“Kan bagus ada uang tiap bulan, Ajo!” Tegasku.
Aku membaca pesan dari Ajo, walaupun respectku perlahan hilang. Aku masih berusaha membiarkannya menjadi temanku, lagi-lagi dia mengeluh tentang kerjaan. Dia merasa kelelahan karena harus mengikuti serangkaian pendekatan dengan rekan kerjanya.
“Loyalitas tanpa batas!” Ujarnya.
“Makanya waktu kuliah rajin ngumpul, biar terbiasa dengan loyalitas!” Balasku.
Diluar prediksi BMKG, dia malah berharap setelah berumah tangga nanti hanya aku yang pergi kerja. Sedangkan dia ingin di rumah saja.
“Iya kalau kamu yang jadi suami aku.” Ujarku.
“Bisa diatur itu.” Ujarnya.
Aku yang tidak yakin kalau bisa menjadikannya imam untuk diriku, terlebih dia merespon banyak perempuan di belakangku. Khayalannya keterlaluan.
“Kalau kamu bapak rumah tangga, kamu dong yang masak lalu ngurus anak?” Tanyaku.
“Kayaknya itu lebih aman untuk kewarasanku!” Jawabnya.
“Belum selesai, jangan dipotong dulu!” Protesku.
“Maaf-maaf!”
“Kamu yang hamil, kamu yang melahirkan, kamu juga yang menyusui! Sanggup?”
“Itu bukan Kodrad aku, Elata!” Tegasnya.
Dia mengeluh seperti itu saja aku jadi tertekan, bisa-bisanya berharap cinta tulus dari orang yang tidak dicintai dengan tulus. Sebenarnya bukan lingkungan yang membuatnya tertekan melainkan dirinya sendiri.
“Kamu udah lupa sama harga diri kamu ya, Jo?” Tanyaku.
Dia jadi terdiam karena yang ku katakan itu fakta, dia lupa dengan harga diri yang selalu dia katakan tentang laki-laki. Sembari dia sudah sibuk dengan pekerjaannya, aku malah menikmati momentku dengan crushku di sekitarku.
“Jangan sampai aku dengar kata-kata ini dari Ucok!” Gumamku.
Ooooo
Ajo jadi sasaran pertanyaanya randomnya Elata, setelah bang Shaddam dipersilahkan untuk memperjuangkan kekasih hatinya.
“Aw!”
Aku geli mengingat bagaimana salah tingkah bang Shaddam ketika harus bertemu dengan kakak itu, kalau aku lumayan dengan beliau sudah lama ku beritahu. Sayangnya, aku tidak dengan dengannya.
“Hasibuan itu apa?” Tanyaku.
“Marga!” Jawabnya.
Cuma satu suku kata balasannya, padahal aku mencoba untuk memberitahu informasi yang seharusnya dari lama dia tau.
“Aku juga tau itu marga, Ajo!” Pikirku.
“Kenapa nanya itu, El?” Tanyanya.
Dia terpancing dengan pertanyaanku. Daripada dia masih mengatakan kalimat-kalimat seperti menginginkanku, lebih baik dia tidak berusaha untuk menggangguku.
“Si Ucok, Hasibuan kan?” Tanyaku.
“Iya! kenapa Ela? Kasih taunya jelas-jelas!” Protesnya.
Aku yang tidak pandai merangkai kata, sangat sulit untuk memberitahu segala yang ada di kepalaku dengan mudah.
“Bentar, El bingung ngomongnya gimana!” Bantahku.
“Kamu suka sama dia?” Tanyanya tiba-tiba.
Lama kali dapat pertanyaan ini, kayak gak tau sifat aku saja si Ajo. Sambil tertawa, aku berusaha mengetik kalimat yang tidak akan melukainya dan tidak merugikanku.
“Menurutmu dia ganteng gak?” Tanyaku.
“Gak tau aku El, Aku kaum pelangi!” Jawabnya.
Jawabannya lebih random dari yang ku kira, bisa-bisanya dia mengetik kalimat itu kepadaku. Ku rasa Ajo tidak akan cemburu karena dia bisa memilih salah satu perempuan yang dia dekati untuk diajaknya serius. Tidak ada cinta yang tulus untukku darinya.
“Sejak kapan? Kamu salah pergaulan disana?” Tanyaku.
“Iyaa!” Jawabnya.
“Aduh! Kasihan banget ya!” Ujarku sambil memberi emot ketawa.
