Angin gurun menderu kencang ketika rombongan Kaito, Aria, Thane, dan Sofia akhirnya sampai di hadapan sebuah kubah raksasa berkilauan.
Kubah itu memantulkan cahaya keemasan dari matahari sore, seolah-olah menahan badai pasir yang ganas di luar.
"Itu dia, ibukota wilayah penyihir," ucap Utusan sambil menunjuk. "Namanya Altheris Domum."
Kota itu berdiri di pinggir gurun, dengan tembok tinggi dan ratusan menara sihir yang menjulang, seolah-olah menyanyikan mantra abadi.
Aria menatap takjub, namun wajahnya menyiratkan keraguan. "Apakah… aku benar-benar pantas kembali ke tempat ini?"
Kaito menepuk pundaknya lembut. "Kau tidak kembali sebagai orang buangan. Kau kembali sebagai dirimu sendiri."
Begitu mereka melewati gerbang, suasana kota langsung terasa unik—penyihir dengan jubah panjang berjalan berdampingan dengan manusia setengah hewan.
Akan tetapi, raut wajah curiga dan tatapan merendahkan terlihat jelas dari sebagian besar penyihir terhadap tetangga mereka yang setengah hewan.
Seekor manusia setengah serigala yang menjual rempah di pasar ditolak mentah-mentah oleh pembeli penyihir, meskipun dagangannya jelas berkualitas.
Thane berbisik kepada Kaito, "Diskriminasi di sini lebih kental dari yang kuduga."
Kaito hanya mengangguk, matanya meneliti keadaan. “Perbedaan sering menjadi bahan bakar konflik. Kita harus berhati-hati.”
Mereka menapaki jalan besar menuju pusat kota, tempat sebuah bangunan megah berdiri—Akademi Agung Sihir Altheris.
Menara-menara putih dengan puncak biru berkilau, dikelilingi taman luas yang dijaga patung-patung golem batu.
"Di sinilah tempatku dulu…" Aria bergumam, matanya sayu mengenang masa lalunya.
Utusan yang bersama mereka memberi tahu kepada penjaga akademi untuk memberi hormat kepada rombongan itu, lalu mempersilakan mereka masuk.
Di aula utama, berdiri seorang pria tua dengan janggut panjang berwarna perak, mengenakan jubah hitam bertabur emas.
“Selamat datang di Altheris Domum,” ucapnya lantang. “Aku Eldric Veynar, kepala sekolah sekaligus raja penyihir.”
Aria menunduk dalam, jantungnya berdegup kencang.
Eldric menatap Kaito, lalu Aria. “Jadi, kau berhasil kembali, anakku.”
Kaito maju selangkah. “Yang Mulia, saat bersama saya, Aria tak pernah kehilangan kendali. Ia aman.”