Nina duduk di tepi ranjangnya masih memakai mukena sehabis salat berjamaah bersama teman sekontrakan. Dia ingin mengirim pesan kepada Handika, tapi suara hati menahannya. Dia teringat perkataan Mbak Shafwana tadi sore saat di rumah beliau. Mereka membicarakan tentang bagaimana seharusnya seorang muslimah bergaul dengan lawan jenis. Pembahasannya cukup memberikan pencerahan untuk Nina
"Jika kita menyatakan keimanan kepada Allah maka akan memiliki konsekuensi terikat pada hukum syara'. Ini sebagai bentuk cinta kita pada Allah yang menciptakan kita, yang menciptakan bumi yang kita diami, yang mengkaruniakan udara pada kita dengan gratis, Pemilik langit dan bumi. Oleh karena itu, dalam setiap apa yang kita pikirkan, kita putuskan, dan kita lakukan harus berdasarkan apa yang Allah inginkan, berlandaskan pada keimanan kita pada Allah," terang Mbak Shafwana.
"Sebagai seorang muslimah, kebahagiaan yang hakiki itu adalah mendapat ridho Allah. Itu yang harus kita pegang. Begitu juga ketika kita ingin memenuhi naluri kita, yaitu ingin memiliki keturunan, memperbanyak jenis manusia. Naluri ini jika tidak kita penuhi hanya akan membuat kita gelisah, gak akan mati kok hanya gegara cinta. Untuk memenuhi hal ini maka haruslah menggunakan timbangan syara' dalam memutuskan bagaimana cara pemenuhan naluri ini. melalui pernikahan, tidak melalui pacaran seperti yang dilakukan kebanyakan orang zaman now, " terang Mbak Shafwana dengan kalimat yang lemah lembut.
Nina menunduk. Kata-kata Mbak Shafwana mengena di hatinya. Menikah? Apakah Handika mau menikahiku? tanya Nina dalam hati.
"Mbak, bagaimana caranya agar kita bisa mengenal pasangan kita jika kita tak pacaran terlebih dahulu. Kita kan gak ingin salah pilih," tanya Suci.
"Sebelum menikah ada fase ta'aruf. Masa perkenalan. Kita diperkenankan mencari informasi tentang pasangan kita melalui orang-orang terdekat dan terpercaya, bahwa calon kita memang seperti yang disampaikan dalam biodatanya. Kita bisa tanya visi misinya untuk menikah, sehingga kita bisa tahu apakah dia memiliki niat yang lurus karena Allah untuk membangun cinta dengan kita, ataukah sekedar ingin menikah karena alasan duniawi dan materi saja.
Apakah dia memiliki visi untuk berumah tangga demi mengokohkan bangunan dakwah dan mencetak anak-anak yang sholih untuk membangun peradaban Islam dan kaum muslimin? Kalian bisa tanyakan itu pada calon suami kalian kelak. Jangan sampai salah memilih, Rasulullah sudah memberikan rambu, pilihlah yang baik agamanya. Jika dia memiliki agama yang baik, minimal dia akan mudah dinasihati.
Fase ini seorang laki-laki boleh melihat calon istrinya agar bisa memutuskan kemantapan hatinya. Prinsip pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan itu adalah tolong menolong, bukan masalah jinsiyah atau seksual belaka. Pacaran setelah menikah, why not? Menurut Mbak hal itu malah memberikan sensasi petualangan yang lebih riil, hati tenang, berpahala, daripada pacaran, isinya galau, pegangan tangan juga dapat dosa, jatuh cinta nanti putus, sakit sekali pas jatuhnya. Pacaran hanya jagain jodoh orang. Menghabiskan waktu, uang, tenaga pada yang belum menjadi hak kita.
Lebih baik membangun cinta setelah menikah daripada mengawalinya dengan kemaksiatan, berujung pada kekecewaan karena ternyata sosok yang kita nikahi berbeda dengan saat pacaran. Kalau memang sudah fix calonnya, maka masuk fase khitbah atau melamar. Di saat ini sang Calon harus datang kepada orang tua atau wali meminta sang Calon istri, jika sudah mantap, jangan nunggu lama-lama, maka menikahlah ," terang Mbak Shafwana panjang lebar.
"Mbak, apa boleh seorang perempuan melamar terlebih dahulu?" tanya Nina yang akhirnya menyuarakan hatinya.
Mbak Shafwana langsung tersenyum. Nina jadi malu.
"Tentu boleh. Rasulullah saja pernah dilamar seorang perempuan.Tidakkah dulu bunda Khadijah ra melamar Rasulullah terlebih dahulu?" tanya Mbak Shafwana retoris.
Ada secercah bahagia di hati Nina, dia ingin melamar Handika, tapi rasa malu menyapanya. Secercah cahaya dihatinya akhirnya redup kembali. Keinginannya melamar Handika akhirnya surut. Semua perkataan Mbak Shafwana itulah yang membuat Nina ingin memutuskan melamar Handika terlebih dahulu. Tapi apakah Handika sudah siap berumah tangga? Aku harus menahan diri dulu, tak boleh tergesa-gesa, batin Nina lalu menaruh gawainya di samping bantal.
Suci masuk ke dalam kamar.
"Ada apa dengan wajah manyunmu itu?" tanya Suci, "Gegana eh?" lanjut Suci sambil naik ke atas ranjangnya.
Nina pindah duduk di samping Suci.
"Eh, Ci, bagaimana jika aku melamar Handika terlebih dahulu?" tanya Nina.
Suci langsung menaikkan alis.
"Tapi aku malu mau duluan meminta," ungkap Nina.Suci diam menimbang pikir.
"Aku tak tahu. Bagaimana kalau sampaikan saja niatmu lewat Mbak Shawfana, siapa tahu Mas Ahmad bisa bantu membicarakannya dengan Handika. Saranku, jangan langsung kau putuskan sendiri. Kau harus bilang orang tuamu, harus mengenal keluarganya juga. Apalagi masalah perjodohanmu dengan Lintang. Kalian harus menyelesaikan hal ini terlebih dahulu" terang Suci.
Nina diam menghela napas karena galau.
"Itulah. Masalah perjodohanku dengan Lintang kan belum fix. Sebelum jelas kondisi Mbak Ayu, orang tua kami juga takkan berani memutuskan begitu saja," ucap Nina.
"Beritahu orang tuamu saja dulu, sambilan kamu cari tahu info detail tentang Handika," saran Suci.