Ini kalau Ucok sedang makan atau minum bisa tersedak karena ku gibahin sama Ajo. Aku mencari kalimat lain, agar Ajo benar-benar mengerti kalau yang ku ucapkan itu serius.
“Kalau Ajo belok harusnya tau jawaban dari pertanyaanku!” Ujarku.
“Aku gak tau Ela!” Balasnya.
Tiba-tiba dia kembali kepada habitnya untuk bicara tentang mantannya, untuk kali ini aku benar-benar mengultinya dengan kebenaran.
“Kalau kamu gak rela dia nikah sama orang lain, rebutlah!” Ujarku.
Apapun yang dia katakan sudah tidak lagi mengusikku, sekalipun dia bilang akan merebut mantannya itu. Aku sudah tidak peduli.
“Hilang harga diriku melakukannya!” Ujarnya.
“Ken Arok di abad ini adalah Ajo, kan seru!” Ujarku.
Dia berusaha membuatku kesal karena menyebut mantannya berkali-kali, aku jadi menyebut Ucok juga berkali-kali.
“Ucok di kelas dulu gimana anaknya?” Tanyaku.
“Baik!” Jawabnya singkat.
“Terus?” Tanyaku lagi.
“Iya, dia Baik anaknya.”
Aku jadi mengingat waktu pertama kali bertemu Ucok di fotocopy, perdebatan dia dengan Nazifah waktu itu. Mungkin bisa ku simpulkan dia juga pribadi yang perhatian.
“Dia perhatian anaknya kan?” Tanyaku.
“Iya, Dia penyayang!”
Akhirnya, dia merasakan juga gimana cowok lain aku bicarakan ketika sedang mengobrol dengannya. Dulu malah seenak hati membicarakan mantannya padaku.
“Mantan aku itu juga penyayang!” Ujarnya tiba-tiba.
“Siapa juga yang peduli?” Pikirku.
Dia malah minta solusi agar bisa balikan dengan mantannya yang sudah menikah, Ajo ini kadang pembahasannya terlalu tidak mungkin untuk dilaksanakan.
“Jebak suaminya!” Ujarku.
“Yang sportiflah El!” Bantahnya.
“Tunggu dia jadi janda!”
Sepertinya isi pikiran Ajo benar-benar sedang berantakan, kalimatku yang jelas saja tidak tercerna olehnya.
“Duda lah!” bantahnya.
“Hah? Kamu mau suaminya ya ternyata? Parah Ajo!” Ujarku.
Aku tidak tau entah Ajo berfikir kalau aku hanya ingin membuatnya cemburu dengan menyebutkan Ucok dalam Obrolan kami atau bagaimana. Tetapi, jawaban yang dia berikan sangat diluar dugaan.
“Kalau dia kira aku akan menunggunya, berarti Ajo yang kepedean!” Gumamku.
Ooooooo
“Jam berapa sidangnya?”
Keesokan harinya aku bersiap untuk pergi ke kampus. Aku datang ke labor beton untuk bertemu salah satu teman yang kompre. Menunggu di ruang Asisten sendirian, tidak peduli jika itu gelap karena bola lampunya putus.
“Aku pagi!” Jawabnya.
“Kalau Ucok sidangnya jam berapa?” Tanyaku.
Padahal pertanyaanku selalu seputar Ucok, tapi tidak ada juga yang sadar kalau aku menyukainya atau mareka hanya tidak yakin itu benar. Temanku memberitahu jika sidang Ucok dilaksanakan sore hari, yang artinya aku harus ada di labor sampai sore.
“Aduh! Apa aku pulang saja ya?” Pikirku.
Tapi yang ada di labor malah mengajakku mengobrol, aku jadi tertahan sampai menjelang sore. Kesalahan ku yang sangat fatal, aku tak sadar itu bisa membuat Ucok kesal karena tingkahku. Aku malah membantu temanku tanpa berfikir Ucok ada di sekitar situ, dengan Ajo saja aku tidak pernah jalan bareng. Selalu dia yang di depan dan aku di belakang, lalu kali ini aku malah jalan disamping Irvan.
“Bantu aku El!” Ujarnya.
Sewaktu melewati Ucok dan teman yang lain, Ucok langsung bertanya apa yang kami lakukan. Dia malah menjawab dengan sembarang kata, aku yang dibuat kaget dengan pernyataannya.
