ELEGI

Herabubbles
Chapter #4

PINTU YANG TERBUKA.

Pagi-pagi sekali seperti biasa para penghuni kost dibangunkan dengan wangi makanan yang berasal dari dapur. Wangi semerbaknya mampu membuat siapa saja yang mencium akan merasa lapar hingga memancing para manusia-manusia pemalas itu keluar dari selimut tebalnya.

Hari ini Bandung tidak hujan, matahari pagi tampak bersinar cerah seolah hari ini hanya akan terjadi hal-hal yang baik saja.

Siapa yang paling pertama akan duduk di meja makan menanti masakan Oma? tentu saja Radeva. Disusul oleh Jia kemudian Dila dan Angga.

"Rain kemana? belum bangun?" Tanya Oma kala selesai mengabsen anak-anak kelaparan di meja.

Jia mengedikkan bahunya kecil. "Semalem begadang nonton bola, jadi pasti masih tidur." Ujarnya seraya membagi piring untuk yang lainnya.

Angga yang masih sedikit pusing akibat mabuk semalam hanya bisa kebingungan. "Rain itu siapa?"

Dila juga baru tersadar dari kantuknya kala Angga buka suara. Bertanya-tanya sejak kapan mahluk satu itu datang ke kost Oma?

"Lo kapan datengnya?"

Angga gugup, sangat tidak mungkin berkata sejujurnya kalau dia datang dini hari. Sejujurnya juga Angga sendiri tidak ingat kapan dia datang, yang dia ingat dia minum dan bangun di kamarnya.

"Tadi malem Oma, habis nganter mama ke Bandara dulu jadi pas dateng udah pada tidur semuanya."

Angga sepenuhnya tidak berbohong, dia memang mengantar mama ke Bandara, tapi sore hari. Dia memang datang waktu semua penghuni sudah tertidur karena memang dia datang dini hari.

Jia mengerti kenapa Angga tidak tahu Rainer, Angga kalau lagi mabuk namanya sendiri saja kadang suka lupa, pasti juga tidak ingat bagaimana dia bisa sampi ke kost Oma.

Kadang ini alasan kenapa Jia mau menunggu Angga. Jia khawatir kalau Angga bisa bertemu orang jahat di jalan dan tidak kunjung pulang dengan kabar.

"Rainer penghuni baru yang kamarnya sebelahan sama Radeva. Tadi malem Jia lihat dia katanya mau nonton bola sampai pagi."

Deva nyeletuk. "Lah emang lo nggak ketemu Rain? Kan katanya lo pulang malem?"

Telak. Angga bingung merasa terpojokkan. Bagaimana dia harus menjawabnya?

"Kayaknya waktu dia dateng gue lagi di kamar mandi deh." Rainer keluar dari kamarnya gontai, tapi dia sempat mendengar perbincangan di meja makan.

Angga berhutang satu ucapan terimakasih pada Rainer menyelamatkannya dari kecanggungan.

"Gue Rainer." Ucapnya saat bergabung untuk sarapan bersama.

Angga hanya membalas dengan senyuman, kepalanya masih pening, perutnya amat lapar, belum bisa diajak basa-basi pagi hari seperti ini.

"Btw, emang tadi malem ada pertandingan bola? Kenapa gue nggak tahu ya?" Deva kembali bertanya.

Rainer tersedak tiba-tiba. Membuat kepala-kepala di meja makan menengok kearahnya.

Rainer bingung harus jawab apa. Sebenarnya dia bohong soal pertandingan bola. Dia hanya kasihan melihat Jia yang menahan kantuknya di sofa karena menunggu Angga.

Satu hal yang mustahil di lakukan seorang Rainer. Pasalnya seumur hidupnya dia enggan ikut campur urusan orang lain, terlebih ini adalah Jia, wanita yang membuatnya pusing kepala. Entah pelet apa yang dipakai Jia hingga Rainer menjadi Iba.

Rainer juga tahu, Jia pasti enggan kalau Rainer langsung menawarkan bantuan menggantikannya.

Soal mengantri cuanki saja mereka bisa berdebat, Rainer hanya tidak mau berdebat dengan Jia dini hari di kost Oma.

Jia yang ngangkat galon enggan di bantu gini, mana mau ditawari bantuan oleh Rainer cuma-cuma?

"Ada...cuma emang bukan klub terkenal." Jawab Rainer alakadarnya.

Dalam hati dia berdo'a agar Deva tidak banyak lagi bertanya, untuk kemudian Angga membantunya. "Udah yuk makan, gue udah laper banget ini."

Rainer bernafas lega, melirik Jia yang nampak tak acuh mengobrol dengan Dila. Untunglah, jangan sampai Jia menyadari niatnya tadi malam.

**

Angga bergabung dengan Rainer di tepi kolam renang kala acara sarapan pagi bersama selesai. Jia dan Dila sudah kabur ke kamarnya masing-masing bersiap untuk berangkat ke kampus.

Deva juga, dia malah akan melanjutkan tidurnya karena kebetulan hari ini ada jam kosong.

"Lo tadi malem yang bukain pintu buat gue?" Sapa Angga seraya duduk bergabung di sebelah Rainer.

Rainer menengok sedetik, kemudian memusatkan lagi pandangannya pada air tenang di kolam renang. Tampak tak acuh akan kedatangan Angga.

"Jia sering nunggu lo kayak gitu?" Tanya Rainer tanpa berbasa-basi, sudah sejak malam dia sedikit tidak nyaman karena Angga membuat Jia harus bergadang.

"Iya, gue suka minta tolong dia buat nungguin gue, rasanya kayak pulang kerumah kalau dia yang nyambut gue di depan pintu."

Lihat selengkapnya