ELEGI

Herabubbles
Chapter #2

CUANKI SERAYU

Jianira Prameswari memang dikenal sebagai everyone's darling. Tidak heran baik di kampus atau bahkan di kost semua orang mengandalkan Jia.

Si penyabar yang selalu jadi kambing hitam untuk disalahkan Oma saat panci bekas pakai tidak dicuci kembali, padahal Radeva yang terakhir memakainya.

Si yang paling bisa diandalkan untuk mencari barang hilang di kost, atau mengambil pesanan gofood milik Dila kala temannya itu sedang malas bergerak, bahkan selalu dititipi untuk masak mie instan saat malam hari.

Si kesayangan Oma yang walaupun tingkahnya bikin darah tinggi Oma kambuh, namun selalu berhasil membuat setiap orang tertawa karena tingkah ada-ada saja nya.

Wanita yang akan selalu mengulurkan tangannya untuk orang lain tanpa perlu diminta.

"JIA!!!!" Sebuah teriakan memecah keheningan minggu pagi di kostan Oma yang beberapa hari ini terlihat tenang. Kenapa pula saat Jia masih asik bermimpi tentang idol kpopnya. Siapa yang berani-beraninya mengganggu Jia dengan mimpi indahnya? meneriakkan namanya begitu kencang hingga membuat sang pemilik nama terperanjat kaget di tempat tidurnya.

Rainer Sadhana.

Buru-buru Jia membuka matanya, mengumpulkan jiwanya untuk kemudian bangun dan berjalan gontai ke arah sumber suara. Mengetuk pintu itu kencang dengan rentetan pertanyaan kenapa.

"Lo tahu enggak ini minggu pagi? lo tahu gue tadi lagi ketemu BTS dan hampir photo bareng terus enggak jadi?" Cerca nya yang masih merasa tidak terima harus dipisahkan oleh nyata saat sang idola terasa dekat dengannya. Semua gara-gara pria yang kini segera bersembunyi di belakang punggungnya menunjuk ke arah sudut kamar.

Nafas Rainer berderu di belakangnya, masih dengan tangannya yang menunjuk ke arah depan seolah melihat hal paling mengerikan. "Ji, tolong gue usir itu kucing!" Untuk kemudian menyadarkan Jia yang sedang mengumpulkan nyawa tersadar dengan tawa.

"Lo enggak lagi bilang kalau lo takut kucing kan?" Jia berjalan ke arah kucing berwarna oranye yang tengah menjilati kakinya merasa tidak berdosa. Lantas menggendong kucing tersebut ke pangkuannya dengan gemas sembari mencium bulunya berkali-kali.

"Kenalin ini Oyen, kucing gue hadiah dari Oma." Jia sengaja, menyodorkan kucing dari pangkuannya untuk melihat reaksi Rainer yang terperanjat kaget semakin menjauh.

Sekali lagi tawa Jia pecah, menilik reaksi Rainer yang ketakutan. Wajah dingin Rainer yang selalu Jia lihat kini menghilang digantikan dengan ekspresi ketakutan.

"Jangan deket-deket!" Pintanya frustasi, berusaha mencari empati agar Jia tidak membawa kucing dipangkuannya semakin mendekat.

Jia membawa kucing itu keluar. "Maafin Oyen ya kak, masuk sembarangan nggak permisi." Ucap Jia melambaikan kaki kucing tersebut untuk mengisaratkan permintaan maaf.

Rainer menelan ludahnya berkali-kali. Apa yang ditakutkannya terjadi, mendadak dia bersin tak henti, mengusap hidungnya berkali-kali yang mulai terasa gatal.

Jia mengembalikan kucing itu ke kandanganya, memberinya makan sebelum meninggalkannya untuk mendatangi Rainer yang terduduk di sofa mengusap hidungnya.

"Hidung lo kenapa merah banget kayak Rudolf (Rusa Santa Caluse)?" Tilik Jia melihat Rainer yang mengusap hidungnya berkali-kali dengan wajah yang mulai memerah.