“Aku ada urusan sama Elata!” Ujarnya.
Ketika semua menertawakan kami berdua, yang di pikiranku hanyalah bagaimana Ucok menanggapinya? Aku jadi menatap kearahnya, dia tidak ikut mengejekku. Tetapi malah tertunduk, padahal dia mau sidang aku malah membuat ulah di hadapannya.
“Cieee!”
Aku mohon jangan percaya, aku hanya ingin membantunya perkara surat UKT pacarnya. Aku tidak bisa memberitahu Ucok tapi malah membuatnya terus berfikir aku tidak menginginkannya. Tidak hanya sekali, mungkin dia sudah menyimpulkan jika Elata menyukai orang lain karena tidak bersikap baik kepadanya.
“Elata jahat pada perasaannya sendiri!” Gumamku.
Oooo
“Aku gak mau masuk!” Tegasku.
Elata kalau tidak kuat mental, tidak usah berusaha ikut masuk. Mereka belum tentu menerima kehadiranmu, tapi kalau memang mau melihat Ucok pakai setelan hari ini kamu harus ke sana. Entah itu baik untukku, atau akan menjadi hal yang paling buruk untuk ku terima.
“El, ayok ikut masuk!” Ajak Dzaki.
Bahkan ketika aku sudah berada di dalam, aku hanya berdiri di depan pintu. Kalau aku harus melarikan diri, aku akan bersiap untuk lari. Aku tidak yakin akan baik-baik saja bergabung dengan mereka, aku tidak tau harus melakukan apa.
“Ucok sedang sibuk berfoto, apa aku kasih tau dia jika aku menggambarnya?” Pikirku.
Kejadian gambarku di robek oleh bang Luq, itu benar-benar membuatku trauma. Aku tidak mau ada kejadian yang kedua kalinya.
“Aku takut dia merobeknya?!” Gumamku.
Tiba-tiba Dirham datang dan mengajakku ikut berfoto, kukira aku akan di tempatkan di tepi. Tetapi, dia mengatur formasi agar aku berada di samping kanan Ucok dengan sangat mulus dan di sebelah kiri Isa.
“Aduh, Jantungku gak aman!” Gumamku.
Isa ketika menyadari ada aku di sampingnya, sepertinya dia sudah berdamai dengan pikirannya yang salah tentangku dulu atau memang tidak peduli sama sekali. Dengan mulus, orang di sebelah kiriku melangkah mundur.
“Ucok, foto dulu!” Protes Dirham.
Aku melihat kearahnya, dia tidak nyaman dengan kehadiranku. Dia sengaja melakukannya, ketika sadar aku yang berada di sampingnya. Aku merasa disambar petir, tepat di hatiku.
“Dia tidak akan pernah tau perasaanku!” Gumamku.
Ooo
Tiba-tiba kakak ucok datang, fokusku malah beralih pada kakaknya. Masih dengan penilaian yang sama, tidak berubah dari dulu. Aku suka vibe kakaknya, tapi aku tidak nyaman dengan sikap adeknya di detik ini. Bahkan ketika aku menggunakan Hoodie kuningku yang sangat mentereng di dalam lapten. Malah tidak dipedulikan olehnya.
“Bisa-bisanya dia tidak menganggap kehadiranku sama sekali!” Protesku.
Setelah acara foto bersama selesai, aku hanya berkeliaran disana tanpa berminat untuk ikut berfoto. Ini memang momentnya Ucok bukan bagian dari hidupku, pembalasannya sadis. Mataku tidak bisa bohong, aku hanya bisa melihat kearahnya sekalipun dia tidak menganggapku ada disana.
“Dia gak capek ya senyum terus?” Pikirku.
Baru juga aku mempertanyakannya, dia sudah memegang rahangnya. Aku dibuat overthinking disana, crushku saja tidak menganggapku ada apalagi yang lain.
“Oh iya dia dari angkatanku, angkatan 2018 terkutuk!” Gumamku.
Kalau aku tiba-tiba pergi, maka itu tindakan paling tidak sopan. Aku jadi memperhatikan semua orang tanpa mengeluarkan sepatah katapun, sampai aku perhatikan temanku yang sedang berusaha mengatur settingan kamera handphone untuk memotret Ucok.
“Pose apa lagi? Apa keluarga harmonis?” Tanya Ucok.
