Ini sidang kerja praktek apa sidang pengadilan sih?” Pikirku.
Sejak mulai persidangan, aku sudah dibuat kaget oleh penguji satuku. Dia tidak mengizinkanku untuk menjelaskan menggunakan Ms Powerpoint, dia menyuruhku menjelaskan dengan sketsa di papan Tulis. Bahkan belum sesi tanya, dia sudah memberiku banyak pertanyaan.
“Apa aku sedang menghadapi aktivis kampus?” Pikirku.
Mentalku habis dibantai oleh penguji satu, pertanyaannya seakan antrian sembako.
"Sabar El, dia sudah setua kakekmu!" Gumamku.
Dilanjutkan dengan penguji dua yang merupakan mantan ketua prodi yang dulu selalu mengincarku, beliau juga berusaha untuk membantai mentalku dengan pertanyaannya.
“Apaan sih buk?” Pikirku.
Kalau penguji satu sudah bar-bar, sebaiknya penguji dua lebih tenang. Bukan malah ikutan bar-bar juga memberi pertanyaan, sudahlah dibantai dengan caranya bertanya di anggap berbohong pula.
“Kamu jangan bohong Elata!” Bentak Bu Rini.
Aku menyebut nama papa Elang sepanjang sidang, untuk kali ini aku dipaksa mengalah ketika ada yang membentakku.
“Ini Skripsi kan bukan Thesis? Berat banget perasaan pertanyaannya?" Pikirku.
Pembimbingku tidak menolong sama sekali, aku pikir pak Bahrul punya hati nurani tetapi ku rasa dia tidak memilikinya. Dia malah ikutan memberiku pertanyaan dengan suaranya yang tidak pernah ku sukai.
“Dia pembimbing atau penguji sih?” Pikirku.
Aku jadi menyalahkan diriku sendiri, seharusnya tidak perlu sampai tersinggung karena dia menghina nama papa kalau tuhan malah membuatku harus menghadapinya.
“Papa kalau bisa dengar El, buat dia membayar perlakuannya!” Gumamku.
Ooo
Energiku benar-benar habis. Ketika aku diminta untuk keluar sebentar karena sedang merundingkan nilai. Di luar sudah ada senior angkatan 2017, Mereka melihatku yang tampak begitu lesu.
“Duduk dulu disini Ela!” Ujar Bang Byan.
Aku menggeleng, karena aku tidak ingin ditanya-tanya perkara sidangku di dalam kelas tadi. Aku hanya duduk di dekat pintu tanpa mau diganggu. Tiba-tiba dari arah kanan, aku malah mendengar suara ribut dari seseorang. Dia masih berada ditangga dan bicara dengan orang yang ada di lobby teknik sipil, suaranya terdengar sangat keras.
“Ucok!” Gumamku.
Energinya tampak tidak habis-habis, padahal aku yakin dia juga dibantai di dalam ruangan sidang. Aku yang awalnya benar-benar dibuat down jadi kembali normal karena melihat dia.
“Kamu kenapa senyum-senyum?” Tanya Pak Bahrul.
“Enggak Pak, tadi ada yang lucu!” Jawabku.
“Jangan senang dulu kamu ya El, ini masih sidang pertama!” Ancam Pak Bahrul.
Entah apa jadinya jika pak Taufik bisa menghadiri sidang perdanaku, padahal aku berharap beliau yang akan menolongku ketika aku tidak sanggup menghadapi pertanyaan yang terlalu over dari penguji. Tapi, beliau malah ada urusan yang lebih penting.
“Ancam terus! Kayak karma gak berlaku aja!” Gumamku.
Oooo
“Kita coba makanan disana kak!” Ajak Eluna.
Eluna menarik tanganku untuk ikut dalam antrian, Ada makanan viral yang sedang di jual di kotaku. Dia tidak mau ketinggalan trend sama sekali.
“Eluna kita balik aja yok!” Ujarku.
“Dua orang lagi giliran kita kakak!” Tegasnya.
