Hujan.
Bandung dan hujan katanya menjadi perpaduan syahdu bagi jiwa-jiwa yang butuh menghirup ketenangan. Udara dinginnya mampu membersihkan paru-paru yang sudah lama terasa sesak entah karena menghirup banyaknya udara kotor dari pesatnya perkembangan transportasi dan industri, atau sesak karena menahan tekanan hidup yang dijejalkan semesta dengan tega.
Rainer Sadhana berdiri di depan sebuah bangunan khas belanda dengan kedua tangan yang menggenggam koper-koper besarnya. Buku jarinya mulai memutih karena hujan, namun dia hanya berdiri disana dengan tatapan kosong membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuhnya.
Beberapa kendaraan bermotor yang lewat sempat menatap dengan aneh. Bahkan ada yang sempat berhenti untuk memastikan bahwa dia tidak gila berdiri di tengah hujan sendirian. Sudah jelas kehujanan, namun hanya mematung yang bisa dilakukan. Dirinya masih merasa ragu untuk menjejakkan langkah masuk ke dalam, karena sampai saat ini dia masih merasa seluruh jiwanya berada di Jepang.
Dia sudah memutuskan untuk meninggalkan segalanya disana, mengambil keputusan paling pengecut dengan terbang ke Indonesia, memilih Bandung untuk tempatnya singgah. Ah.... apa lebih tepat jika disebut melarikan diri? Benaknya masih bertanya-tanya mencari kebenaran akan keputusan yang sudah terlanjur itu.
Tanpa disadarinya seseorang telah berdiri tepat di belakang, tidak bisa masuk karena sosok pria tinggi itu mengahalangi jalannya.
"Lo tahu enggak kalau kata Oma gue orang bengong bisa kesambet?"
Rainer menoleh, mendapati sosok wanita yang berdiri disana dengan payung di tangan kanannya dan sekantung keresek berisi sayuran di tangan kirinya. Raut wajahnya sudah pucat kedinginan menunggu Rainer untuk merespon.
"Sorry ini mah gue mau nanya, Aa nya emang mau berdiri sampe kapan? soalnya gue mau lewat jadi nggak bisa." Tanpa basa-basi wanita itu menyuruhnya untuk menyingkir. Pasalnya, dia sudah ingin segera masuk ke dalam karena tubuh mungilnya mulai kedinginan, apalagi sandal karet sejuta umatnya sudah mulai terendam genangan air.
Rainer mengerejap lantas segera menggeser badannya untuk memberikan akses wanita itu masuk. Masih dengan tatapan kosong tanpa sepatah katapun hingga wanita itu melewati dirinya.
Di ambang pintu wanita tadi menghentikan langkahnya, menoleh kearah Rainer seperti baru menyadari sesuatu. "Eh, Aa nya penghuni baru ya? kenapa nggak masuk? sini...sini...." Lantas berjalan kearah Rainer kecil berusaha berbagi payung dengannya, walaupun dia tahu itu adalah hal yang sia-sia. Payung kecilnya tidak muat untuk dua orang, dan sekujur tubuh Rainer sudah basah dengan air hujan.
"Ayok Aa cepetan masuk!" Titahnya kala Rainer justru masih terdiam mematung disana, merasa sedikit terkejut kala wanita tadi malah memayungi dirinya dan tidak perduli jika tubuhnya ikut kebasahan.
Dengan cekatan lantas Rainer mengikuti langkah wanita itu sambil menggeret kopernya, tidak perduli koper itu akan rusak.
"Lo tunggu disini ya, gue bilang Oma gue dulu kalau penghuni baru udah dateng."
Untuk kemudian dia pergi meninggalkan Rainer di ruangan yang mirip seperti ruang tamu. Bajunya sudah basah hingga airnya menetes ke lantai, membuatnya mengurungkan niat masuk lebih dalam.
Tak hentinya kedua manik itu menjelajahi interior dan barang-barang antik yang masih apik terpatri pada tempatnya masing-masing. Seperti masuk kedalam sebuah rumah tahun 70an, bau-bau kayu manis menusuk penciuman kala dia masuk kedalam.
Kost itu memang tadinya sebuah rumah tinggal yang masih mempertahankan bangunan aslinya, memiliki hampir enam kamar yang kemudian diputuskan untuk disewakan saja oleh sang pemilik.