Aku kaget mendengarnya, keluarga harmonis? Memangnya ada keluarga yang seperti itu. Tidak ada yang benar-benar harmonis di dunia ini, pasti akan selalu ada permasalahan. Tetapi aku gagal fokus dengan posenya, dia seperti ingin memeluk teman perempuan di hadapanku.
Kucemburu namun hanya sebatas itu~
Aku menoleh ke arah lain, perlahan menghindarinya. Sudahlah kehadiranku tidak dianggap, Dia juga membuatku terbakar.
“Elata, dia tidak suka kamu ada disekitarnya!” Gumamku.
Oooo
Sesi foto selesai, aku melihat belum ada yang keluar dari lapten. Aku jadi mengikuti mereka untuk duduk, sampai ada yang pergi dari lapten maka aku akan ikut pergi. Aku mendengarkan setiap orang yang bicara, sampai aku keluar dan duduk di labor Beton. Disana sudah ada Isa, teman dekatnya Ucok. Aku tidak mengatakan apapun, tapi ku rasa dia menyadari ekspresiku. Memang benar aku menahan air mata di kedua kelopak mata, tapi jangan menyadarinya rasanya sakit.
“Aku pulang duluan Isa!” Ujarku Pamit.
“Hati-hati Elata!” Balasnya.
Aku mengambil motorku di parkiran, air mataku sudah menetes. Memangnya aku seburuk itu sampai harus menghadapi moment seperti ini.
“Tuhan! Suruh Elang menjemputku sekarang!” Gumamku.
Aku tidak memperhatikan berapa kecepatan laju motorku, seharusnya aku sudah menabrak jika sekencang ini. Sepertinya, Izrail menikmati aku yang mengendarai motor dengan kencang sehingga lupa dengan tugasnya untuk mengambil nyawaku saat ini juga.
“Izrail kemana? Semuanya tidak menganggapku bahkan malaikat pencabut nyawa?” Protesku.
Aku benar-benar melampiaskannya di jalan, ini serius Elata patah hati. Iya, Elata bahkan tidak bisa dapat energi positif dari crushnya lagi. Semuanya musnah karena ulahnya sendiri.
“Kenapa jalanannya tidak macet?” Protesku.
Ooo
Aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah, mentalku tidak aman jika dibiarkan terus-terusan di kos. Sewaktu sampai di rumah, hal yang tidak pernah ku lakukan dulu adalah segera memeluk mama.
“Ada yang menyakitimu?” Tanya beliau.
“Keadaan selalu menyakitiku!” Jawabku.
Aku pergi ke kamar dan langsung tidur, aku sendiri yang menyakitkan bukan sesuatu dari luar diriku. Aku lebih sering menyalahkan diriku sendiri dibanding mencari kambing hitam untuk rasa sedihku, energiku terkuras habis jika melakukannya.
“Good night, Ucok!” Gumamku.
Aku membawa gambar itu pulang, dia tidak menginginkannya. Kehadiranku saja tidak dianggap olehnya, apalagi gambar yang ku buat untuknya.
Oooooooooo
Keesokan harinya ketika aku melihat Eluna sedang berada di kamarnya, aku langsung masuk dan bicara dengannya. Padahal belum hari sabtu atau minggu, adekku yang satu itu malah tidak pergi ke sekolah. Aku jadi memarahinya.
“Eluna, kamu gak pergi sekolah hari ini?”
“Astaufirullah, kaget kak!”
“Kamu bolos tanpa sepengetahuan mama ya? Bisa-bisanya kamu kayak gitu, belajar dari siapa?”
Eluna berusaha untuk menjelaskan, tetapi aku masih saja mengomel kepadanya. Sifat anak pertamaku keluar begitu saja, terlebih Eluna selalu saja memicu amarahku dengan kelakuannya.
“Kakak!” Teriaknya.
“Kamu berani ngelawan ya sekarang?” Tanyaku lagi.
“Kakak! Eluna itu libur, ngapain ke sekolah lagi!” Tegasnya.
“Oh iya?”
“Eluna mau masuk kampus lagi kakak!” Ujarnya.
Aku yang tadinya marah-marah, malah nyengir karena tidak sadar adekku sudah bukan siswa lagi. Dia akan menjadi mahasiswa. Eluna yang melihatku berubah mood, langsung mengomeliku.
“Tadi aja marah-marah!” Ujarnya.
“Maaf-maaf, kakak mana ingat kamu udah libur!” Balasku.
Oooo
“Elata tidak berguna?!” Gumamku.