Eluna memberitahu pesanannya, Lumpia isi daging tanpa sayur. Belum sempat dia memberitahu pesananku, pedagangnya langsung tau jika aku tidak akan memesan daging.
“Kalau untuk kakak”
“Ayam kan?” Tanyanya.
“Eh, Abangnya bisa baca pikiran!”Ujar Eluna.
Aku cukup kaget karena dia masih mengingat kalau aku tidak akan memakan daging sapi, padahal aku dan Eluna sudah memakai masker.
“Ela, mau pedas atau middle?” Tanyanya.
Eluna langsung menoleh ke arahku, aku jadi canggung karena ditanyain. Tiba-tiba Eluna langsung bertanya pada pedagangnya.
“Abang kenal sama kak Ela?” Tanyanya penasaran.
“Kenal dong!” Jawabnya.
“Emang masih jelas ya walaupun pakai masker?” Tanyaku.
Dia memberitahu jika mataku itu mudah untuk dikenali olehnya, terlebih sewaktu sekolah aku juga sering pakai masker agar tidak kena debu sepanjang jalan.
“Kamu gak berubah ya El, Cantik!” Ujarnya.
Sebenarnya sudah lama tidak mendengar seorang bang Luq menyebutku cantik, tapi aku tidak di perbolehkan untuk bawa perasaan. Tiba-tiba ada seseorang dari belakang bang Luq, aku jadi memperhatikan gerak geriknya. Dia Gadis yang aku lihat waktu itu, ternyata masih bersama dengan bang Luq.
“Ini ditarok di mana bang?” Tanyanya.
“Tarok disini aja!” Jawab bang Luq.
Bisa-bisanya dia menyanjungku cantik di dekat gadisnya sendiri. Aku jadi lupa sosok manusia yang posesif waktu itu sampai merobek lukisannya sendiri karena aku menggambar cowok lain.
“Kamu memperhatikan apa, Ela?” Tanya bang Luq tiba-tiba.
Gadis itu menatap ke arahku, kemudian menghampiriku dan bersalaman. Aku yang kaget melihat tingkahnya, dia malah salaman dengan mantan dari pacarnya.
“Adek bungsu abang, El!” Ujar bang Luq.
Oooo
“Hah? Sejak kapan abang punya adek?” Tanyaku.
“Sejak dia lahir ke dunia!” Jawabnya.
Aku jadi mengomel karena selama ini aku tidak dikasih tau. Aku hanya tau kalau yang anak bungsu itu bang Luq, sehingga aku mana berfikiran kalau dia menjadi anak tengah di keluarganya.
“Kamu menghindar karena lihat abang jalan sama dia ya?” Tanyanya sambil tertawa.
“Enggak! Karena gak mau gambarku di robek lagi!” Tegasku.
Aku dan Eluna menjadi menjadi pembeli terakhir, sehingga bang Luq ada kesempatan untuk mengajakku mengobrol setelah sekian lama tidak bertemu.
“Kamu kuat di jurusan teknik?” Tanyanya.
“Kok tau?” Tanyaku.
Dia memberitahuku jika pernah melihatku pulang menggunakan baju angkatanku, tapi karena tidak ada kesempatan untuk bicara dia tidak berusaha memanggilku.
“Sumpah bang, Jurusan yang abang mau itu benar-benar bikin gak waras!” Ujarku.
Aku bercerita secara lugas dengan bang Luq, tidak lagi seperti dulu saat dia bersamaku. Biasanya harus dia yang pancing topik agar argumenku keluar, kali ini aku sudah menganggapnya temanku.
“Kenapa kakak gak sama bang Luq aja?” Ujar adeknya.
Sepertinya aku sudah berdamai dengan hatiku, bukan hanya perkara kertas gambarku di robek. Sebaik apapun bang Luq memperjuangkanku untuk ada disisinya, dia tetap tidak akan bisa membuatku jadi pasangannya.
“Kita satu suku dek!” Jawabku.
Tiba-tiba handphoneku berdering, mama memintaku untuk segera pulang. Aku izin pulang pada bang Luq, agar mama tidak khawatir dengan kami berdua.
