TANGAN Rinjani membuka sebuah map yang dikemas sedemikian rupa indahnya. Segelnya berwarna keemasan, mapnya cokelat dengan bunga rajut yang merekat. Emblem Feminin terdapat di lidah map itu. Dibalik tangannya yang kesibukan, hatinya tengah berdebar-debar. Sungguh! Dia tidak menyangka jika Feminin akan merekrutnya sebagai model. Terlebih, lihat semua ini! Viot studio kini telah resmi menjadi studio mereka.
RINJANI
Nama itu tersurat dalam selebaran yang kini dipegangnya. Mata Rinjani terbuka lebar, alisnya naik bersitegang. Ini tidak mimpi, kan? tanyanya ke Elbrus.
"Enggak," jawab El. "Coba lo tampar pipi lo."
Rinjani langsung berteriak, dia bersorak lalu memeluk El. Memeluk? Jantung El berdegup seketika Rinjani melakukan itu. Matanya membalak ke arah stan. Deniko terlihat bengong. Tak lama Rinjani menengadah ke wajah El, wajah riang Rinjani begitu menggemaskan. "Kalau dipeluk bales dong," pintanya bernada manja.
El memberikan senyum tipis. Baru kali ini dia dipeluk seorang cewek. Gosipnya, El adalah player, tapi itu hanya gosip. Ada alumni yang naksir El, caranya licik. Dia mengobral omong kosong ke setiap kelas supaya cewek lain takut mendekati El. Akhirnya gosip itu sampai ke telinga Melda. Dia sempat memberitahu Rinjani. Tapi cewek itu enggak peduli.
Tangan El memeluk Rinjani dengan ragu. Wajar, baru kali ini dia memeluk seorang cewek. Rasanya seperti ada perasaan yang menggebu. Entahlah, seperti ada hasrat untuk tidak melepaskan. Dunia benar-benar terasa senyap, dan mungkin sekarang sudah milik mereka berdua.
Rinjani mengaitkan tangannya ke pundak El, kepalanya menyusup di dada cowok itu. Bukan main. Wajah El memerah padam. Sedikit tersipu karena ada Deniko di ruangan ini.
"Customer baru?" Elsa keluar dari ruang make up.
Rinjani menoleh, dia memutar tubuh, sementara satu tangannya melingkar di pinggang El. "Maksud lo, apa?"
"Ya kali bisa jadi model Feminim." Elsa mendengus. "Palingan ngamar dulu."
"Heh!" Rinjani membentak. "Lo kalau ngomong ngasal banget, sih!"
Elsa tertawa puas. Dia berjalan ke arah Rinjani lalu mencolek dagu El. Matanya mencoba menggoda.
Plak!!
Tangan El tidak sungkan bertamu di wajah Elsa. Wajah Elsa terkilir ke kiri. Dia memegangi pipinya yang terasa panas. Sementara Rinjani terperangah.
"Oke!" Elsa mengangguk marah. "Liat aja, suatu saat lo bakalan nyesel!" tunjuknya.
"Gue tunggu," kata El sedikit bergumam.
Deniko menghampiri Elsa, dia memboyongnya ke sofa. Fotografer itu tidak berkomentar sedikit pun. Lagi pula, dia juga masih sedikit kesal.
"Ikut gue." Rinjani menarik tangan El.
***
Rinjani menarik El sampai ke parkiran. "Bawa gue ke tempat yang lo suka."
El mengernyit heran. "Lo mau apa?"
Rinjani tidak menjawab. Dia berjalan ke arah pintu penumpang lalu masuk ke dalam mobilnya. Perasaan Rinjani tidak karuan. Dia merasa keki sekaligus merasakan perasaan-perasaan yang lain. Mulut Elsa memang tidak berakhlak, seenaknya saja bicara tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Dia tahu, Elsa cuma iri.
Elbrus membuka pintu pengemudi lalu keluar dari basemen. Dia memutar setir keluar lalu melajukan mobil di jalan raya. Entah, ke mana mobil ini akan melaju.
"Gue heran, kenapa model kayak dia masih dipelihara si Deniko. Padahal, kan cuma ribetin doang. Emang sih jobsnya banyak. Tapi enggak tau diri." Rinjani mengoceh selama di jalan.
"Enggak usah ngaledin yang benci lo, yang ada nanti lo enggak fokus sama karier. Terus malah ikut-ikutan kayak dia." El membalas sambil beberapa kali menolehnya.
Rinjani menarik napas. Dia mencoba menenangkan dirinya. "Eh, lo bawa gue ke mana?" tanyanya setelah menyadari Elbrus melewati beberapa tempat seperti Monas, Kota Tua, dan taman di Jakarta Pusat. Ya, mereka sampai melayap ke Jakarta Pusat.
"Enggak tau, gue cuma nyetirin lo aja."
Rinjani mendengus. "Dasar, lo itu emang aneh."
Elbrus meliriknya sebelum memutar balik. Dia bersinggah ke SPBU di seberang jembatan, sebelum kembali ke Jakarta Selatan. Langit sore mulai menampakkan diri, semburat jingga mengendar di setiap celah awan kehitaman. El melajukan mobilnya setelah mengisi penuh dengan oktan 92.
Perjalanan mereka terhenti ketika melihat beberapa pedagang dengan gerobak menjalar di sepanjang jalan Kebayoran Baru. Bakso Malang Cak Kumis, tulisan di kaca gerobak itu membuat Rinjani tertarik.
"Sate Madura, kan abangnya punya kumis, El." Rinjani mengatakan itu sambil cekikikan.
Mereka duduk di salah satu meja, bangku plastik khas kaki lima rasanya empuk. Entahlah, duduk di pinggir jalan dengan pemandangan setelah magrib membuat suasana berbeda. Mungkin seperti merasakan buka puasa di jalan. Dulu Valentin Hens sering berhenti di jalan untuk buka puasa, Rinjani selalu ikut maminya kerja—ketika dia masih duduk di bangku SD.
Jalanan dipenuhi kerlap-kerlip mobil yang melintas, besi-besi itu merangkak menuju tempat persinggahan mereka. Pulang kerja, disambut keluarga lalu menikmati makan malam bersama. Rinjani sudah lama tidak menikmati itu semua, papinya semakin sibuk menggarap film-film baru, maminya semakin sibuk memenuhi jobs yang membeludak.