.

Senior Angkatan 2016 yang lain mengelilingiku, Aku yang tadinya ingin bicara dengan komting 16 terhenti. Karena mereka terlalu ribut di telingaku, mereka tampak sama dengan Dani.

Masih melihat ke sekeliling senior Angkatan 2016, yang ada diotakku detik itu cuma mencari keberadaan Febri Hamdani. Dia yang harusnya bicara, karena dia yang membuat perdebatan semalam itu seakan penyerangan terhadap senior.

“Mana bang Dani, Bang?” tanyaku pada komting 16.

“Kami ada disini, kenapa harus Dani?” Celetuk salah satu Senior. 

“Karena dia yang memulai pertikaian!” Tegasku.

Oooo

Disaat Komting 16 mulai bicara, aku kaget mendengarnya. Setiap kalimat yang keluar darinya, membuatku terdiam. Aku pikir komtingnya akan lebih memuakkan dari Dani. Tapi aku salah, dia terlalu layak untuk kuanggap senior.

Senior-senior yang mengelilingiku malah ikut terbawa suasana karena melihatku menangis. Aku menangis bukan karena takut, tapi karena merasa disaat itulah status juniorku dihargai. 

“Wajarkan bang kalau adek kandung ngeluhnya sama saudara kandungnya?” Tanyaku.

Siapa yang tidak sakit hati dibuat bermasalah oleh senior yang merasa dia percaya? Ditambah lagi dia seorang laki-laki. Pertanyaan tentang genap dan genap adalah saudara kandung, mungkin belum mengena dalam hidup Dani.

“Kami cuma ingin mengenal kalian adek-adek kami.” Ujar beberapa Senior.

Aku menjelaskan argumenku sambil menangis, air mataku tidak berhenti keluar. Rasanya benar-benar mengecewakan dibanding tidak diajak bicara saat perkumpulan awal. Disalah pahami, lalu dibuat jadi masalah besar hanya karena si Dani tidak bisa mengimbangi cara bicaraku.

“Ingat El, Senior kamu tidak hanya satu.” Ujar seorang Senior.

Oooo

“Oh my god, Uang cashku sudah habis!” Ujarku.

Aku panik sendiri, karena kuliah hari ini masuk jam 10.00 Wib dengan dosen Killer. Tanpa pikir Panjang aku bergegas ingin pergi ke ATM. Awalnya, aku mengira kakak kosku masih berada di kos. Tapi, mereka semua sudah pergi kuliah.

“Gapapa El, jalan itu sehat!” Gumamku.

Aku berjalan sampai ke jalan raya, karena ATM hanya ada di dekat sana. Setiba disana aku malah harus mengantri.

“Kalau aku tidak ikut mengantri, aku tidak bisa membeli makanan?” Pikirku.

Sampai pada giliranku, aku segera mengambil uang sebanyak yang ku butuhkan. Kemudian bergegas untuk berjalan menuju kampus.

“Butuh berapa menit jalan kaki sampai ke kampus?” Pikirku.

Tak berapa lama, banyak teman seangkatanku yang menyapaku. Tapi, tidak ada yang peka kalau aku butuh pertolongan.

“Aku tidak butuh disapa, aku butuh tumpangan.” Ujarku kesal.

Aku melihat handphoneku, kurang dari 10 menit sudah harus masuk kelas. Aku cukup panik, karena aku belum juga sampai kampus.

“Kalau telat, aku gak akan masuk!” Pikirku.

Tiba-tiba ada dua orang yang pakai motor Ninja berkendara sangat dekat denganku, yang satunya malah berhenti ketika melihatku berjalan sendirian. Yang satunya lagi heran karena temannya berhenti, aku yang lebih heran kenapa dia berhenti.

“Motor lu kenapa Bro?” Tanyanya.

Aku mendengarnya dengan jelas. Abang itu langsung menyuruh temannya untuk pergi duluan karena dia ada urusan denganku.

“Mau Kuliah kak?” Tanyanya sopan.

“Iya bang.”

Aku sebenarnya paling anti untuk naik moge ke kampus, terlebih dengan orang asing. Tapi mengingat waktu terus berjalan, aku tidak mungkin menolak bantuan yang diberikan tuhan padaku.

“Angkatan berapa Kak?” Tanyanya.

“Angkatan 2018, bang” Jawabku.

“Owh, Saya Angkatan 2017” Ujarnya.

“Jurusan Apa bang?” Tanyaku penasaran.

“QS, Kamu juga QS kan? Soalnya sering lihat di kantin bareng senior angkatan 2015.”

“El Teknik Sipil, bang!” Ujarku.

Dia terhenti, tepat di depan lapangan tenis yang merupakan tempat berkumpulnya senior Teknik Sipil. Ekspresinya langsung berubah, terlebih di lapten ada beberapa senior Teknik Sipil yang sedang bersantai disana.

Tanpa mempedulikan tatapan Senior Teknik Sipil itu, Aku langsung bergegas menuju kelasku dan tidak lupa mengucapkan terima kasih pada orang yang sudah berjasa untuk menolongku barusan.

“Makasih bang!” Ujarku.

Oooo

“Seniorku bukan cuma satu.” Gumamku.

Berani juga dia mengirim pesan padaku, dia lega karena sudah melarikan diri atas masalah yang dia buat. Aku memang diam, tapi lama-lama ini bisa jadi dendam. Menilai karakter seseorang itu mudah, lihat saja ketika dia menanggapi masalah.

Jangan mengira masalahnya selesai dengan membuatku bertemu komting 16, masalahnya tidak akan ku anggap selesai sebelum Dani itu sendiri yang bicara langsung padaku. Kalau aku masih tertarik untuk menganggapnya seorang abang yang perlu dapat hormat dariku.

