Nina duduk berselimut di atas ranjangnya sambil memeluk lutut. Malam dingin, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Para penghuni kontrakan sudah tidur. Hanya terdengar suara kendaraan lewat di kejauhan dan suara cicak yang berdecak. Dia menoleh melihat ranjang yang ada di sebelah. Si Suci sudah tidur sehabis salat isya berjamaah. Nina menatap gawainya. Dia membuka nomor Handika.
[Assalamua'alaikum]
[Bagaimana kabar ibumu?] tanya Nina.
Pesan terbaca. Handika online.
[Wa'alaikumsalam. Beliau masuk rumah sakit. Tekanan darahnya naik. Syukur tak sampai stroke] balas Handika.
[Syafahallah]
[Sudah makan?] balas Nina.
[Belum sempat. Sebentar lagi keluar cari makan, nunggu Mas datang dulu] jawab Handika.
[Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan] balas Nina.
[Sudah malam. Istirahatlah. Esok ada kelas kan?] balas Handika.
[Dik...tadi di Lawang Sari aku ketemu Lintang] tulis Nina tapi setelah itu Nina menghapusnya.
[Ya] balas Nina singkat pada akhirnya.
Nina bersandar ke dinding. Dia menghela napas saat mengenang kejadian tadi sore di Lawang Sari bersama Lintang. Menurut Nina, Lintang lelaki yang baik. Dari segala aspek memang tak ada cacat, kecuali rasa percaya dirinya yang tinggi. Sampai saat ini mereka bahkan tak ada saling bertukar nomor. Entah, tak ada debar sama sekali dalam hati Nina pada Lintang.
Sepanjang sesi makan malam saat itu, Nina bisa melihat ada kesedihan yang tertangkap di mata Lintang sejak langgam Taman Sari dilantunkan. Apakah ada rahasia yang Lintang sembunyikan? tanya Nina dalam hati, Tapi apa urusanku? Toh, dia bukan siapa-siapaku, lanjut Nina.
Nina membuka gawainya lagi. Dia menghubungi nomor Ayu tapi nomornya tidak aktif. Nina menangkupkan wajahnya ke bantal yang ada di pangkuannya, kesal. Kemana aku cari alamat dan nomor Ayu di Jerman? tanya Nina dalam hati. Nina mengangkat wajahnya. Oh ya, Mas Puguh. Dia pasti ada komunikasi sama Mbak Ayu, ucap Nina dalam hati lalu mencari nomor kontak teman Ayu.
Puguh teman kuliah Mbak Ayu di prodi seni tari. Mereka cukup dekat bahkan dikabarkan pacaran, tapi pada faktanya Mbak Ayu malah tertarik pada Marlon, bule Jerman itu. Nina mencoba menghubunginya, tapi juga tak aktif. Huuuft ... nasib. Aku juga tak punya nomor Lintang, keluh Nina membuat dia kesal sendiri. Tubuhnya merosot turun, merebahkan diri di atas bantal.
Nina membuka gawainya sekali lagi. Dia membuka aplikasi jejaring sosial dan mencari nama Lintang Pramodya di alat pencari. Nina tersenyum, dia menemukan akun milik Lintang. Tak ada yang istimewa dari akun Lintang. Kelihatannya Lintang bukan tipe yang suka eksis di dunia maya. Nina melihat foto yang diupload bisa dihitung dengan jari. Statusnya juga hanya sekitar aktivitas akademis, pekerjaannya sebagai dokter, artikel kesehatan. Gak asyik, batin Nina. Gadis itu meminta pertemanan.
Nina menelusuri foto yang tersimpan di akun Lintang. I think he has happy life*, batin Nina. Gadis itu menatap sebuah foto keluarga Lintang. Mereka sekeluarga berempat di sebuah rumah yang kemungkinan besar di luar negeri. Nina melihat sosok yang mirip dirinya di samping Lintang sedang tersenyum manis. Siapa dia? tanya Nina dalam hati sambil memperbesar foto. Eh, gadis ini benar-benar mirip aku, ucap Nina dalam hati. Nina tak ambil pikir lalu mengirim pesan lewat aplikasi pesan yang terhubung dengan akun Lintang.
[Assalamu'alaikum. Apakah kamu tahu alamat Ayu di Jerman?] tulis Nina lalu dikirimnya.
Pesan terbaca. Nina menunggu balasan dari Lintang. Matanya sampai pedih menatap gawai. Pesan itu tak dibalas. Nina kesal lalu menutup mata. Nina memilih tidur.
***