GEDUNG itu ditunjuk Rinjani. Itu kantor majalah Lovita, katanya. Entahlah, sudah seminggu menunggu, kontrak mereka belum ada kejelasan. Deniko tidak mempermasalahkannya ketika Rinjani mau berkata jujur tentang kontrak yang belum sempat disepakati. Beberapa foto juga sudah dikirimkan sejauh ini, tetapi belum ada satu pun yang dimuat.
Rinjani sempat terpukul. Betapa tidak? Hanya majalah Lovita yang mampu membangkitkan semangatnya, dan kini menjungkir balikan keadaan. Mungkin Elbrus benar. Sebaiknya tidak terburu-buru mengambil keputusan sendiri. Tetapi semua sudah terjadi tanpa bisa mengelak lagi.
Rinjani, El dan Deniko masuk ke gedung kubus itu. Nama Lovita terpangpang jelas berwarna merah jambu. Beberapa model terlihat gagah dan molek, Rinjani sempat merasa ciut dengan tampang mereka.
Di ruangan Pak Nugroho, mereka bertiga menunggu direksi yang katanya lagi makan siang itu. Ruangannya terkesan antik dengan ornamen klasik seperti guci setinggi perut, lukisan-lukisan nuansa Perancis, dan beberapa benda yang sekiranya tidak diproduksi lagi.
Setengah jam menunggu. Pak Nugroho menyalami mereka. Lelaki bertubuh gendut itu lantas duduk di menghadap mereka bertiga.
"Foto-foto Mbak Rinjani sudah kami terima. Tapi ... saya lupa mengatakan itu untuk portofolio saja."
Rinjani mengangguk tidak percaya diri. El dan Deniko mendengarkan.
"Untuk dimuat di majalah Lovita, kami selalu menggunakan studio kantor. Jadi, Mbak Rinjani bisa kembali lagi besok untuk tanda tangan kontrak. Setelahnya bisa bergabung dengan studio kami."
"Maksud Pak Nugroho, saya tidak bisa mengambil foto dari Viot Studio?" Rinjani bertanya sinis.
"Ya," Pak Nugroho mengangguk pasti, "kita harus mempertahankan kualitas foto yang diambil. Dan ..."
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa." Rinjani memotong dan berkata lantang. Deniko spontan menengok ke arahnya.
"Rin! Lo harus ikuti prosedur, ini kesempatan!" desus Deniko.
"Enggak bisa, Den. Tanpa Viot, gue bukan apa-apa."
Mendengar desas-desus mereka, Pak Nugroho merasa risi. "Kalau begitu, saya tinggalkan dulu. Saya akan kembali dalam sepuluh menit lagi," katanya memberikan senyuman.
Pak Nugroho berjalan keluar lalu menutup pintu dengan rapat. Deniko mengambil alih sofa yang tadi di duduki Pak Nugroho. Dia langsung menghadap Rinjani yang memasang wajah betenya.
"Rin, Viot itu ibarat jalan, tujuan lo tuh di sini. Gue udah berhasil bawa lo ke tujuan utama." Deniko membuka suara. "Dan itu membanggakan, Rin."
"Enggak mau!" ketus Rinjani. Bagi dia Viot adalah rumah, dia enggak peduli lagi sama mimpi. Karena mimpi enggak abadi. Mimpi membawa sial, mimpi cuma bisa menyakiti doang.
"Jangan menyiakan-nyiakan kesempatan, Rin. Meskipun lo bukan di Viot lagi, gue tetep bangga, kok."
"Viot yang bawa gue ke sini. Tanpa Viot gue enggak mau ada di sini. Kita udah susah bareng, Den. Gue enggak mau seneng sendiri." Nada mencemaskan terdengar dari bibir Rinjani yang layu.
Deniko tersentuh. Tapi Rinjani berhak mendapatkan kesempatan ini. "Kata orang, lo harus lakuin yang belum pernah lo lakuin untuk dapetin apa yang lo belum dapetin. Gue enggak keberatan lo keluar dari Viot, dan Mbak Rara juga pasti begitu, Rin."
