Malam di desa Eilra tak lagi gelap gulita. Lampu-lampu buatan Kaito menyala di setiap sudut jalan, menggantikan lentera minyak yang dulunya jadi simbol sakral malam.
Anak-anak berlarian di bawah sinar lampu. Para petani mulai memanen lebih malam. Bahkan pengrajin mulai memperpanjang jam kerja mereka.
Namun, tak semua menyambut cahaya itu dengan suka cita.
Malam itu, langit menjadi lebih kelam dari biasanya. Angin membawa bisikan yang terdengar seperti nyanyian tua dalam bahasa roh.
“Kau dengar itu, Kaito?” tanya Aria dengan napas tertahan.
Kaito mengangguk, matanya menatap ke arah hutan barat. Cahaya lampu bergoyang meski tidak ada angin kencang.
“Energi listrikku... terganggu.” Ia menyentuh salah satu lampu. Nyala filamen meredup sendiri, lalu padam.
Dan dari kabut malam, muncul sesosok tinggi besar dengan tubuh setengah transparan, matanya menyala biru.
“Kalian... telah membangunkan tidurku...” suara perempuan yang agak berat itu menggema, membuat tanah bergetar.
“Itu... roh pelindung hutan,” bisik Aria.
Roh itu berjalan perlahan ke tengah desa. Hewan-hewan melarikan diri, dan bahkan pepohonan membungkuk seperti menghindar dari kehadirannya.
“Kembalikan gelap... Kalian telah melanggar Perjanjian Tua...” ucapnya.
Kaito berdiri di hadapan roh tersebut. “Tunggu! Kami tidak bermaksud mengganggumu. Kami hanya... ingin hidup lebih baik.”
Roh itu menunjuk ke arah salah satu lampu. “Cahaya ini... menembus tabir malam. Tidur para roh jadi gelisah. Keseimbangan terganggu.”
“Keseimbanganmu membuat anak-anak terjatuh di jalan karena tak melihat lubang. Keseimbanganmu menyembunyikan bandit dari mata penjaga,” jawab Kaito.
Elder Fael melangkah ke depan. “Kaito, jangan memancing kemarahan—”
“Tidak,” potong Kaito. “Aku akan bicara.”
Ia melangkah lebih dekat, menatap roh pelindung itu.
“Kau melindungi desa ini, bukan?”
Roh itu mengangguk perlahan. “Sejak ribuan tahun... sebelum manusia mengenal roti...”
“Maka lindungi kami dari kegelapan. Bukan dari cahaya.”