Suasana senin pagi di kost Oma selalu menimbulkan petaka. Radeva sudah pulang menginap dari tempat temannya disambut Dila yang langsung murka kala motor pria itu menghalangi motornya yang mau keluar dari parkiran.
Masalahnya motor Radeva tipe motor gede yang tidak bisa Dila pindahkan sendirian mengingat badannya adalah ukuran travel size.
"Devaaaaaaaaa!! Pindahin motor lo sekarang apa gue tendang?!!" Suara bak sangsakala mampu membuat seisi kost mendengarnya. "Devaaaaa astagfirullah eta ceuli atau tatakan panci?! Gue mau bimbingan!" Sekali lagi merongrong kala yang dipanggil tak kunjung menghampirinya ke parkiran.
Dila nampaknya mulai terbiasa dengan tabiat Deva yang seenaknya. Sengaja sekali menaruh motornya menghalangi motor Dila agar sang empunya merasa kesulitan.
Salah siapa sehari-harinya menjahili Deva. Kini giliran Deva yang sengaja pura-pura tidak mendengar di dalam kamar sampai Dila merasa frustasi.
Namun suara Dila bukan hanya mengganggu Deva, tapi juga Oma yang tengah memasak di dapur serta Rainer yang baru saja terbangun.
Jangan tanya dimana Jia, dia sudah terbiasa dengan suara bising Dila sehingga kini tidak ambil pusing dan kembali menarik selimutnya.
"Neng Dila kenapa lagi atuh pagi-pagi gini teriak-teriak?" Sanggah Oma menghampiri Dila yang masih berdiri dengan helm di kepalanya menatap motor gede Radeva.
"Ini Oma lihat aja, sengaja banget dia naruh motor ngehalangin motor Dila."
Rainer menyusul di belakang Oma, melongok keluar untuk bertanya ada apa. "Sini biar gue bantu." Katanya berusaha agar wanita di depannya berhenti berteriak yang memekakan telinga.
Kilatan binar cahaya muncul di kedua mata Dila kala melihat Rainer muncul. Bak pangeran berjalan untuk menolong putrinya.
Ini sih keterlaluan kalau sampai ada wanita yang tidak menengok dua kali kalau berpapasan dengan Rainer.
Dari jarak yang semakin dekat Dila sudah dapat menyimpulkan nilai seratus untuk keindahan pagi yang terpampang di kedua matanya.
Seger banget ya Tuhan...
Kalau begini terus mata minusnya bisa sembuh dengan sendirinya.
"Ma..ma...makasih ya." Katanya terbata. Bagaimana bisa dia bersikap rasional saat ketampanan pria di depannya tidak masuk di akal.
Radeva muncul di belakang oma, menatap Dila mengejek. "Dih....nggak usah dibantu padahal bro." ucapnya menambah suasana semakin panas.
Oma disampingnya memukul lengan Radeva pelan. Mengisaratkan untuk berhenti memancing keributan. Lebih baik Oma melihat baku hantam daripada harus mendengar suara Dila memecah kesunyian. Siapapun pasti berteriak ampun kalau wanita itu membuka mulutnya dengan volume tinggi.
"Oma lihat tuh si Deva nya ngeselin mulu!" Teriak Dila lagi yang langsung membuat Oma mengerenyit akibat suara melengkingnya.
"Udah cepet berangkat, nanti kamu terlambat bimbingannya." Ucap Oma ingin segera menyudahi kekacauan pagi hari ini.
Rainer kembali berjalan masuk ke dalam setelah berhasil memindahkan motor Radeva. Memberikan akses bagi Dila untuk segera keluar.
"Eh kenalin gue Radeva." Kala Rainer melewati Deva tanpa kata.
Rainer berhenti, menoleh untuk menjabat tangan yang disodorkan Radeva kepadanya. "Rainer." Katanya tersenyum kecil berusaha membuat mimik ramah kala nyawanya saja sebenarnya masih berkumpul di gumpalan selimut.
"Asik sekarang Deva ada temen cowoknya." Katanya girang melirik Oma yang sudah geleng-geleng kepala.
Semua penghuni kost Oma sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Apalagi Radeva dengan tingkah sebelas dua belasnya seperti Jia. Ada-ada saja bikin pening kepala. Oma sudah sangat hafal sifat satu sama lain manusia-manusia dirumahnya.
"Jangan diajarin nggak bener loh yah Rainernya, tolong dibantu soalnya baru sampai ke Indonesia."
Mulut Deva menganga, takjub kala tahu bahwa Rainer berasal dari luar negeri. "Wah darimana emang? Amerika?" Tanyanya antusias.
