SELAMA dua jam terakhir Rinjani masih menyimpan pertanyaan besar. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dulu di kelas X G tidak ada yang namanya Elbrus? Apakah dia siswa pindahan?
"Mel, lo tahu cowok itu?" bisik Rinjani ke teman sebangkunya. Imelda Ruth Stevani, cewek yang paling hobi jajan ke kantin. Dia keturunan Australi, rambutnya keriting pirang, matanya hitam kecokelatan.
Melda menilik. Matanya mendapati seorang cowok yang sedang menulis materi biologi. "Itu, kan ... Kak Elbrus, ya?"
"Iya, lo tahu?"
Melda menggigit bibir bawahnya. Ia mengingat-ngingat. "Oh! Dia cowok yang suka telat itu."
"Masa iya?"
"Iya. Bokapnya CEO Cendani Group. Makanya dia bisa bertahan."
"Pak Guntoro?!"
Suara Rinjani terdengar lebih keras. Elbrus sampai menengok ke belakang.
"Ada apa?" tanyanya.
Kaget.
Alis Rinjani naik setengah senti. Dia menelan ludah dengan mata yang sudah terbuka lebar. Cowok yang rambutnya disisir ke belakang itu sempat mendengar nama papanya melayang di udara.
"Hey?!"
"Eng..gak.!"
"Bokap gue kenapa?" tanya Elbrus lagi. Kali ini bernada sedikit kesal. Dia tidak suka ada makhluk yang membicarakan keluarganya. Pernah sekali pak Hambali menghardik dengan menghubung-hubungkan status papanya. Itu yang membuat pak Hambali dipecat dari sekolah.
Rinjani tidak menjawabnya. Elbrus kembali menulis. Dia membuang napas pendek. "Kalau lo mau ngomongin bokap gue, mending sini. Gue ajarin lo sopan santun."
Mendengar itu.
Tidak ada satu siswa pun yang menunduk lagi. Mereka lantas menegakkan kepalanya, mengarah pada Elbrus yang duduk di bangku pojok kiri—baris pertama. Sedangkan cowok itu tetap menulis. Sekiranya dia tidak tahu kalau diperhatikan. 24 siswa termasuk Rinjani dan Melda yang mukanya bersitegang. Rinjani baru saja tahu dia anak orang penting, tetapi yang lain sudah tahu lebih awal. "Mel ...." Rinjani menarik rok Melda setinggi lutut. Dia ketakutan. Bisa saja cowok itu melapor ke papanya lagi.
"Enggak usah bisik-bisik!" ketus Elbrus. Matanya mengerjap ke papan tulis, tapi keheningan itu membuatnya bisa mendengar suara Rinjani yang tidak lebih besar dari desauan AC yang tergantung di dinding.
Rinjani menelan ludah di saat hatinya berdebar-debar. Ketakutan. Bahkan napas yang menghempas melebihi ketegangan batu karang. Apa yang harus dilakukan? Dia bisa dikeluarkan seperti pak Hambali. Gawat!
Wajah siswa yang lain kini bertanya-tanya, Elbrus marah pada siapa? Mereka tidak sempat mendengar suara Rinjani karena saking fokusnya memahami empat struktur protein yang mereka gambar sendiri.
Tak lama.
Elbrus menghentikan pulpennya, dia menaruh pulpen itu sembarang saja. Lantas badannya berdiri naik dan tegak. Beberapa siswa langsung menunduk kembali, seperti kilat yang menyambar buku mereka yang ada gambar ikatan atom seperti ular melilit.
Bulu kuduk Rinjani keteteran. Ia meremang. Napasnya tak lagi beraturan, sudah seperti ban motor melintasi koral. Kentara betul seorang Elbrus akan menuju kemari. Dan benar saja, dia memutar badannya. Tanpa disadari. Rinjani semakin menarik-narik rok Melda. Sedang teman sebangkunya itu mengulur kembali roknya mati-matian.
Langkah pertama cowok itu membuat sentakkan di jantung Rinjani. Degupannya menyerupai beduk lohor—yang baru saja di pukul—di masjid seberang. Langkah kedua membuat peluh kabur dari jangat pelipisnya. Langkah ketiga, Rijani menutup matanya dengan keras. Jika saja daun telinga dapat menguncup, mungkin dia sudah melakukan itu. Beberapa detik setelahnya, sebuah suara terdengar, "Ikut gue."
"Ke mana?" Rinjani bertanya. Nadanya merintih.
Elbrus menurunkan pandangannya. Dia melihat bagaimana cewek ini terpejam ketakutan. Tak lama kepalanya berkeliling, diam-diam siswa di kelas ini tak jauh beda. Alis Elbrus merangkak naik dan keheranan. "Rinjani, buka mata lo. Ini siang, It's no longer time to sleep."
Rinjani menggeleng cepat. Dia menahan napas. Bahkan jika ingin kentut pun pasti dia akan menahannya.
"Dasar ...!" gerutu Elbrus. "Lo ikut gue atau—"
Cukup di kata "Atau" Rinjani memotongnya,
"Gue ikut!"
Kedua katup mata Rinjani lantas terbuka dengan cepat. Dia tidak ingin Elbrus melaporkan kejadian ini ke CEO. Padahal Elbrus mau mengatakan, "Atau gue siram pake air." Dan kedua alis Elbrus mendaki puncak dahi. Dia terkekeh.
"Sini tangan lo!" Elbrus menjulurkan tangannya.
"Buat?"
"Bawel. Cepetan!"