"Anterin gue ke dokter." Pinta Rainer frustasi, hidungnya semakin gatal, jika dibiarkan dia akan tersiksa seharian. "Gue alergi sama bulu kucing."

Jia menggigit bibirnya merasa bersalah, dia sama sekali tidak tahu bahwa Rainer ternyata alergi kucing. Dia hanya berpikir pria itu takut pada kucing tanpa sebab.

"Ma-maaf.." Katanya terbata.

**

Jam sembilan Jia telah siap untuk mengantar Rainer ke dokter sebagai pertanggung jawaban atas perbuatannya tadi pagi. Ralat, perbuatan kucingnya tadi pagi.

"Ini lo kalau belok kanan pake sen kiri nggak?" Agaknya merasa sedikit khawatir kala Jia mengeluarkan motornya dari garasi. Ini kali pertamanya dibonceng seorang wanita, karena faktanya Rainer tidak pernah bisa naik motor.

Jia mendengus sembari memakai helmnya. "Gue udah lulus tes SIM di percobaan ke sepuluh." Pungkasnya membuat Rainer makin melongo.

"Lo nggak akan ngomelin orang di jalan kan? nggak akan nyenggol spion mobil orang kan?" Rainer sedikit skeptis. Merasa bahwa lebih baik dia naik ojek online saja.

Namun Jia memaksa mereka akan menggunakan motor Jia saja. Selain hemat, takut-takut klinik terdekatnya tutup praktek dia bisa langsung mengantar Rainer mencari klinik lain.

Jia menoleh ke arah Rainer yang masih enggan memakai helmnya. "Lo tahu nggak kalau Jorge Lorenzo itu bakatnya ada dari keturunan keluarga gue?" Saatnya mengeluarkan senjata andalan Jia.

Rainer menimbang muka Jia yang terlihat serius untuk dikatakan bercanda. "Terus apa hubungannya sama lo bawa motor?"

"Gue ini punya darah pembalap tahu, buktinya Jorge aja bisa jadi juara dunia Moto GP, masa gue enggak?" Katanya masih berusaha meyakinkan. "Jadi lo tenang aja, duduk yang anteng di belakang, jangan banyak ngomel."

Rainer semakin tidak yakin. Masa sih ? keturunan darimananya? dilihat berapa kali pun tetap tidak ada miripnya. "Ini lo beneran nggak sih cerita kayak gini?"

"Lo percaya nggak? Karena yang penting itu bukan masalah bener atau nggaknya, tapi lo percaya apa nggaknya." Jia mulai menyalakan motornya, mengeluarkannya dari tempat parkir.

"Lo nggak harus percaya masalah gue masih satu keluarga sama Jorge Lorenzo atau enggak, lo cuma harus percaya bahwa gue bisa bawa motor dengan aman dan selamat."

Rainer naik dengan hati-hati menyerah untuk selanjutnya mempercayakan nyawanya pada Jia. "Tapi serius deh ini lo beneran masih satu keluarga sama Jorge Lorenzo?"

Jia tertawa dibalik helmnya metertawakan kepolosan Rainer yang tengah kebingungan di belakangnya. "Ya nggak lah bego! mana ada sih? dia anak siapa aja gue nggak tahu." Lantas menarik gas meninggalkan halaman parkir.

Anjing.

Kalau saja di depannya adalah seorang pria. Rainer sudah pasti akan memukul helmnya kencang.

**

"Gimana? alergi lo nggak parah kan? harusnya nggak lah ya? soalnya lo aja masih bisa liatin gue galak kayak gitu." Rentetan kata-kata keluar dari mulut Jia kala menyambut Rainer keluar dari ruangan periksa.

Rainer hanya bisa mendengus. "Lo emang punya keahlian bikin orang kesel ya?"

Jia mengerucutkan bibirnya. Sudah tidak kaget kalau Rainer memang suka berkata seenaknya. Jia tidak sakit hati.

"Laper nih. Kita makan dulu yuk?" Jia hanya bisa mengalihkan pembicaraanya. Pasalnya ini klinik, bukan tempat untuk mendebat Rainer.

"Kayaknya lo lebih ke ngantuk, bukan laper."

Lihat selengkapnya