Setelah malam panjang di Perpustakaan Agung, Kaito terbangun dengan kepala penuh pertanyaan. Pagi di Svara Arx masih berkabut, seolah kota ini enggan menunjukkan wajah aslinya.
Ia duduk di beranda penginapan, menatap jalanan yang mulai ramai. Pikiran tentang Ryouma dan Takane masih membekas.
Dua saudara dari Jepang. Dua ideologi. Dua warisan yang terpecah. Seperti dunia lamanya, namun dengan warna yang lebih mistis.
“Kalau mereka dari Jepang, seperti aku... apakah aku akan mengulang kesalahan yang sama?” gumamnya.
Suara ketukan pelan mengganggu lamunannya. Seorang pembawa pesan dari dewan kota menyampaikan surat undangan.
“Raiko Kaito, Anda diundang untuk menghadiri diskusi teknologi dan kebijakan publik di ruang pertemuan zona pemerintahan.”
Kaito membaca isi surat itu. Pertemuan membahas penerapan teknologi modern untuk mendukung stabilitas politik kawasan utara.
Ia mengenakan jaket ringan dan membawa sketsa prototipe sistem komunikasi pendek berbasis kristal—konsep yang ia pelajari dari dunia lamanya.
Di gedung pemerintah, ruang pertemuan dipenuhi bangsawan, ilmuwan, dan pengamat politik.
Di sisi ruangan berdiri Elgareth, adik Kelinthra, mencatat jalannya pertemuan.
“Tuan-Kaito, Anda mewakili teknologi independen yang berkembang di luar struktur formal. Bagaimana Anda melihat peran inovasi dalam menjaga stabilitas politik?” tanya seorang bangsawan tua.
“Teknologi bisa memperkuat komunikasi dan distribusi sumber daya. Tapi jika hanya digunakan oleh elit, ia bisa memperdalam ketimpangan,” jawab Kaito.
Beberapa hadirin mengangguk, lainnya saling berbisik.
“Apakah Anda menyarankan agar inovasi disebar ke publik tanpa pengawasan?” tanya seorang jenderal dari Selatan yang menjadi tamu rahasia.
“Saya menyarankan agar publik dilibatkan. Masyarakat yang melek teknologi akan lebih siap menghadapi tantangan,” jawab Kaito mantap.
Seusai diskusi, Kaito disambangi oleh seorang pria tua berjubah abu-abu dengan tongkat dari kayu hitam.
“Namaku Vargan. Aku dulu penasihat Raja Selatan. Sekarang aku lebih suka disebut pengamat kehancuran,” ujarnya.
Vargan mengajak Kaito ke sebuah kedai teh kecil di balik gedung tua. Di sana, percakapan filosofis pun dimulai.
“Kau tahu kenapa kedua bersaudara itu gagal menjaga perdamaian?”
Kaito menggeleng.
“Karena mereka percaya bahwa ideologi bisa menggantikan kepercayaan dan dialog. Tapi manusia bukan mesin. Mereka punya emosi, warisan, dan ketakutan.”