Lintang berdiri sambil menatap sebuah makam yang sudah ditumbuhi rumput pendek. Dia sedang berada di sebuah komplek pemakaman umum yang tertata rapi. Tatapan syahdunya seakan membuka sebuah rahasia luka yang menggores hatinya. Dia berjongkok di samping makam. Di nisan itu tertulis nama Kartika. Lintang mengelus nisan itu, lalu sejenak berdoa. Tak terasa sebulir bening menetes dan mengalir sampai ujung bibirnya.
"Bagaimana kabarmu Ndut?" tanya Lintang bermonolog.
Panggilan Ndut merupakan panggilan sayang Lintang pada Kartika karena saat kecil adiknya sangat gemuk.
"Aku pulang menjengukmu. Tak terasa sudah setahun aku tak melihatmu. Maafkan aku," lanjut Lintang.
Lintang menghela napas mengusir rasa sedihnya.
"Ndut ... kau tahu aku dalam masalah. Kau dulu begitu cemburu pada Ayu, walau berkali-kali kuberitahu padamu, kalau kami akan mencoba berbagai cara agar perjodohan itu takkan terjadi. Syukurlah aku tak jadi menikah dengan Ayu. Dia mengambil keputusan kabur bersama teman bulenya ke Jerman. Satu masalah selesai, malah datang selanjutnya. Sekarang, orangtua kita malah menjodohkan aku dengan adiknya Ayu. Nina namanya. Entah kenapa, melihatnya aku seperti melihatmu. Apakah kau punya saudara kembar yang tak kami ketahui?"
Lintang tertawa kecil.
"Namun, itu tak mungkin. Aku sendiri bersama ibu dulu menjemputmu di panti asuhan saat kau masih bayi. Jadi tak mungkin kau memiliki saudara kembar," ucap Lintang lalu diam sejenak.
"Aku tak tahu jika Ayu memiliki seorang adik. Walau wajahnya mirip wajahmu, dia bukanlah dirimu. Ayu dan Nina juga demikian. Mereka bak langit dan bumi. Ayu begitu bebas dan terbuka, sedangkan adiknya terlihat begitu pemalu dan tertutup. Bahkan cenderung susah untuk didekati" terang Lintang.
"Apakah kau cemburu aku bercerita tentang Nina? Kuharap kau tak cemburu. Nina tak memandangku, bahkan tak mengenalku dan tak mau tahu tentang masalah perjodohan. Dia juga kabur seperti Ayu. Kemarin aku bertemu dengannya, duduk di sebelahnya, bahkan tak tahu kalau aku lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Konyol kan? Sepertinya keluarganya tak pernah memberitahu tentangku pada Nina, bahkan bisa jadi fotoku tak ditunjukkan oleh mereka. Atau Nina yang memang tak peduli. Apakah menurutmu aku harus balas dendam pada mereka?" tanya Lintang sambil tertawa kecil, menertawai keironisan hidupnya.
"Ndut ... aku belum bisa melupakanmu. Seandainya kau masih hidup, aku tahu kau akan mendengarkan semua keluh kesahku dan menyelesaikan permasalahan bersama-sama. Seandainya saat itu aku tergerak untuk menyusulmu ke Indonesia, aku bisa menemanimu lebih lama di saat terakhirmu," ucap Lintang sambil meneteskan kembali air mata penyesalan.
Lintang ingat saat dia menyatakan keinginannya menikahi Kartika dan membawanya berangkat ke Jerman untuk kuliah. Orang tuanya syok mendengar keputusan Lintang dan Kartika. Mereka tak tahu sejak kapan di antara mereka terdapat perasaan "terlarang". Secara hukum mereka kakak adik, tapi secara hukum agama, tak ada hubungan darah di antara mereka.
"Kalian itu kakak adik. Bagaimana bisa kalian mau menikah? Saru ... iku saru,"* ucap Ibu Lintang.
"Kartika bukan adik kandungku, Bu," jawab Lintang sambil melirik Kartika yang juga duduk menunduk di kursi di sebelahnya. Kartika mulai terisak.
"Tak bisa. Bapak gak setuju. Kamu berangkat saja ke Jerman. Kamu sudah punya calon istri, si Ayu itu. Titik," terang Pak Pramodya tegas.
Lintang diam tak berkutik. Dia hanya menatap Kartika yang hanya bisa menangis. Ibunya juga menangis. Lintang dilema. Dia sudah membuat semua perempuan di keluarga Pramodya menangis. Dia bercermin pada dirinya, lelaki macam apa dirinya jika hanya membuat sedih perempuan-perempuan yang dicintainya.
"Pak, Bu ... masalah ini jangan salahkan Kartika. Aku yang mencintainya. Salahkan saja aku," ucap Lintang sambil berdiri lalu beranjak pergi masuk ke dalam kamarnya.
Lintang melipati baju lalu memasukkannya ke dalam kopor. Dia ingin pergi dari rumah secepatnya agar masalah tidak membesar. Dia ingin menghindari Kartika agar perasaannya tak semakin membesar dan tak terbendung lagi. Setelah semua peristiwa itu dia benar-benar menghilang dan serius belajar kedokteran di Jerman selama beberapa tahun tanpa pulang ke Yogyakarta.
***
Nina berjalan di koridor kampus menuju ke kantor HMJ anak-anak prodi Bahasa Indonesia. Sesuai jadwal yang tertera di program, mereka akan rapat tentang pelaksanaan program literasi. Beberapa orang yang mengenalnya menyapanya di sepanjang koridor. Nina begitu anggun dengan gamis biru muda dan kerudung merah muda lembut. Sesampainya di kantor HMJ Nina langsung mengetuk pintu lalu membukanya.
"Assalamu'alaikum," ucap Nina sambil membuka pintu tapi tertahan oleh seseorang yang hendak keluar dari ruangan.