“Dia mau bilang apa sih?” Tanyaku penasaran.

Melihatnya mengetik lama, Aku yang jadi julid. Sepertinya dia sudah merasa menang karena membuatku disalahpahami semua orang.

“Udah paham kan apa yang abang maksud?” Tanyanya.

“Apa? Genap ganjil?” Tanyaku.

“Kan udah bicara sama Komting 16.” Ujarnya lagi.

“Ohh, iya. Komting 16 itu the best, patut dicontoh cara bicaranya gak kayak abang. Makasih ya bang udah buat El kenal sama komting 16. Waalaikumussalam.”

Dia tidak membalas lagi, memangnya susah ya untuk mengakui kesalahan. Mengakui kesalahan gak akan buat seseorang kehilangan harga diri, malah semakin menampakkan dirinya sangat berharga.

“Kamu gak bisa dibilangin.” Pesannya lagi.

“Bisa, tergantung siapa yang bicara!” Balasku.

Oooo

“Seniorku tidak hanya satu.”

Kalimat itu terus menggema di telingaku. Dani yang menang karena melarikan diri atau aku yang menang, karena bertahan dengan diriku sendiri. Sekarang aku paham, Umur hanyalah angka. Umur tua belum tentu membuat seseorang bersikap dewasa.

Ketika berada di kampus, aku berpapasan dengan bang Dani Marlindo. Aku menyapanya, dia juga meresponnya dengan baik. Tapi, karena kami sama-sama cuek. Komunikasi kami hanya sebatas itu, terlebih sapaanku yang kaku dan balasannya juga kaku. Tidak ada yang tersenyum diantara kami.

Teman di sampingku, memperhatikan komukku. Antara ingin menasehati, tapi melihatku menyapa beliau. Dia penasaran apa permasalahannya, sedangkan aku terlalu privasi untuk segala hal di dalam hidupku.

“Menyimpan dendam itu tidak baik, El” Ujarnya.

Aku heran mendengar ucapan temanku, karena yang bermasalah denganku Febri Hamdani bukan abang barusan. Hampir semua teman angkatanku mengira kalau bang Dani Marlindolah yang bermasalah denganku, terlebih jika diperhatikan kami tidak saling senyum saat berpapasan.

“Iya, aku gak dendam sama bang Dani!” Ujarku.

Sebaik apa image yang dibentuk oleh Febri Hamdani pada junior-juniornya sampai tidak ada yang mengira dialah orang yang membuatku viral. Dia tidak tenang sedikitpun ketika berdebat denganku, kalimatnya menyebar kemana-mana tidak dalam satu topik bahasan. Masih juga dikira dia senior yang paling baik di Angkatan 2016, aku harap mereka bisa membuka pikirannya lebih luas.

Sekalipun Imageku dibuat buruk olehnya, aku tetap berdiri di kakiku sendiri. Atas prinsip hidupku sendiri, tidak peduli apa yang dikatakan orang lain tentangku. Dibenci atau disukai, itu tidak membuatku rugi. Hanya saja kalau diusik, aku bisa lebih mengusik.

Ooo

“Bang Dayat!” sapaku.

Saat berjalan menuju Gedung Fakultasku. Aku berpapasan sama Dani dan bang Dayat. Sekalipun Bang Dayat lagi sibuk dengan handphonenya dan yang melihat kearahku adalah Dani, yang ku sapa cuma bang Dayat.

 “Yup!” balasnya.

Ekspresi Dani kaget, namanya tidak ku sebut. Bang Dayat juga bingung, ini anak cuma nyapa senior yang mau dia sapa saja. Sangat terasa perubahannya, semenjak kejadian yang membuat namaku tersebar di grup Angkatan 2016. Berkat ulah Febri Hamdani.

“Dia gak nyapa lu?!” Ujar bang Dayat.

“Biarin ajalah”

Aku jika diposisi Dani, akan merasa sangat dibedakan. Padahal seharusnya sama-sama disapa, karena merupakan seniornya Elata.

Oooo

“Elata, kamu pindah ke depan.” Pintanya.

Aku sedang berada di labor komputer, melaksanakan pratikum pemograman. Untung saja Asisten labor untuk kelasku bukan Febri Hamdani, melainkan Senior Angkatan 2017 bersama Senior Angkatan 2016 yang bukan termasuk circlenya Febri Hamdani.

Aku diminta duduk paling depan oleh Senior Angkatan 2017, karena matanya tidak suka melihatku paling belakang dan terus membantu teman-temanku yang cowok jika tidak paham dengan pemograman yang sedang diajarkan oleh beliau.

Selama 15 pertemuan dalam satu semester, hanya 2 kali aku bisa duduk di belakang. Selebihnya, gerak gerikku diawasi oleh 2 asisten di hadapanku. Aku jadi semakin terlatih untuk diam, tanpa mengeluarkan suaraku sedikitpun.

Giliran aku menghubungi Senior Angkatan 2017 untuk bisa belajar pemograman. Karena aku bilang tidak harus ada catatan asistensi, melainkan pemahamanku pada pemograman tersebut lebih penting. Dan Aku juga ingin belajar aplikasi Teknik Sipil yang lain. Karena beberapa hari lalu aku memergoki beliau sedang membuat tugas mata kuliahnya dengan Software khusus Teknik Sipil.

“Berdua orang atau bertiga bang, kalau abang ada waktu luang. Abang kasih tau aja feenya, pasti kami bayar cash.” Ujarku.

“Sendiri juga bisa kalau mau belajar sama abang tentang aplikasi Teknik Sipil!” Ujarnya.

Lihat selengkapnya