RINJANI buru-buru melangkah pergi setelah bel berdentang pulang. Langkah catwalk cewek ini sekejap mata hilang. Biasanya dia berjalan dengan lenggoknya yang khas, tapi kali ini dia benar-benar lain. Pokoknya hari ini pemotretan majalah Lovita harus terlaksana, tekadnya begitu. Toh, ini adalah kesempatan untuk meraih papan bintang—yang selama ini menjadi mimpi besarnya.
Di gerbang sekolah.
Rinjani merogoh handphone dari tasnya yang berwarna merah, posisinya jongkok menghadap ke tembok gerbang. Dia langsung mengarahkan jari imutnya ke sebuah aplikasi transportasi online. Rinjani belum bisa nyetir sendiri, jadi ya mau enggak mau harus pakai Grepe Car. Dia juga sempat menolak saat papinya mau sewa sopir pribadi. Katanya sih, enggak merasa bebas. Soalnya Rinjani agak risi kalau bikin orang menunggu.
"Ngapain?" desus seorang cowok.
"Sssst ...." Rinjani membalasnya dengan berdesis. "Lo minggir, sono. Nanti gue ketauan lagi!" usirnya dengan menghempas tangan ke belakang. Kepalanya masih menunduk, memperhatikan mobil B 54XX ALB yang menuju kemari.
"Ketauan siapa?" tanya cowok itu.
"Si berengsek. Anak CEO!"
Cowok itu menyentak alisnya. "Gue di belakang lo kali."
Sekarang terdengar nyaring. Cekak hidup gue ... Rinjani memutar badannya. Lagian sih, kenapa harus sembunyi di situ. Coba ke perpus, eh tapi di kunci. Atau enggak sembunyi di belakang sekolah atau bagaimana, cari tempat yang tertutup, pasti enggak bakalan ketemu El.
"Maafin gue, please ... tapi gue harus kerja, enggak bisa nemenin elo." Rinjani memasang wajah sendu.
"Enggak usah ngerengek. Lo kerja di mana?"
"Mau ke studio."
Elbrus mengangguk. "Ya udah, gue anterin. Kan gue sopir elo."
"Gue udah pesen Grepe Car."
"Sini hape lo!"
Rinjani terlonjak.
"Cepet, sini!"
Alhasil, Rinjani memberikan handphonenya. Tangan El langsung mengutak-ngatik layar 6 inci itu. Tak lama, "Nih!" Dia memberikannya lagi. "Lo pulang sama gue."
"Gue udah pesan Grepe Car!" tegas Rinjani.
"Udah gue hapus."
Astaga! Bandel banget, ya jadi cowok! Untung Rinjani masih punya sisa kesabarannya setelah berhadapan dengan pacarnya yang sok sibuk sendiri itu. Rinjani mendengus sebal. Lama-lama gue makan juga!
Cewek itu berjalan ke mobil El. ZPander hitam. Tangan kirinya memasukkan handphone ke kantong hoodie, dan tangan kanannya membuka pintu. "Jangan sampai gue telat," pintanya sebelum masuk.
Elbrus menengok Rinjani yang cemberut. "Iya, masuk cepetan. Tar gue diklaksoni lagi."
Sepengetahuan Rinjani selama di jalan. Elbrus menikmati perjalanannya, dia memutar setir dengan perasaan, kayak lagi pegang sesuatu yang disayanginya. Suasana pun menjadi hangat, malahan Rinjani menjadi enjoy. Apalagi alunan lagu—Waktu Yang Salah—membuat dia berada di suatu tempat. Raganya memang diam. Tapi pikirannya sedang mendayu ke suatu tempat yang nyaman. Kalau saja pekikan klakson tidak menyentak saat lampu berubah hijau. Mungkin dia sudah lelap tertidur.
"Elo, kok bawa mobilnya baper amat?"
