Sudah hampir satu bulan Rainer mulai terbiasa, mengenal satu-satu tabiat penghuni kost lainnya. Apalagi, Rainer sendiri kebanyakan bekerja dari kost, sesekali bertemu klien di luar untuk membicarakan pekerjaan.
Siang hari saat sudah selesai menggambar design bangunan sebagaimana pekerjaannya, Rainer keluar kamar dan mendapati Jia yang baru pulang dengan wajah tertekuk terlihat kesal.
Tahu bahwa pasti ada kejadian (lagi) menimpanya. Kali ini Rainer bertanya-tanya, masalah apa lagi yang dibuat oleh Jia?
Rainer menghela nafasnya mendekati Jia di sofa. "Kenapa lagi Ji?"
Jia mendongak menemukan wajah Rainer yang menatapnya penuh tanya. "Kali ini bukan salah gue sumpah." Nampak sudah bisa menebak bahwa dirinya akan di introgasi.
"Rain... tadi kan gue buru-buru mau sholat di mushola, terus ada dua cowok berantem."
"Terus?"
"Terus gue coba lerai."
"Terus?"
"Terus alhamdulillah sih mereka dengerin gue."
Rainer mengerenyit. "Terus kenapa lo kelihatan kesel gitu?"
Jia mendengus kala mengingat kejadian itu di benaknya. "Ya gimana nggak kesel, ternyata mereka berantem rebutan mukena."
"Astagfirullah..." Sahut Rain spontan.
Rainer harus menepuk dadanya berkali-kali, mengucap istigfar kala ingin mengumpat kata-kata kasar di depan wajah Jia. Berkali-kali dia harus meyakinkan kalau hal ini adalah hal yang wajar. Ini Jianira, apapun terasa masuk akal jika Jia yang bercerita.
"Jadi lo mau denger cerita gue apa nggak?" Tanya Jia masih merasa kesal di acuhkan.
"Sini, coba cerita dari awal"
Rainer nampaknya sudah mulai terbiasa jika setiap harinya Jia akan membawa cerita-cerita yang mampu membuatnya tertawa sekaligus mengelus dada. "Terus akhirnya lo jadi sholat apa enggak?"
Jia menggeleng, menepuk dudukan sofa disebelahnya mengisaratkan agar Rainer duduk disana. Entah sejak kapan juga Jia merasa nyaman bercerita seperti ini pada sosok Rainer. Meski respon Rainer tidak pernah sesuai dengan yang dia harapkan, namun Rainer mampu memberikan rasa nyaman.
Rainer memang tidak pandai berbicara seperti Dila atau Angga sahabatnya, namun Rainer adalah pendengar yang baik. Meski Rainer akan geleng-geleng kepala pada akhirnya, Rainer tetap akan setia mendengar cerita Jia sampai selesai.
"Gue jadi makin yakin kiamat itu udah deket dengan munculnya hal-hal akhir jaman."
Rainer tertawa kecil. "Mau rasa strawberry atau coklat?" Tanyanya tiba-tiba.
Jia mengerenyit. "Kok tib-tiba...."
"Puding, lo suka puding Puyo kan? biar lo nggak kesel lagi ini mau gue pesen online."
Ini yang selalu membuat Jia mau bercerita banyak pada Rainer. Dia merasa didengarkan, jika selama ini dia ternyata lebih banyak mendengarkan. Setidaknya Jia tidak harus menjadi orang aneh dihadapan Rainer. Rainer tahu harus bersikap.
"Maaf ya lo jadi suka dengerin cerita gue yang nggak jelas ini."
"Nggak apa-apa." I can beg for more.
Rainer tersenyum kecil. Senyum yang selalu Jia suka. Senyum yang akhir-akhir ini semakin sering terlihat. Senyum yang lebih cocok bertengger di wajah tampannya daripada ekpresi ketus yang sering diperlihatkan Rainer pada awal-awal pertemuan mereka.
"Lo hari ini ada cerita apa?" Tanya Jia merasa bahwa selama ini Rainer tidak pernah banyak bercerita, Jia juga ingin mendengarkan hari yang dilalui pria itu.
"Nggak ada yang special, gue baru beres gambar untuk project terakhir gue di Bandung."
Hati Jia mendadak mencelos kala mendengar kata project teakhir. Seperti menyadarkan lagi Jia yang sempat lupa kalau Rainer adalah sementara, bukan selamanya.
Tapi Jia tahu, bagaimanapun Jia tidak punya hak untuk menyuruh Rainer tinggal. Bandung itu bukan rumahnya.
"Emang lo mau kemana ?" Pertanyaan yang tidak dapat lagi ditahan. Karena Jia sudah terbiasa dengan presensi Rainer hadir dalam hidupnya. Jia jadi tidak bisa membayangkan bagaimana kost akan terasa sepi jika tidak ada pria itu bersamanya.
Rainer terdiam. Dia tidak pernah punya jawaban akan pertanyaan itu.
"Somewhere, gue nggak bisa cerita sekarang." Hanya itu yang dapat Rainer jawab.
Jia memiringkan kepalanya. Bertanya-tanya tempat itu dimana ? Garut? Subang? Sukabumi? Sebutkan saja segala tempat yang masih bisa Jia kunjungi, kemanapun itu Jia merasa mampu menyusulnya.
"Gue nggak pinter geografi, baca maps aja gue kadang bego, jangan kejauhan ya? gue nanti nyusulnya susah."
Kepolosan Jia membuat Rainer menahan diri untuk tidak menangkup pipi yang sedikit chubby itu di depannya. "Nggak ada di google maps, gue nggak bisa kasih tahu pastinya soalnya lo juga nggak akan mungkin kesana."
Jia penasaran, tapi lagi-lagi dia akan berhenti disana. Jia tidak akan mendesak, Jia tahu batas.
"Tapi masih ada signal kan? masih bisa ngabarin gue kan?"
Rainer tersenyum. "I'll try Ji, emang lo bakal mau tahu kabar gue? Seinget gue lo paling semangat bikin gue pergi darisini?"
Iya, Rainer memang menyebalkan awalnya. Jia sempat tidak ingin berurusan dengan Rainer selama-lamanya.
Tapi sekarang rasanya berbeda. Rainer selalu menawarkan hal yang tidak Jia dapatkan, mengulurkan tangan kala Jia tidak meminta. Rainer seperti buku diary tempat cerita Jia setiap hari. Kalau Rainer pergi, kemana Jia akan mencari?
"Sekarang gue udah nggak sebel lagi kok sama lo, kita boleh temenan kan?"
Rasanya teman adalah hal paling mewah yang saat ini bisa Jia tawarkan. Perlu keberanian untuk memasukkan Rainer dalam lingkaran yang disebut teman.
Rainer terdiam. Hal ini di luar rencananya. Jia tidak ada dalam prediksinya. Presensi Jia tidak pernah dia perhitungkan. Dan lagi....Teman katanya? apa boleh Rainer menyandang status itu?
"Anything Ji, anything you want me to be, i will be."