PAGI ini begitu aneh. Bola mata Rinjani menangkap El telah duduk—melipat tangan di kap mobilnya—ketika dia membuka tirai jendela kamar. Rinjani sedikit memicingkan matanya, harap betul dia salah lihat. Namun, setelah punggung jari telunjuknya menggesek kelopak yang sendu itu, dia tidak berubah menjadi Pak Dirman, tukang sayur. Atau Mbak Ayu, tukang jamu gendong langganan. Lantas Rinjani memutar bola matanya sambil mencoba mencerna hal yang dilakukan cowok itu. Ini masih pagi! Wekernya saja belum berbunyi. Biasanya ketika pukul 06.25 maka weker itu akan menjerit kalap. Rinjani akan memukul kepalanya sehingga ia tak sadarkan diri, lalu menjerit lagi keesokan hari. Tunggu. Bukankah El selalu terlambat sekolah? Lantas, kenapa dia sudah berdiri di sana?
Ah, Rinjani kliyengan pagi ini. Tampak betul dia memikirkan El yang aneh. Siapa dia? Ya ... memang anaknya CEO Guntoro. Tapi siapa dirinya sendiri—terlepas dari semua itu. Apakah, semacam pangeran? Ah, kalau pangeran tidak akan seaneh itu. Bisa jadi dia semacam ... penderita fugue, oh tidak! Mungkin dia sudah lupa nama dan rumahnya sekarang. But, in the main case; dia masih ingat rumahnya Rinjani.
Cewek itu mengurut dahinya saat menggosok gigi. Dia masih berpikir soal El. Tindakan cowok yang impulsif memang susah ditebak. Selesai menggosok gigi, Rinjani langsung turun ke bawah. Tidak sabaran. Bahkan masih menggunakan baju tidurnya yang berwarna biru telur asin. Mbok Darmi belum bangun. Pak Jarwo selonjoran membaca koran di posnya.
"Nama lo siapa?" tanya Rinjani sedikit berteriak. Kepalanya mendongak setinggi gerbang.
El menengok spontan. Matanya berkerling. Aneh. Kenapa cewek itu tiba-tiba menanyakan namanya. "Lo amnesia?" tanya El curiga.
Rinjani langsung menarik dahinya ke bawah. "L—lo siapa?!" ulangnya sedikit menyentak.
"Elbrus."
Masih ingat. "Rumah lo di mana?"
"Jalan Pekayon, no dua lima"
Rinjani belum puas. "Sekolah lo?"
"Cendani."
"Bok—"
"Aneh." Elbrus membuang mukanya ke depan. Rinjani menggigit jari. Dia tidak mau melepaskan El dari pikirannya. "Lo mending cepetan mandi." El menarik lengan hoodienya yang menutupi jam strap tali. "Nanti gue telat."
Biasanya juga elo telat!
"Tunggu," ketus Rinjani. Dia berlari kecil ke rumahnya, melewati lima anak tangga, berpapasan dengan pohon cemara; pohon palem; dan pot-pot tanaman pakis. Pintunya masih terbuka, kemudian dia menutupnya dari dalam.
Rinjani bergegas mengeluarkan seragamnya; baju putih; dan celana krem. Sesudahnya, dia langsung mandi. Terburu-buru sekali bahkan tidak sempat menggunakan face washnya. Dengan handuk yang masih melingkar di dada, Rinjani meraih hoodie yang tertanggal di samping meja belajar.
Elbrus. Masih di dalam pikirannya. Meski gelagatnya kesibukan tangan ke sana kemari, tapi otaknya masih dapat merekat pemikiran itu. Sesekali dia bergumam, "Jangan-jangan benar, dia punya kelainan. Cowok kayak dia emang aneh."
Selesai mengenakan seragam, Rinjani langsung mengenakan hoodie itu. Di balik hoodie itu tersembunyi badge SMA Cendani di dada seragamnya. Sangat membanggakan mengenakan seragam ini. Siapa yang tidak tahu Cendani? Untuk masuk ke sini, bukan cuma harus kaya. Tapi juga harus pintar.
"Lama banget," komentar El ketika Rinjani melewati gerbang rumahnya.