Rinjani menarik napas kuat-kuat. Pikirannya sangat kalut. "Gue lebih senang ngelakuin apa yang sering gue lakuin. Pokoknya gue enggak mau ninggalin Viot."
Ibarat kisah Radha dalam Little Krishna yang menanam mutiara tumbuh rumput berduri. Alangkah menyakitkannya hati Rinjani sekarang ini. Bukankah sudah banyak susu yang manis nan suci itu ia siramkan? Mengapa mutiara yang dikorbankannya hanya menjadi belukar?
Mata Rinjani berkaca-kaca, Elbrus menyadari Rinjani sedang menahan tangis dan kekecewaan. Tentu saja kecewa, karena El sendiri yang mengantarkan Rinjani setiap hari photoshoot untuk majalah Lovita. Tapi akhirnya hanya berujung nestapa seperti ini.
"Gue permisi," ujar Rinjani sambil memalingkan wajah. Tangannya menyembunyikan air mata yang meloloskan diri. Tak lama ia melangkah keluar, masuk ke dalam mobil dan menyendiri.
Elbrus dan Deniko menyusul Rinjani setelah berbincang mengenai Rinjani. Tidak ada jalan lain. Majalah Lovita hanya menginginkan Rinjani, bukan Viot Studio.
"Kami sangat menyesal tidak bisa memenuhi itu, Pak Deniko."
Ucapan tragis Pak Nugroho itu, sekiranya cukup menjadi pertanda akhir perjuangan Rinjani. Karena sejak hari itu, Rinjani mengurung diri di dalam rumahnya.
***
"Seandainya ada dia." Rinjani bergumam sambil meletakan kembali guci yang dipegangnya.
Berbeda dari biasanya. Selepas pulang sekolah, El hanya mengantarkannya ke rumah. Cowok itu hanya membagi senyum di balik jendela mobilnya, kenapa dia tidak mau menerima tawaran Rinjani untuk singgah?
"Gue ada urusan, lo jangan telat makan!"
Hanya ucapan setengah berteriak itulah yang menemani langkah Rinjani masuk ke dalam rumahnya. Dia sempat membagi senyum yang dipaksakan ke Pak Jarwo, sempat juga menyapa Mbok Darmi yang menatapnya khawatir. Hingga akhirnya mengurung diri dan enggan keluar lagi.
"Kenapa, Rin?" Maminya melihat Rinjani tengah menatap kosong ke arah jendela. Perempuan yang menenteng high hells itu tampaknya akan pergi photoshoot sore ini.
Rinjani menengok. Dia memalsukan senyum. "Rinjani enggak papa, Mi." Kali ini dia mengusap satu tangannya yang melipat seolah kedinginan. Padahal sweet t-shirt rajut itu begitu terasa hangat. "Mami mau ke mana?" tanya Rinjani sambil berjalan mendekat.
"Mami ada photoshoot di Bandung. Tiga malam. Rinjani mau ikut?" tawar Mami menoleh Rinjani yang kini duduk di sampingnya.
Rinjani membusungkan bibirnya. Matanya berubah sayu
"Enggak, Mi." Kini dia tersenyum lebar sambil menatap Maminya. "Nitip dodol bisa enggak, Mi?"
Maminya membalas senyum. "Bisa, mau dodol apa?"
"Dodol garut!" Rinjani memeluk Maminya. Wajah riangnya kembali bersinar. Entahlah, berada di pelukan seorang ibu terkadang membuat hatinya tenang.
Mami mencubit hidung Rinjani yang menggemaskan itu. "Lucu! Anak Mami sudah punya pacar belum?"
Tersipu malu anak ini. Kedua pipinya berbola merah padam, bibirnya bergetar menahan senyum. Maminya terbahak. "Siapa nama pacarmu?"
Rinjani menggeleng malu. Mami terkekeh.
***
Tidak biasanya Elbrus memasuki ruangan itu. Seorang staf baru saja memberitahu El kalau Papanya mengizinkan masuk. Ketika di dalam, Guntoro mempersilahkan El duduk di sofa yang melingkar.
"Tumben, ada apa, El?" tanya Papanya tanpa basa-basi.
"El butuh bantuan Papa." jawab El. Nadanya terdengar melemah.