Tidak bisa ditampik bahwa dari luar memang terlihat sedikit tua dan agak menyeramkan, tidak ada yang menyangka jika bangunan itu adalah sebuah kost-kostan. Setelah melihat kedalam Rainer bisa melihat bagaimana kenyamanan sebuah rumah berusaha dibangun, dari mulai pemilihan furniture dan tata letak hiasan-hiasan yang dapat membuat siapa saja yang datang merasa seperti berada di rumah.
"Ini Aa yang kemarin telepon mau sewa kost ya? kenapa basah kuyup gitu? sini masuk pasti dingin banget itu mah." Suara hangat menyambutnya dengan logat khas sunda, seorang wanita paruh baya dengan kacamata bertengger di hidungnya menyapa Rainer ramah.
"Iya betul." Ucap Rainer menjawab pertanyaan sang nenek tua yang menghampirinya.
"Wah lo bisa ngomong ternyata? gue kira lo bisu...." Wanita yang tadi menyapanya di gerbang masuk spontan menimpali kala Rainer buka suara. Pasalnya sedari tadi dia bertanya, Rainer hanya menjawab dengan tatapan dingin.
Nenek pemilik kost itu menatap galak cucu kesayangannya dengan satu cubitan kecil pada lengannya.
"Jia kebiasaan mulutnya gak boleh kayak gitu sama tamu."
"Iyaaaaa... maaf ya." Jia mengalah sebelum sang nenek melempar rentetan petuah. Lantas menatap Rainer merasa bersalah, yang lagi-lagi hanya dibalas dengan satu lirikan singkat oleh pria itu.
"Oh iya nek, saya Rainer Sadhana." Sambil mengulurkan tangan yang sudah memutih pucat terkena air hujan.
Benak Jia jadi bertanya-tanya. Sudah berapa lama sih pria itu berdiri ditengah guyuran hujan sampai buku jarinya pucat dan keriput?
"Panggil Oma aja ya? semua penghuni disini panggilnya Oma juga soalnya. Sini Oma anter kamu ke kamar."
Jianira tanpa harus diperintah menghampiri Rainer bermaksud untuk membantu pria itu mendorong kopernya, sudah seperti rutinitas saat ada yang masuk kost, Jia memiliki tugas untuk membantu membawa barang-barang mereka. Untunglah Jia bisa mengucap Alhamdulillah kala kamar Rainer berada di lantai satu dekat dengan pintu ke kolam renang dan taman.
"Enggak perlu, biar gue aja" Rainer menarik koper dari tangan Jia. Rainer tentu tidak sampai hati melihat wanita ukuran pocket size di depannya menarik koper yang besar.
Jia tersenyum saat beban itu lepas. Rainer cuku gentleman juga, pikirnya.
"Gue enggak suka juga orang lain nyentuh barang gue." Yang kemudian membuat senyum di wajah Jia hilang.
Dilihat dari manapun memang dari awal tidak ada keramah tamahan dari raut wajah Rainer, hanya saat dia berbicara dengan Oma senyum itu sekilas terlihat. Walau wajah Jia tidak sengahat Oma, Jia cukup yakin sedari tadi dia berusaha bersikap ramah dan hangat pada penyewa yang satu itu. Mungkin senyumnya membeku bersama dinginnya udara Bandung yang diterpa hujan.
Sebuah kamar di dekat pintu kearah taman dan kolam renang terpampang dihadapan Rainer. Hanya ada kasur yang sudah diganti sprei baru dan sebuah lemari baju kayu. Kamarnya cukup besar, ada satu AC untuk dinyalakan saat cuaca panas, satu kamar mandi dalam, dan selebihnya kosong.
"Kamu nanti tidurnya disini ya Rain, kalau mau makan atau masak dapur nya ada disana, boleh bawa tamu tapi jangan lebih dari jam 10 malem, jangan lupa AC nya dimatiin kalau pergi-pergi..." Oma menjelaskan beberapa detail peraturan khas pemilik kost kepada penyewa nya, tentu saja dengan nada ramah agar sang penyewa merasa dirumah.
Sepanjang itu Rainer hanya mengangguk, berusaha menahan diri untuk segera pergi ke kamar mandi membasuh badannya yang nampak sudah menggigil. Siapa bilang Bandung dan hujan adalah perpaduan menenangkan? buktinya dia malah kedinginan.
"Oh iya kalau mau makan mie ada dilemari bawah ya, tapi jangan yang rasa ayam bawang, itu punya gue! kalau lo mau sih beli sendiri, tapi warungnya jauh." Jia menambahkan peringatan, berusaha melindungi mie ayam bawangnya yang kerap kali dihabiskan oleh penghuni kost yang lain.