"Jepang."
Sekali lagi mulut Deva makin menganga. "Keren. Kenal AKB48 nggak?"
Lantas dibalas pukulan dikepala oleh seseorang yang kini berdiri di belakangnya. Jia.
"Lo pikir Jepang segede Cihampelas?" Sanggah Jia yang langsung di balas oleh Deva. "Jiaaa kebiasaan ih geplak kepala! kalau gue jadi bodo gimana?"
Jia tertawa kecil, tawa mengejek. "Sejak kapan sih Dev lo pinter? Ipk lo aja Nasakom (nasib satu koma)."
Rainer berusaha menahan tawa kala melihat ekspresi Radeva yang dongkol dengan kata-kata Jia. Lantas ketiganya sama-sama menoleh saat Oma meminta untuk mencicipi masakan yang baru saja selesai dimasak.
"Cobain apanya yang kurang?" Pinta Oma menilik ekspresi ketiga orang di depannya.
Hanya Rainer yang terlihat antusias. Merasa sudah lama sekali terkahir dia mencicipi makanan Indonesia yang dimasak di rumah.
"Oma, ini enak banget." Katanya tulus.
Oma tersenyum mendapat reaksi baik dari Rainer.
Namun Jia mengerenyit bingung. "Ini asin loh Rain, lo nggak usah gak enak gitu kalau emang makanannya keasinan bilang aja nggak apa-apa." Yang langsung membuat Oma menatap Jia kecewa.
"Lo sendiri kemarin yang bilang kalau gue harus jujur biar Oma bisa berkembang?"
Rainer mebelalak galak. "Tapi yang ini menurut gue beneran enak." Pintanya tidak terima.
Radeva hanya cengar-cengir melihat situasi di hadapannya. "hehe...iya Oma, agak sedikit asin. Tapi kalau ditambah nasi sih kayaknya pas. Apalagi nasinya dua porsi, pake kerupuk udang." katanya yang sudah biasa ngelunjak.
Rainer bingung. Padahal makanan ini enak menurutnya, bukan karena tidak enak dengan Oma. Dia benar-benar berkata jujur. Apa efek sudah lama tidak merasakan rumah?
"Buat aku ini enak kok Oma, soalnya nggak pernah dimasakin makanan rumahan."
Jia dan Radeva langsung terdiam merasa tidak enak. Jia menilik Rainer yang masih terlihat takjub memperhatikan makanan Oma di depannya yang menurut Jia biasa saja.
Berusaha mencari kebohongan disana, tapi nampaknya Rainer jujur saat memuji makanan Oma.
Ternyata kita tidak bisa menyamaratakan kebahagiaan seseorang ya? Bahkan hal sederhana yang kita anggap biasa mampu membawa tawa untuk orang yang memang membutuhkannya.
"Kalau gitu Oma bikinin yang baru ya? Kasihan kalau pada makan masakan oma yang asin. Maafin Oma ya? Maklum udah tua, ini lidahnya udah nggak seperti dulu kayaknya."
Rainer dengan cepat mengambil mangkuk berisi makanan itu dari tangan Oma saat Oma hendak membuangnya. "Oma jangan dibuang! Ini nggak apa-apa biar Rainer yang makan."
Melihat bagaimana situasi di depannya, Jia lantas ikut membela. "Iya. Enak kok bener kata Deva ini mah dipakein nasi juga bisa nambah dua porsi."
"Iya oma!" Radeva ikut menyetujui. Merasa tidak enak.
Rainer berhasil membuat kedua orang itu mengerti betapa mereka harus bersyukur pada hal kecil seperti ini.
Hari ini mereka berempat makan di meja makan bersama. Kali pertama bagi Rainer tidak makan sendirian. Agak canggung nampaknya, namun berhasil membuat hatinya membuncah dengan rasa hangat.
Kedua orang tua Rainer adalah pekerja keras. Bahkan dirinya hampir tidak tahu apakah mamanya bisa memasak atau tidak. Jangankan memasak untuknya, makan bersama saja Rainer sudah lupa apa rasanya.
"Dimakan hey! jangan dilihatin terus, nanti ayamnya malu." Kata Jia menegur kala Rainer tidak juga menyuap makanannya.
Radeva masih sibuk menambah nasinya, merasa beruntung hari ini Omanya Jia masak. Dia jadi bisa hemat tidak perlu keluar uang untuk memesan makanan dari luar atau mencuri mie ayam bawang milik Jia. Maklum akhir bulan untuk anak kost adalah hari-hari paling meresahkan.
"Kok malu?" Tanya Deva disela suapannya.