“Iya ma, El pulang sekarang!”
Oooo
“Awas saja pak Bahlul itu bohong lagi!” Gumamku.
Aku duduk di lobby Teknik Sipil, berharap bimbingan kali ini benaran berjalan. Mencoba untuk mengirim pesan pada beliau, meskipun aku mulai lelah menghadapinya. Tiba-tiba ada juniorku yang mendekat, dia mengobrol denganku. Tapi, yang membuatku cukup kaget alasannya ikut overthinking dengan nasibku.
“Tapi, bisa terkejarkan kak?” Tanyanya.
Aku terdiam, emang boleh sepeduli itu padaku? Sedangkan aku sendiri berharap kalau bisa teknik sipil ini berhenti menyiksa bathinku, aku benar-benar kelelahan. Ketika aku melihat kearah matanya, dia berhenti bicara. Maksudku, aku tidak marah jika dia menasehatiku. Aku hanya tidak punya ekspektasi jika dia akan peduli dengan hidupku, aku senang jika itu tulus.
“Apa Kevin memang perhatian ya? Kenapa aku tak sadar saat jadi asistennya?” Pikirku.
Aku tak ambil pusing, mungkin dia memang perhatian dan baru tampak ketika aku bukan asistennya lagi. Aku pergi ke lantai dua, berharap disana ada pak Bahrul. Karena janjinya akan memberikan bimbingan di hari ini. Ketika aku mencari beliau, tidak ada beliau di ruang dosen.
“Maaf Ela, Bimbingannya besok saja ya!” Ujarnya.
Handphoneku rasanya ingin aku banting ke lantai, ini bukan pertama kalinya beliau seperti itu. Aku sudah berusaha mengendalikan diri selama ini. Tapi, beliau masih saja seperti itu.
“Dosen tak patut dicontoh!” Gumamku.
Aku menenangkan pikiranku terlebih dulu di kursi tunggu, sebelum aku turun dan pulang tanpa ada hasil. Dari arah tangga ada yang datang dengan ekspresi yang sangat panik, ada teman satu bimbinganku.
“Harus bimbingan sama pak Bahrul!” Ujarnya.
“Bapak masih di luar kota Dzaki!” Ujarku.
Dia tidak mendengarkanku, aku jadi kembali diam. Tetapi teman disampingnya yang juga ikutan tertekan dengan kepanikan Dzaki malah bertanya padaku.
“Pak Bahrul dimana El?” Tanyanya.
“Bapak masih di luar kota!” Jawabku.
“Yang sabar ya!” Ujarnya lagi.
Aku tersenyum mendengarnya, padahal aku sendiri tidak tau kapan moodku akan kembali baik. Yang artinya, aku tidak tau sampai jam berapa aku duduk disana untuk menenangkan diri. Tuhan langsung mendatangkan Ucok ke arahku, memang tujuannya menemani Dzaki. Tapi, dengan kehadirannya moodku bisa kembali membaik dan aku bisa pulang dari kampus dengan segera.
Oooo
“Cewek sama Cowok itu gak mungkin bersahabat tanpa melibatkan perasaan!” Tegasnya.
Dia memberi pernyataan yang ingin ku lawan, padahal di belakangku dia juga merespon banyak panggilan cewek di handphonenya. Giliran bicara dengan ku bisa bersikap seposesif itu.
“Terus perasaan siapa yang dilibatkan sekarang?” Tanyaku.
“Ela, kamu gak mau sama aku?” Tanyanya lagi.
Aku memang mengalah ketika Ajo menceritakan kisahnya dengan mantan kepadaku, tapi aku tidak suka mendengarnya.
“Mantanmu itu gak penting untuk ku dengar, paham!” Tegasku.
“Tapi, dia pernah ada dihidupku!” Balasnya.
Aku benar-benar tertekan kalau harus berdebat seperti ini dengan Ajo. Dia tidak pernah menjaga perasaanku, tapi menyalahkanku disaat sadar ada teman laki-laki di sekitarku. Keposesifannya terlalu beracun untukku.