Cewek itu membusungkan bibir. Tidak bisa lebih ramah lagi, apa? Dasar Elbrus! kutuknya dalam hati.
Rinjani berjalan memutar, dia langsung meraih pintu mobil dan membukanya. Dilihatnya, El sedang mengelap setir dengan sapu tangan. Rinjani tersenyum. Kenapa harus carenya sama benda mati? Kali ini Rinjani menggeleng ganjil sambil masuk ke dalam mobil El.
Rinjani sempat mencuri-curi pandang ke arah Elbrus. Dia masih menyimpan pertanyaan besar yang baru—setelah tahu El anak CEO. Lantas, mengapa dia menjemputnya sebegitu pagi?
Pertanyaannya kali ini belum bisa dijawab. Dia harus bertanya ke Melda. Sambil menunggu lampu merah, Rinjani membuka Wahatsappnya. Beberapa pesan sudah basi, tapi cewek ini tidak bosan-bosannya menyajikan rindu yang baru, meski si Keenan tidak pernah peduli sedikit pun.
Sebuah napas kecewa merangkak keluar dari hidung bulatnya. Keenan sudah benar-benar tega. Bahkan untuk sekedar mengatakan: ok, ya, dan terserah saja tidak bisa. Mungkin orang-orang yang cuma di balas; ok, ya, dan terserah seperti Tedi harus bersyukur, deh.
"Pacar lo?" terka El sambil menengok. Rinjani hanya menunduk cemas. "Kalau dia enggak peduli sama lo, ngapain elo masih peduli?" Pertanyaan El terdengar mengomentari.
Sudah setahun. Rinjani menjalin hubungan dengan Keenan. Apakah cintanya kadaluwarsa? Atau manisnya kebanyakan di awal sehingga ia sepat dikemudian? Seorang Keenan itu kemungkinan tidak jauh beda dari pecundang. Dia hanya menitipkan perasaan lalu pergi tanpa alasan. Menggantung. Meluntang-meluntang cinta yang tersasar itu. Saat Rinjani dekat sama cowok, baru dia datang. Itu pun hanya sekedar menegur, menasihati Rinjani agar tidak dekat dengan cowok lain dan menjaga kesetiaannya.
Setianya tidak diragukan lagi, tapi cinta kini mengambang seperti buih gelembung yang akan pecah. Sekarang ada Elbrus, meskipun sedikit aneh, tapi Rinjani merasa diperhatikan. Dia merasa dekat seorang yang peduli terhadap hal-hal kecil semacam setir yang dilap sapu tangan. Keenan, mana begitu.
"Lo kenapa mau jadi sopir gue?" Rinjani menyelidik dengan tatapan sungkan. Matanya berkerling sedikit, ludahnya terasa kesat. "Lo bisa jadiin gue asisten doang, kenapa lo harus jadi sopir gue segala?" cercanya.
Elbrus menengok lagi, dilihatnya Rinjani tengah menatapnya curiga. "Gue udah bilang, ada hal yang harus dilakukan tanpa alasan. Lo budek, ya?"
"Bohong!" Rinjani menolak mentah-mentah. Suaranya terdengar ketus. "Mana mungkin lo jadi nganterin cewek kalau enggak ada alasan."
"Lo enggak ngerti ya!"
"Lo yang enggak paham!!!"
Alis Elbrus berjinjit seketika Rinjani membentaknya. Dia sedikit menengok. Cewek itu tengah melipat tangannya.
"Lo datang di saat gue butuh seseorang. Lo cuma buat gue baper. Lo aneh! Lo datang pagi-pagi jemput gue sedangkan pacar gue enggak pernah lakuin itu."
El hanya mendengarkan.
"Lo suka telat, kan? Kenapa lo bisa datang pagi?”
Elbrus menghentikan mobilnya di bawah pohon asam. Dia menengok Rinjani dengan tangan bersender di setir. "Keajaiban akan terjadi ketika lo enggak sadar. Kenapa emangnya, salah?"
"Keajaiban?" Rinjani mengernyit. "Lo sebut keajaiban di saat lo bikin orang lain bingung mikirin lo setengah mati??”
"Lo goblok ya!" tandas Rinjani memaki.