ELBE'S LOVE STORY

Maria Ispri
Chapter #8

BAB 7

Nina sudah siap untuk keluar makan malam bersama Handika. Mereka janji bertemu di Lawang Sari, sebuah restoran dekat kampus yang baru buka beberapa minggu. Nina mengambil jaket lalu keluar kamar.

"Kamu mau kemana, Nin?" tanya Mbak Sonya senior mereka di Al Husna.

"Mau ada acara sama teman, Mbak," ucap Nina lalu mengambil helm milik Suci.

"Hati-hati di jalan, jangan malam-malam pulangnya," nasihat Mbak Sonya.

"Ya. Assalamua'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Sonya.

Sosok Nina menghilang di balik pintu.

"Kemana tuh anak? Paling-paling jalan lagi sama tuh cowok," ucap seorang perempuan agak gemuk berkulit putih tetiba muncul dari arah dapur mendekati Mbak Sonya.

"Husssh, jangan suka su'udzon," ucap Mbak Sonya.

Si gemuk mencebik.

"Setiap orang membutuhkan proses untuk berubah, Sus. Siapa tahu Nina belum siap jika harus meninggalkan si Handika," bela Mbak Sonya.

"Iya sih," jawab si gemuk yang bernama Susi teman satu kontrakan Nina.

"Makanya, tugas kita cuma menasihati saja. Kalau dia gak mau berubah dan masih belum bisa jaga pergaulan dengan laki-laki, ya itu hak Allah yang kasih hidayah untuk hijrah. Setidaknya kita sudah menasihatinya karena sayang, jangan malah membenci apalagi berlagak sok suci," terang Mbak Sonya.

Susi mengangguk lalu menggapit lengan Mbak Sonya untuk menyeretnya ke dapur.

"Ayo sudahlah, kita cuci piring, jangan suka ngomongin orang melulu," ajak Mbak Sonya.

Mbak Sonya paham sosok Nina, dia memang membutuhkan waktu untuk berubah. Bukan berarti Sonya meremehkan semangat perubahan Nina untuk lebih baik. Sonya tahu bagaimana beratnya Nina ketika ingin istiqomah menggunakan jilbab dan kerudung panjang saat dia tahu kewajiban seorang muslimah harus menutup aurat dengan benar sesuai dengan surat Al Ahzab 59 dan An Nur 31.

Orang tua Nina yang memang Njowu* tulen tak mengizinkan Nina pakai jilbab panjang yang tertutup. Nina menangis waktu itu, dengan mengumpulkan segenap keberanian, Sonya menemani Nina melobi orang tuanya langsung ke Yogykarta, walau akhirnya orang tua Nina tetap tak mengizinkan memakai jilbab lebar dengan alasan orang tuanya ingin Nina melanjutkan darah seni tari yang ada di dalam keluarganya. Pada awalnya, orang tua Nina ingin anak gadisnya masuk ke sekolah seni agar ada penerus ibunya yang seorang dosen seni tari.

"Tak usah menyalahi adat. Dulu kami sudah mengizinkan kamu untuk masuk ke kampus Keguruan, gak jadi masuk ke institute seni. Lha sekarang kok malah ingin pakai baju kayak orang hamil, apa kata orang," ucap Ayah Nina saat itu.

Perkataan ayah Nina masih terngiang di telinga Sonya yang duduk di samping Nina saat itu. Akhirnya Nina memilih kabur dari rumah kembali ke Solo dan entah bagaimana, akhirnya orang tua Nina melembut dengan sendirinya.

Sama halnya dengan hubungan Nina dengan Handika, Sonya tahu Nina membutuhkan waktu untuk melepas lelaki itu. Ada waktunya nanti, Nina pasti akan kecewa dan berbalik ketika berharap cinta pada manusia. Tugas mereka sebagai sesama muslimah hanya menasehati dalam kebenaran dan tak boleh lelah untuk itu, karena cinta sesama agar bisa bersama mendapat surgaNya.

***

Udara malam terasa lembab, hujan baru saja reda. Jalanan basah menyisakan genangan. Nina mengendarai sepeda motor milik Suci menembus hawa dingin menuju ke restoran Lawang Sari. Lampu merkuri menyinari jalanan yang basah menjadikan efek gemerlap yang lembut di mata Nina.

Nina memarkir sepeda motor di samping kafe. Seorang juru parkir menatapnya sambil mengulas senyum. Nina menyapa dengan anggukan kepala.

"Titip sepeda motornya ya, Mas," ucap Nina.

"Inggih Mbak. Selamat makan."

Dari luar restoran terdengar suara klenengan* gamelan tembang Jawa Uler Kambang. Restoran itu didesain tradisional Jawa dengan ukir-ukiran yang indah. Nina mengedarkan pandangan ke segala arah mengagumi interior restoran yang mewah. Nina melihat hanya beberapa orang yang sedang menikmati hidangan sambil mendengarkan klenengan. Nina kira itu suara kaset, ternyata memang ada live show di restoran itu. Pertunjukkan karawitan lengkap dengan gamelan, yaga,* dan sinden yang sedang nembang. Suaranya merdu, mirip sinden Supadmi, walau umurnya masih terbilang muda.

Di meja depan dekat panggung ada seorang lelaki yang memakai jaket dari bahan jins denim. Oh, Dika sudah datang, batin Nina. Gadis itu mendekati sosok yang sedang menikmati pertunjukkan.

"Dika!" kejut Nina sambil menepuk punggung lelaki itu.

Spontan lelaki itu menoleh sambil menaikkan alisnya karena terkejut. Nina terkesiap, dia salah orang.

"Kau!" ucap Nina dan lelaki itu bersamaan.

Nina tak menyangka jika yang di sapanya adalah si Lintang.

Ya Allah kenapa ketemu dia lagi, batin Nina. Dia ingat bisikan hatinya tadi siang. Perjumpaan pertama sekedar pertemuan, perjumpaan kedua adalah kebetulan dan perjumpaan yang ketiga adalah musibah.

"Kita berjodoh," ucap Lintang lalu menyesap kopi hitamnya.

Nina mencebikkan bibirnya.

Lihat selengkapnya