Aku memperhatikan sekujur tanganku, ada jarum infus yang tertanam di tangan sebelah kiriku. Sekarang aku malah membuat diriku menjadi pasien rawat inap di rumah sakit, aku benar-benar kehilangan segalanya.
“Kapan aku pulang dari sini?” Pikirku.
Ketika dokter datang memeriksaku, dia berupaya tersenyum tetapi aku memberinya tatapan datar. Duniaku sudah sirna semenjak Elang Pergi meninggalkan aku, tidak ada yang membiarkanku bebas. Bahkan orang-orang disekitarku berusaha untuk mengendalikanku.
“Dok, apa ada pasienmu yang meninggal karena ini?” Tanyaku.
“Berdoalah untuk segera sembuh?!” Jawabnya.
“Aku ingin segera bertemu Papa!” Ujarku.
Setelah rangkaian pemeriksaan selesai, dokter itu pergi keluar ruangan inapku. Bertepatan dengan kedatangan mama dan adekku pada waktu ini, mereka terlihat tergesa-gesa untuk berada di sisiku. Dokter itu malah mengingat perkataanku tadi dan malah meminta mama untuk menelpon papa.
“Tapi kami anak yatim, Dok?!” Tegas Eluna.
Dokternya jadi kaget, jadi maksudku sedari tadi hanyalah untuk pergi dari dunia ini. Ketika beliau tau, beliau jadi meminta maaf pada mama dan Eluna karena tidak menggetahuinya. Mereka masuk ke ruang inapku.
Oooo
Beberapa hari aku masih saja berada di rumah sakit, bukannya sembuh malah tambah sakit. Dokter selalu mengingatkanku untuk tidak banyak pikiran, mengingat tentang pembimbing Skripsiku saja pikiranku jadi terbebani. Overthinkingku bercabang-cabang disetiap perkara yang ada, mungkin wajar jika fisikku tidak mampu menopangnya karena terlalu banyak.
“Elaaa!”
Aku menoleh ke arah pintu yang dibuka, disana sudah ada seseorang. Padahal sudah lama aku tidak berkomunikasi dengan mereka, sudah sibuk dengan urusan masing-masing, aku tidak menyangka jika mereka datang menjengukku.
“Ela, Try to smile for me!” Ujar Indah.
Bukannya tersenyum aku malah menangis, hidup yang kujalani terasa begitu menyakitkan. Aku sampai tidak bisa menutupinya dari teman-temanku, mereka tau persis jika aku tidak akan membiarkan diriku sampai down. Tapi, aku melakukannya saat ini.
Indah memelukku, begitu juga Tiara dan Cindy. Walaupun sudah berbeda jalan menuju masa depan, setidaknya pertemanan tetap akan terjalin sampai kapanku. Tiara memberikanku gantungan kunci.
“Aku tidak butuh ini?!” Ujarku.
Gantungan kunci itu bertuliskan ‘Peace’, satu kata dengan makna yang sangat dalam. Dia berharap aku bisa berdamai dengan semua yang sudah ku jalani dan segala yang harus ku hadapi.
“Kamu butuh pengingat, kepalamu bisa pecah jika terus memikirkan segala hal sendirian.” Ujar Indah.
Sembari mengobrol, salah satu temanku melihat ada satu kotak yang bersandar di dekat meja. Dia membukanya, Sampai dia tersadar dengan tulisan yang ada di bawahnya.
“Ela, kenapa yang gambar ini masih sama kamu?” Tanyanya.
Aku memperhatikan yang bicara, sambil dia mengangkat kotak gambar itu.
“Eluna membawanya ya?” Pikirku.
Aku tersenyum, berharap mereka tidak bertanya. Tapi, Indah malah sadar dengan ekspresiku.
“Apa dia Crush mu?” Tanyanya.
Belum sempat ku jawab pertanyaannya, mereka langsung heboh karena Elata menggambar crushnya sendiri. Padahal, Elata sendiri yang berjanji pada dirinya tidak akan menggambar orang yang dia suka setelah kejadian di robek waktu itu.
“Wow, Elataku sudah kembali!” Ujar Indah.
Mereka jadi bertanya tentang sikap orang itu padaku, aku tak bisa berkata-kata. Dihubungan ini, tidak ada hubungan apapun yang terjalin. Bahkan sekedar jadi temannya saja, aku menolaknya. Aku tidak bisa menganggapnya seperti seorang teman, selalu ada perasaan yang ikut serta ketika menghadapinya. Kalau aku menganggapnya seorang teman, maka tidak mungkin dia yang menjadi crushku.