Elbrus meliriknya dengan senyuman. Rinjani membalasnya. Fuuuh! Ternyata ada manis-manis juga. "Kalau sayang sama sesuatu, lo harus pake perasaan. Siapa tahu barang mati punya hati."
Rinjani mengangguk-angguk. Dia berpikir, Elbrus kayaknya tipe cowok yang careful. Ya walaupun sama benda mati. Kadang-kadang, cowok dingin kayak dia punya kepekaan terhadap benda di sekitarnya. Tapi sama makhluk hidup, boro-boro. Jangankan sama manusia, kucing mamanya suka ketendang.
"Belok kiri, ya!" tunjuk Rinjani ke pertigaan jalan Simatupang Lingkar Timur. Tepatnya di dekat pom bensin. "Viot Studio, lo bisa lihat pelangnya di kiri."
Elbrus mengangguk sambil mengikuti arahan-arahan Rinjani. Beberapa mobil terlihat memadati pertigaan setelahnya. Mungkin akses masuk ke sebuah komplek.
"Lo mau sampai kapan jadiin gue asisten kayak gini?" tanya Rinjani dengan muka sedikit tegang.
"Selama lo masih betah di sekolah."
Astaga! "Kan gue cuma salah kecil sama elo."
El meliriknya, kemudian dia menunjuk ke depan. "Kalau gue gas mobil ini dikit aja, nabrak mobil di depan enggak?"
Rinjani menurunkan bahunya. "Ya nabrak," jawabnya dongkol.
"Makanya jangan dianggap enteng! Pokoknya gue enggak suka, papa gue disebut-sebut."
"Kenapa sih?!" Rinjani menengok.
"Lo pasti udah denger masalah Pak Hambali, kan?"
Rinjani mengangguk.
"Yang keluarin bukan papa gue. Presiden," jawab El sambil membuang muka ke kanan. Ada mobil yang mau keluar sebelum dia berbelok.
"Ha?!"
"Papa gue cuma CEO. Mana mau ngurus-ngurus kayak begituan. Makanya kalau punya kuping, dengerin yang baik-baik. Ceramah, kek."
Dasar. Kalau dia bukan anak CEO, pasti Rinjani sudah ngejedot kepalanya ke jendela. "Emang presiden Revita kenapa?"
"Enggak papa," dalih Elbrus. Sebenarnya presiden Revita over protektif, atau cari muka, deh. Entahlah, kenapa Elbrus selalu diawasi selama di sekolah. Dia memang siswa VIP kayak si Keenan, anak chairman Kintan itu. Tapi, kan enggak perlu sampai begitu.
SMA Cendani memang diisi anak-anak kelas atas. Anak para CEO, chairman, komisaris, sampai selebritis. Rinjani contohnya, maminya model majalah Feminim, papinya aktor sinema. Melda sendiri anak komisaris SMA Cendani. Tapi dia tidak begitu famous. Kalau El sama si Keen, namanya udah terkenal ke mana-mana. Secara, kebanyakan siswa adalah kaum hawa. Selain itu, Cendani Group dikenal sebagai mega grup perusahaan di kota kapitalis sekelas Jakarta. Dan papinya Keenan adalah chairman Olivia hotel. Bisa dibilang, itu adalah hotel bintang lima.
Elbrus memarkir mobilnya di basemen sebuah bisnis square. Viot Studio, letaknya di lantai tiga. Dari luar, dindingnya adalah kaca memanjang sampai ke pintu masuk dari besi cat putih. Seluruh temboknya juga putih. Terkecuali beberapa ornamen tumbuhan yang menjalar kehijauan.
"Hay!" Deniko, fotografernya melambaikan tangan. Dia sedang memeriksa foto-foto model sebelumnya; Elsa, saingan Rinjani. Cuma dia bukan anak SMA lagi, umurnya 23 tahun. Belakangan ini, Elsa lagi hoki-hokinya dapat jobs. Sementara Rinjani hanya beberapa saja.