“Mereka teman-temanku, jadi berhenti mencurigai perasaanku Ajo!”
“Kenapa kamu gak pacaran aja sama Luthfi kalau gitu?” Bantahnya.
“Atau yang paling keren sama salah satu senior kamu itu Ela!” Sambungnya.
Diulti kesal, tapi perasaanku selalu disepelekan. Ajo bukan orang yang tepat jika harus bersamaku, dia tidak mengerti senioritas, solidaritas, loyalitas, dan prioritas. Dia menganggap aku bodoh karena selalu ada senior di dekatku, tapi dia tidak tau tujuanku selalu membiarkan beberapa senior ada bersamaku.
“Terserah kamulah! Capek aku ngomong!” Protesku.
Dia juga tidak ada di pihakku, malah mencurigaiku sejahat itu. Tak berapa lama dia membalas pesanku lagi dengan kalimatnya yang membuatku geleng-geleng.
“Kamu masih balas pesan bang Shaddam kan?” Tanyanya.
“Semua orang juga ku balas kalau goodmood!” Tegasku.
“Kamu masih punya perasaan sama bang shaddam kan?” Tanyanya curiga.
“Kamu menyebalkan ya Jo?” Protesku.
Dia tidak membuat pikiranku tenang sedikitpun, kalau sudah mulai mode posesif. Semua laki-laki sepertinya dilahirkan posesif, atau yang ku kenal hampir semuanya membuatku tertekan karena keposesifannya.
“Dia lebih parah dibanding Bang Luq!” Gumamku.
Oooo
“Hati-hati untuk mengikuti labor tanah 2, tidak ada yang menganggapmu baik!” Ujar Ajo.
Aku tidak peduli, lagian teman angkatan itu kan bisa berfikir Nazifah yang mentelantarkan tugasku. Tapi yang Ajo bilang benar, aku tidak bisa percaya dengan mereka.
“Ini benar-benar gak adil!” Gumamku.
Ketika mau pulang hari pertama labor, aku terhenti karena melihat seseorang sedang mengambil bola takraw. Energiku sudah tinggal sedikit karena menghadapi banyak orang, rasanya aku kelelahan untuk bergerak untuk pulang.
“Kenapa El?” Tanya Temanku.
“Enggak!” Jawabku.
Ada Ucok yang sedang bermain takraw, apa boleh aku selalu menyerap energinya ketika dia ada di sekitarku. Dia melihat ke arah ku, disaat itu jugalah aku segera pergi dengan temanku.
“Kamu lihatin Ucok ya tadi?” Tanyaku.
“Enggak!” Bantahku.
“Gak biasanya Ela terdiam kayak gitu!” Ujar Temanku.
Oooo
“Ini sidang kerja praktek apa sidang pengadilan sih?” Pikirku.
Sejak mulai persidangan, aku sudah dibuat kaget oleh penguji satuku. Dia tidak mengizinkanku untuk menjelaskan menggunakan Ms Powerpoint, dia menyuruhku menjelaskan dengan sketsa di papan Tulis. Bahkan belum sesi tanya, dia sudah memberiku banyak pertanyaan.
“Apa aku sedang menghadapi aktivis kampus?” Pikirku.
Mentalku habis dibantai oleh penguji satu, pertanyaannya seakan antrian sembako.
"Sabar El, dia sudah setua kakekmu!" Gumamku.
Dilanjutkan dengan penguji dua yang merupakan mantan ketua prodi yang dulu selalu mengincarku, beliau juga berusaha untuk membantai mentalku dengan pertanyaannya.
“Apaan sih buk?” Pikirku.
Kalau penguji satu sudah bar-bar, sebaiknya penguji dua lebih tenang. Bukan malah ikutan bar-bar juga memberi pertanyaan, sudahlah dibantai dengan caranya bertanya di anggap berbohong pula.
“Kamu jangan bohong Elata!” Bentak Bu Rini.