“Berarti ini harus Elata duluan yang confess!” Ujar Tiara.
Aku menggeleng, tapi handphoneku sudah berada di tangan mereka. Mereka mencoba merangkai kata-kata yang baik dan sopan.
“Overthinkingmu harus di brantas satu persatu!” Ujar Indah.
Rasanya ingin ku larang, tetapi aku tidak punya cukup energi untuk melakukannya.
“Hm, Delete delete! Nanti kalau typingnya beda, dia sadar lagi kalau Elata yang ngetik!”
“Cara bicaramu seperti apa biasanya, Ela?” Tanya Cindy.
“Ngegas?!” Ujarku.
Teman-temanku saling menoleh, mereka bingung bicara ngengas ini yang seperti apa. Tidak mungkin dalam setiap kalimat seorang Elata ngengas sama crushnya sendiri.
“Iya ngegas, kalau gak aku diam aja!”
Mereka memaksaku untuk mengetik, aku harus menberitahunya perasaanku. Hal ini juga pemicu overthinkingku sehingga aku berada di Rumah Sakit. Aku jadi mengetiknya, sambil di perhatikan oleh teman-temanku.
“Woi, Aku suka sama kamu!”
Teman-temanku malah terheran menatapku. Elata tidak feminism sama sekali, Ini seperti kalimat untuk mengajak berantam bukan confess. Aku berusaha menghentikan mereka agar tidak sampai mengirim pesan itu. Aku bisa malu kalau ketemu dia nanti saat di kampus, Mereka malah berebut Handphoneku sampai terjatuh ke lantai.
“Ela Maaf!” Ujar Tiara.
“Kalau rusak, kalian ganti yang baru!” Tegasku.
Aku kembali tidur dan tidak berekpektasi dengan balasannya apalagi reaksinya ketika membaca pesanku. Seperti yang pernah bang Shaddam bilang, jangan mengharapkan feedback yang sama.
“Ela, kamu marah?”
“Enggak! Terimakasih sudah selalu menjadi temanku!” ujarku.
Akupun memejamkan mata, pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Teman-temanku benar, Padahal aku tinggal bilang kalau aku menyukainya. Tapi, dramanya berlangsung hingga bertahun-tahun.
Oooo
“Nenek! Nenek!” Teriakku.
Aku sudah memanggilnya berkali-kali, rumah itu tetap saja tertutup rapat. Seakan tidak ada orang di dalam.
“Tak payahlah, aku akan menemui papa terlebih dahulu!” Gumamku.
Aku berjalan bersama Eluna menelusuri pemukiman yang hening seperti tidak dihuni oleh siapapun. Hingga aku sampai di kuburan Papa, aku malah melihat seseorang menangis tak henti-hentinya di atas tanah kuburannya. Aku yang melihat langsung mendekat dan menariknya ke belakang, dia tidak boleh menangis diatas kuburan. Itu menyiksa yang sudah berpulang.
“Elata, aku minta maaf untuk selama ini?!” Ujarnya.
Eluna yang melihat jadi heran, apa yang dilakukan perempuan itu di kuburan papa dan mengapa dia meminta maaf pada kakak. Aku memaksanya berdiri, dia tidak boleh membuatku seperti orang jahat di depan kuburan papa.
“Aku tidak akan memaafkan apapun!” Tegasku.
“Aku minta maaf!” Ujarnya lagi.
Aku mengusirnya dari sana, Eluna hanya bisa terdiam melihat kakaknya bersiteru dengan orang lain. Aku terduduk sambil memandangi kuburan papa. Eluna memegang bahuku, Dia sadar aku selalu menahan air mataku ketika bertemu dengan Papa.
“Tidak apa-apa untuk merasakan kesedihan kak!” Ujarnya.
“Diam!” bentakku.
Bisa-bisanya dia ada disini, mengukir luka lama. Memangnya dia siapa sampai menangis sangat sedih di hadapan papaku, aku saja tidak melakukannya mengapa dia melakukannya. Dia tidak berhak melakukannya, dia tidak boleh melakukannya, bahkan untuk segala hal yang dia lakukan padaku selama ini. Menangis untuk papakulah yang paling ku benci, aku tidak suka dia melakukannya.